Bab 9
Bab 9
Ancaman
“Marsha and the bear, pulang sana!” usir Bagas. “Tamu lainnya udah pada pulang, kamu ngapain masih di sini?”
Raffi hanya meliriknya sekilas dan kembali memusatkan perhatian pada perempuan berambut panjang yang terlihat sibuk mengawasi beberapa orang bekerja selepas acara selesai. “Naksir?” tanya Bagas lagi.
“Dienteni Mitha iku lho!” usir Raffi yang tidak ingin kegiatannya mengamati gerak gerik Aline terganggu dengan keusilan Bagas. Pria yang baru saja resmi menikah dengan mantan pacar jaman kuliahnya terkenal dengan keusilannya. Bahkan Bagas satu-satunya teman yang memanggilnya Marsa and the Bear.
Dari teras bangunan yang terpisah dari rumah utama, Raffi mengikuti gerakan Aline memberikan arahan pada anak buahnya. Wajah cantik perempuan tersebut terlihat berbeda, meski tampak jelas kelelahan di sana, tapi siapapun bisa melihat binar bahagia yang terpancar jelas di sana. Ada kepuasan dan kelegaan di setiap tarikan bibir yang tak lepas dari pandangannya.
“Biasa aja ngelihatnya, Mas!” Raffi hampir saja melonjak mendengar teguran dari sebelah kanannya. Ia tak melihat kepergian Bagas dan kedatangan sahabat Aline tersebut karena terlalu fokus memandang sosok yang selalu berhasil menarik semua perhatiannyanya. “Enggak bakalan hilang, kok.” Ada nada geli yang jelas terdengar olehnya saat ini, membuatnya harus mengulum senyum karena kedapatan memandang tanpa putus ke arah perempuan yang selalu terlihat menarik.
Raffi merubah arah duduknya dan mendapati Chita mengulurkan segelas kopi hitam kepadanya. “Makasih. Kok tahu kalau aku butuh kopi?” tanyanya setelah menyesap kopi yang terasa nikmat di tenggorokannya.
“Ojo GR! Bukan aku, lah.” Ia mengikuti arah pandang Chita dan tersenyum kala mendapati perempuan yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya tersenyum lembut ke arahnya. “Aku enggak pernah lihat dia seperti ini.” Raffi merasa ada sesuatu dari kalimat Chita yang membuatnya penasaran. Suasana halaman belakang yang ramai oleh banyak orang sedang melakukan pekerjaannya, Raffi kini memusatkan perhatian pada sahabat Aline.
“Kenapa?” tanyanya penasaran.
Kening Chita mengernyit memandang ke kejauhan, dan ia tahu saat ini, Aline lah yang menjadi perhatian perempuan di depannya. “Selama ini, dia selalu jaim saat berkenalan dengan seseorang untuk pertama kalinya. Aline enggak pernah memperlihatkan siapa sosok di balik topeng kerjanya, kecuali pada beberapa orang saja!” Ada ketakutan yang tiba-tiba Raffi tangkap dari kalimat Chita dan itu semakin membuatnya ingin tahu sosok di balik seorang Aline Adhiansyah. “Tapi, saat ketemu Mas. Ada sesuatu yang berbeda dengannya … Aline terlihat santai dan tiba-tiba berubah seperti an open book and you can easly read her mind. Dan itu menakutkan bagiku, karena aku enggak ingin melihatnya terluka! Dan hari ini ada perempuan cantik yang ngglibet di dekatmu, aku enggak mau Mas Raffi buat Aline mainan! Kalau Mas punya pacar, back off!”
Ancaman yang ia dapatkan seolah menjadi penyemangat untuk semakin mencari tahu. Selama ini, ia tak pernah terdorong untuk mendekati perempuan hanya karena rasa penasaran. Bahkan selama ini, Raffi jarang merasa tertarik dengan perempuan karena belum pernah ada yang membuat hatinya jungkir balik seperti Aline lakukan padanya. “Vania bukan pacarku, kamu bisa tenang,” kata Raffi meyakinkan Chita.
Raffi masih merasa apa yang ada di hatinya tidak masuk di akal. Bagaimana bisa dari pertemuan yang bisa di hitung dengan satu tangan, ia bisa merasakan keinginan untuk selalu dekat dengannya. Hingga saat ini ia masih tidak habis pikir, bagaimana Aline menyusup dalam hati dan pikirannya setiap saat. Bahkan beberapa hari lalu, ia sempat hilang konsentrasi ketika berada di dalam kelas, dan semua itu hanya karena hidungnya menangkap samar aroma parfum yang Aline gunakan.
Memandang Aline kembali ia berkata, “Aku enggak pernah merasa seperti saat ini. Mungkin bagimu atau orang lain, ini enggak mungkin. Bagaimana bisa dalam beberapa kali pertemuan, aku bisa tertarik padanya. Padahal selama ini aku tidak mudah untuk tertarik dengan perempuan, secantik apapun dia.” Raffi kembali mengarahkan pandangan pada Chita yang memandangnya dengan keheranan, kening perempuan itu mengernyit seolah mencoba untuk mengerti apa yang dikatakannya.
“Aku enggak akan bilang kalau aku jatuh cinta pada pandangan pertama pada sahabatmu. Tapi, aku bisa bilang kalau aku tertarik padanya dan enggak berniat untuk membuatnya menjadi sekedar obyek dari rasa penasaranku. Enggak semua orang mau deket sama aku, dan kamu tahu alasannya. Tapi sahabat kamu itu ….” Raffi memandang Aline yang berjalan ke arah mereka saat ini. “Dia seakan melihat ke dalam hatiku,” katanya dengan senyum seraya berdiri menyambut Aline yang terlihat lelah.
“Ngomongin apaan, sih? Serius banget Chitato?” tanya Aline ketika langkahnya semakin mendekatinya dan Chita. “Ngomongin aku, ya!” tanya Aline ke arah Chita yang tertawa mendapati tuduhan Aline. Tiba-tiba mata yang selalu membuatnya tak berkutik memandangnya lekat sambil menunjuk ke arahnya, “Dia ngancam kamu, Mas?!”
Raffi memberanikan diri menangkap jari telunjuk Aline sebelum menggenggamnya. Meski ia merasa tubuh perempuan itu terkejut, tapi ketika Raffi tidak mendapati penolakan, jarinya semakin berani dengan menjalin kedua tangan mereka. “Chita enggak ancam aku. Hanya memastikan bahwa pria yang lagi usaha deketin sahabatnya ini enggak main-main,” kata Raffi yang selama itu memandang Aline tepat di kedua bola mata lebar berwana coklat gelap tersebut dan merasa seolah dunia berhenti berputar. Waktu seakan berhenti berjalan dan membuatnya bisa menikmati kecantikan perempuan yang tak melepas pandangan darinya.
“Woy!” bentakan Chita kembali membuyarkan momen mereka berdua. “Pergi sana! Aku yang nerusin sisanya. Pacaran sana! Ke kafe, makan atau apa sana, asal jangan bobo bersama!” kata Chita membuat Raffi membelalakkan mata tidak percaya dengan ancaman yang di dapatkan. Ia yang berubah kikuk memandang Aline yang mengulum senyum ke arahnya. Tangan lembut perempuan itu masih ada dalam genggamannya, dan Raffi merasa tidak rela untuk melepaskannya lagi.
Sepulang dari rumah Mitha, Raffi mengajak Aline ke salah satu kafe di jalan Kertajaya untuk menghabiskan waktu di sana. Ia ingin mencari tahu semua hal tentang perempuan cantik yang saat ini membuatnya semakin tak berkutik dengan senyumnya.
“Berapa lama jadian sama Vania?” tanya Aline tanpa basa-basi setelah mereka mendapat minuman mereka masing-masing. “Sorry, aku enggak biasa untuk berbasa-basi, dan rasa penasaran ini udah enggak kuat aku tahan lagi.” Perempuan yang menarik rambutnya ke atas dengan jepit itu terlihat semakin cantik meski wajahnya terlihat berminyak dan kuyu, kelelahan terlihat jelas di wajah Aline saat ini.
Raffi mengikuti gerakan jari lentik Aline mengangkat cangkir kopi dan menyesapnya sebelum tertawa menjawabnya. Kekehan yang terdengar merdu di telinga Aline membuat perempuan itu semakin terlihat tak sabar menunggu jawaban darinya.
“Aku sama Vania putus kurang lebih dua tahun lalu, tapi kita masih sesekali ketemuan. Dia anak salah satu sahabat Mama.” Raffi mengucapkan tiap kata dengan tenang dan mata yang tertuju hanya pada Aline. Sedangkan perempuan yang tetap terlihat cantik tersebut membalas pandangannya tanpa malu.
“Tapi masih mesra gitu, ya,” kata Aline ketus. “Jangan-jangan Mas Raffi masih enggak bisa move on.” Raffi tertawa bahagia mendengar nada jengkel yang terdengar jelas. Ia menyadari Vania sering bersikap menjengkelkan dan Raffi memaklumi itu, karena semenjak dulu perempuan beberapa tahun di bawahnya tersebut selalu menjadi pusat perhatiannya.
Kafe yang mulai ramai tak membuat keduanya ingin beranjak. Raffi terlalu menikmati keberadaan Aline di dekatnya saat ini. Melihat wajah merah menahan marah setiap kali Aline menyebut Vania membuatnya yakin rasa yang ada di hatinya tidak bertepuk sebelah tangan. “Vania sudah lewat, Line!” kata Raffi tegas. “Aku bukan laki-laki yang berani bermain hati perempuan. Aku enggak bakalan dekatin kamu kalau masih memiliki hubungan dengan siapapun.”
“Kamu lagi dekat sama seseorang?” tanyanya. Aline hanya menggeleng tegas menjawab pertanyaannya. “Kenapa belum punya pacar? Kalau boleh tanya.”
Raffi merasa kesulitan untuk menahan diri untuk tidak mencari tahu segala hal tentang perempuan yang menatapnya dengan lembut saat ini. Bahkan cara Aline mamandangnya membuat Raffi semakin tertarik ingin tahu tahu segala hal tentang perempuan bersenyum manis yang saat ini tak berhenti tersenyum. “Kenapa?” tanya Raffi kembali.
Aline terlihat enggan untuk menjawabnya, terlihat dari senyum kikuk yang jelas di bibir merahnya. “Kenapa Mas Raffi belum punya pacar atau calon istri?” tanya Aline tanpa menjawab pertanyannya sambil menopang dagu memandangnya. Terlihat tak sabar menunggu jawabannya saat ini. “Kenapa pria menarik seperti Mas Raffi yang sudah cukup umur masih juga sendiri? Kamu terlalu picky kali, Mas.”
Raffi mengikuti cara Aline, dia menopang dagu dengan kedua tangan dan berkata, “Kali aja karena aku nunggu kamu,” jawab Raffi mengikuti Aline yang terlihat enggan untuk mengubah pembicaraan menjadi serius.
Suasana kafe yang ramai tak membuat keduanya terganggu, karena saat ini mereka berdua tak mampu untuk saling berpaling. Seakan ikatan antara mereka tumbuh dalam hitungan detik sejak keduanya duduk berhadapan dengan pertanyaan di kepala masing-masing. “Mungkin aku memang picky, karena tahu kamu akan datang,” tambahnya lagi. Raffi harus menahan tangannya yang ingin menyentuh semu merah di pipi Aline saat INI.
“Gombal!” kata Aline tanpa memutus pandangan. “Aku enggak percaya kalau selama ini enggak ada perempuan yang jelas-jelas menunjukkan kalau dia tertarik sama Mas.”
Keduanya tiba-tiba tertawa menyadari kebodohan mereka dengan pertanyaan dan lomba tatap mata beberapa saat lalu. Seakan ikatan tak kasat mata yang muncul beberapa saat lalu menghilang seiring derai tawa keduanya. “Ya ampun … kita kayak anak ABG, deh,” kata Aline di sela-sela tawa membuatnya semakin tergelak dengan kelakuannya sendiri.
“Terakhir punya pacar … vania.” Raffi memutuskan untuk menceritakan tentang dirinya pada perempuan yang saat ini terlihat memusatkan perhatian hanya padanya. “Aku bukan orang yang mudah untuk jatuh cinta. Aku juga sadar diri, kalau enggak semua orang bisa tertarik pada—”
“Stop, maksudnya apa?!” tanya Aline dengan nada yang terdengar marah. Bahkan Raffi terkejut melihat wajah Aline yang terlihat berbeda.
“Jangan salah sangka … aku bukan ngebahas tentang tubuh. Aku enggak masalah dan bukannya enggak percaya diri dengan tubuhku, tapi karena terkadang aku lupa dengan sekitar saat bekerja. Jadi kadang itu yang buat mereka enggak terlalu suka sama aku.”
Ada sesuatu di wajah Aline yang membuatnya sulit untuk mengerti. Perempuan itu terlihat lega, meski Raffi tidak mengerti apa yang membuat rasa itu muncul di wajah yang akhir-akhir ini muncul dalam mimpinya. “Aku suka orang yang serius kerja gitu.” Jika saja saat ini ia berada di tempat sepi dan tidak ada mata cantik yang mengawasinya, Raffi akan berteriak sekuat tenaga. Namun, kegembiraan itu harus di tahannya karena tak ingin membuat kacau sore yang sempurna itu.
“Dan aku suka perempuan yang suka sama orang serius bekerja. Aku suka banget,” kata Raffi yang mengulurkan tangan menjalin jari lentik Aline di sela-sela jari gendutnya.
Mas Raffi is in the house. Mamas yang menyennagkan untuk dipeluk ini memang punya hati selembut sutra.
😂😂😂😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top