Bab 8

Bab 8
Kamu lagi?!

Setiap pernikahan selalu terasa istimewa, tapi bagi Aline, pernikahan kali ini terasa berbeda. Ia tak bisa berhenti tersenyum puas melihat sepasang suami istri dan kedua anak mereka yang terlihat bersinar. Wajah puas bukan hanya terpancar dari dirinya dan Chita, tapi juga dari semua anggota keluarga Mitha yang dikenalnya.

Aline harus menahan haru ketika kedua anak Mitha memberikan kata sambutan yang membuat semua mata berkaca-kaca. Kejutan yang disiapkan kedua anak Mitha membuatnya tersenyum lega. Namun, ternyata yang mendapat kejutan bukan hanya sang mempelai. Karena saat ini ia terpaku memandang pria yang berhasil membuatnya membelalak tidak percaya.

Raffi terlihat rapi dengan batik lengan panjang dengan celana bebahan kain warna hitam. Aura bapak-bapak terpancar dari pria yang juga memandangnya dengan sorot mata tidak percaya. Bahkan saat ini keduanya terlihat seperti dalam film di saat kedua tokoh berada di situasi yang membuat mereka tidak menyadari dengan keadaan sekitarnya. Aline terlihat menutup mulut menahan diri untuk tidak berteriak memandang Raffi yang terlihat lega menemukannya di sini.

“Kamu—"

“Mas, ka—"

Kata keduanya bersamaan dengan mata saling tertuju pada masing-masing. Hingga terdengar panggilan yang membuat Aline semakin terkejut. Seorang perempuan mungil dengan gaun pesta yang terlihat sexy menghampiri mereka berdua. “Sayang, kok ninggalin aku gitu aja, sih!”

“Aline … aku,” kata Raffi gugup berusaha melepas lilitan lengan perempuan yang memandangnya dengan mata memicing curiga. “Kamu—"

“Sorry ganggu, Mas. Saya pinjem Aline sebentar, ya,” kata Chita membuat hatinya lega memiliki kesempatan untuk meninggalkan Raffi dan perempuan yang sepertinya kekasih pria itu.

“Sorry, Mas,” kata Aline gugup. “Aku harus balik kerja dulu.” Tanpa meberi kesempatan pada Raffi untuk menjawabnya, Aline berjalan cepat menuju sudut terjauh tempat Chita menunggunya. Jantungnya berdegup kencang tak beraturan ketika kembali menoleh ke belakang dan mendapati Raffi tak melepas pandangan darinya. Tanpa membalas senyum, Aline meneruskan langkah dan mendapati Chita memandangnya dengan sorot mata prihatin yang tak bisa ia jelaskan.

“Itu Raffi, kan, Line?” Aline mengedikkan pundak dan meninggalkan Chita yang masih melirik Raffi dengan sorot curiga. “Itu pacarnya, Line?” tanya Chita yang sudah menyejajaran langkah dengannya.

“Tau!” jawabnya ketus sebelum meninggalkan Chita yang masih terlihat terkejut mendapati keberadaan Raffi.

“Line, tunggu!”

Aline berusaha membagi koentrasinya saat ini, memastikan acara Mitha lancar dan juga memikirkan tentang kemunculan Raffi bersama perempuan cantik yang memanggilnya Sayang. “Goblok, Line! Kenapa enggak cari tahu dia udah punya pacar belum!” makinya dalam hati mengingat beberapa hari ia sempat berharap sesuatu terjadi antara dirinya dan pria tinggi besar yang membuatnya nyaman.

“Line, aku enggak tahu kalau kamu sama dia ada apa-apa?!” sorot prihatin terlihat jelas di wajah sahabatnya. “Kamu enggak apa-apa?”

“Apa, sih! Aku sama dia enggak ada apa-apa!” Aline mencoba meyakinkan Chita yang tampak tidak mempercayai jawabannya. “Sumpah, Chitato. Aku ketemu pertama waktu pembukaan tahun lalu lalu itu, terus waktu kamu paksa aku jadi MC!” jawab Aline ketus. “Sama sekarang.”

Suara musik jazz yang mengalun dari kejauhan seolah melengkapi suasana hatinya. Meski saat ini Chita menatapnya dengan sorot yang munjukkan bahwa perempuan itu tidak mempercayai jawabannya.

Perempuan yang akan melangsungkan pernikahan dalam waktu beberapa bulan itu masih tidak percaya dengan jawabannya. “Inget waktu event terakhir di mall, kan? Mas Raffi bela-belain nungguin selesai untuk anterin aku pulang.”

“Sweet banget, sih, Line,” kata Chita yang terlihat santai.

“Tapi ternyata udah punya pacar!” jawabnya ketus. “Aku ….” Aline terdiam, mencoba mengatur napas meredam perasaan marah,kecewa dan jengkel yang muncul di hatinya sejak ia melihat tangan perempuan itu melingkar erat di tangan Raffi.

“Line,” panggilan Chita mengejutkannya. “Kamu enggak apa-apa?”

Aline menatap sahabatnya, “Aku merasa bodoh banget. Bisa-bisanya aku tertarik sama bibir manis Raffi … padahal dia udah punya pacar!” mencoba mengenyahkan Raffi dari kepalanya, ia kembali berkonsentrasi dengan pekerjaannya. “Terus kenapa tadi manggil?” tanya Aline sedikit ketus mengingat perempuan yang bersama Raffi beberapa saat lalu.

Tawa yang terdengar menjengkelkan saat ini membuat Aline ingin menarik telinga sahabatnya tersebut. Pasalnya, saat ini tidak ada masalah penting yang membutuhkan perhatiannya. Bahkan semua berjalan dengan baik hingga pihaknya hanya tinggal memantau hingga acara selesai. Namun, Aline bersyukur Chita menyela dan mencegahnya berbuat bodoh, seperti mencakar wajah Raffi yang membuatnya terlihat bodoh saat ini.

“Aku enggak tahu kalau ….” Chita terdiam sesaat. “Tapi Line, kali ini kok terlihat berbeda, sih?!” Aline mengerutkan kening mendengar pertanyaan Chita. Ia tahu sahabatnya bukan perempuan picik yang menilai seseorang hanya dari penampilannya, tapi saat ini ia tak bisa berpikir sebaliknya. “Jangan salah sangka dulu. Aku enggak ada masalah dengan siapapun kamu dekat, kamu tahu itu, kan? Hanya saja … kali ini kamu terlihat berbeda, Line. Yakin baru kenalan? Kok cemburunya ampe segitunya?”

Mendengar hal itu, Aline tak bisa menahan diri dan melihat ke arah kerumunan tamu dan segera mencari sosok yang membuatnya merasa berbeda. Pria yang meski baru berkenalan dengannya seolah menjadi bagian dari kehidupannya. Aline merasa tak berdaya menolaknya, seakan Tuhan meletakkan pria itu untuk bertemu dengannya di setiap persimpangan.

Napasnya seakan terhenti ketika pencariannya usai. Aline mendapati Raffi melangkah dengan tegap ke arahnya, mata tertuju hanya kepadanya dan senyum yang terkulum hanya untuknya. Marsha Raffi Zulkarnain, siapa yang mengira, pria dengan tubuh tinggi besar tersebut seakan berhasil menyelinap ke dalam hatinya sejak pertemuan pertama mereka.

“Hai,” sapa pria itu padanya ketika langkahnya hanya berjarak satu jengkal dengannya. Membuat napasnya yang belum sepenuhnya normal menjadi semakin berantakan. Cengkeraman kuku tajam Chita seakan menyadarkannya dan tanpa bersuara ia menjawab sapaan itu.

Aline merasakan ketika Chita mengulurkan tangan ke arah Raffi dan berkata, “Hai, Mas. Aku Chita, rekan kerja Aline.” Melihat cara Raffi menerima uluran tangan Chita seraya menyebutkan namanya.

“Pacarnya mana, Mas?” tanya Chita. “Wis ah, aku ke sana dulu. Monggo dilanjut ngobrolnya.” Aline tersedak hingga terbatuk menyadari bukan hanya sahabtnya yang bisa melihat reaksinya saat ini, begitu juga dengan Raffi yang terlihat diam di depannya. Pria yang beberapa saat lalu terlihat tersenyum, saat ini wajahnya tak bisa Aline tebak.

“Cemburu?” Matanya membelalak tidak percaya dengan pertanyaan Raffi yang membuatnya semakin terbatuk. Hingga usapan lembut di punggungnya membuat batuk itu mereda dan diikuti dengan rasa malu yang membuat pipinya semakin memerah. “Kalau beneran cemburu, aku bahagia banget, nih!” pernyataan yang membuat Aline tak berani mengangkat kepala saat ini membuat perutnya melilit.

“GR banget, sih, Mas,” jawab Aline setelah berhasil meredakan detak jantungnya yang bertalu kencang, hingga membuatnya takut Raffi akan mendengarnya. “Lagian apa hubungannya cemburu ama bahagiamu?” tanya Aline yang berusaha untuk terlihat biasa meski saat ini ia masih merasa dibodohi. “Aku hanya merasa bodoh banget, karena ter—"

“Vania bukan pacarku, Line … setidaknya saat ini dia bukan pacarku, lagi!” sela Raffi membuatnya membelalakkan mata tidak percaya dengan apa yang pria itu katakana. “Sini bentar!”

Aline bertahan tidak ingin mengikuti permainan Raffi. Ia merasa cukup bodoh dengan mengira pria itu tulus ingin mendekatinya. “Kalau ada yang mau diomongin, di sini saja, Mas!” pintanya dengan tegas.

“Vania itu mantan pacarku. Dia diundang Bagas dan aku enggak datang berdua dengannya. Kamu harus percaya itu, Line!”

Ia mengikuti langkah Raffi meninggalkan keramaian dengan hati ragu. Sikap pria yang selalu terlihat santai tapi tak lepas dari pandangannya tersebut membuatnya merasa ada sesuatu di antara mereka berdua. Namun, setelah hari ini, ia merasa itu hanya ada di angan-angan.

“Percaya enggak kalau Bagas pernah coba nyoblangin Mitha sama aku.” Langkah Aline berhenti mendengar cerita Raffi ketika kedua berada di teras depan rumah keluarga sang pengantin perempuan. “Bagas dengan bodohnya ngenalin perempuan yang dia sayang ke teman-teman dia, termasuk aku.” Seakan tidak percaya dengan cerita Raffi, Aline diam menanti kelanjutan cerita dari pria yang terlihat geli melihat reaksinya. “Kok kelihatan kaget gitu, sih!”

“Kok bisa, sih? Bukannya Mas Raffi enggak punya pacar? Eh … tadi itu pacarnya, kan, ya?!” Aline menutup mulut  mengalihkan pandangan ke segala arah kecuali pada pria yang masih menatapnya dengan lembut.

Gelak tawa dari bibir Raffi membuatnya semakin erat mengulum bibir, karena menyadari pertanyaannya memiliki arti yang  berbeda saat ini. “Enggak, Line. Aku enggak punya pacar,” jawab Raffi tanpa melepas pandangan darinya. “Vania … emang kadang bisa—"

“Jengkelin!” katanya ketus. “Dan terbiasa panggil-panggil Sayang gitu?” kata Aline yang tak bisa menahan diri.

Tawa Raffi membuatnya semakin meradang. “Kamu enggak tahu betapa bahagianya aku saat ini liat wajah kamu, Line. Vania bukan pacarku!” Raffi menatap tajam matanya.

“Bukan pacar tapi calon istri.” Aline menghela napas berat. “Mas, aku enggak masalah kalau kamu memang lagi dekat sama dia. Enggak masalah juga buatku.” Meski ia tahu suaranya tidak terdengar meyakinkan. “Aku hanya … kaget.”

“Aku belum punya calon istri, kecuali kamu mau jadi calon istriku!”

Hepi riding geeees
😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top