Bab 6
Bab 6
Namanya juga Usaha
Tepat pukul sembilan malam, ia kembali memasuki mall di daerah Surabaya Selatan dan segera mencari keberadaan perempuan yang tak bisa hilang dari ingatannya semenjak pertemuan pertama mereka. Lalu lalang peserta bazar yang mulai mengemasi semua perlengkapannya membuatnya sedikit kesulitan untuk mencari celah menuju balik panggung, tempat di mana ia kira bisa mencari Aline. Namun, ternyata ia harus menelan rasa kecewa karena tidak satu orang pun yang bisa memberitahukan di mana keberadaan perempuan cantik tersebut.
Raffi yang tak ingin menyerah begitu saja, mencoba mencari ke segala penjuru area yang digunakan oleh acara tersebut. Dari sang ibu, ia mengetahui bahwa malam ini adalah hari terakhir event yang di gelar selama tiga hari berturut-turut. Mendengar hal tersebut, ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa bertemu kembali dengan Aline. Meski ia harus mengakui ketidakmampuannya untuk mencari tahu tentang perempuan tersebut sejak pertemuan pertama mereka. Sebagai pria yang tidak memiliki sosial media, ia kesulitan untuk mencari tahu tentang perempuan cantik berambut panjang dengan sorot mata menggoda.
Di salah satu booth yang terlihat menjadi tempat berkumpulnya semua staff penyelenggara, Raffi mendapati wajah cantik dengan wajah lelah terlihat di sana. Ia tak segera mendekati Aline, karena perempuan itu sedang terlibat pembicaraan serius dengan beberapa orang. Bibirnya yang malam itu terlihat merah, penuh dan menggoda, kali ini terlihat polos tanpa sapuan lipstick. Wajah tanpa make up yang membuat Aline terlihat semakin cantik di matanya terlihat bersinar meski lingkaran hitam terlihat di sana.
"Hai," sapanya ketika mendapati Aline sendiri dengan tumpukan kertas di pangkuannya. Raffi menikmati wajah perempuan yang terlihat terkejut melihatnya saat ini, mata membulat dengan bibir terbuka tanpa ada kata yang keluar. Ia tersenyum lalu duduk bersila di depan Aline yang tak melepas pandangan darinya. "Sekaget itu di sapa cowok ganteng."
"Mas Raffi kok di sini?! Ada yang ketinggalan?"
"Ada ... nomer telepon kamu yang ketinggalan," jawabku tanpa mempedulikan lirikan beberapa orang staff berkaos hitam yang terlihat menahan senyum mendapati dia merayu atasan mereka. Tawa merdu lolos dari bibir Aline dan membuat jantungku melonjak kegirangan. Karena ia sempat merasa ragu untuk menanyakan hal tersebut tadi sore.
Aline mengulurkan tangan dan aku segera meletakkan ponsel di atas permukaan tangannya. Masih dengan senyum di bibir, perempuan itu mengetikkan sebaris angka dan juga mengetikkan namanya sebelum menyimpannya. "Sudah, tapi jangan ketawa kalau baca nama yang aku simpan di ponsel Mas Raffi, ya."
Raffi tersenyum ketika mendapati Aline ada di daftar kontaknya, dan merasa panggilan itu cocok untuk perempuan yang memandangnya lekat, seakan menunggu reaksinya. "Boleh tahu, nama yang kamu simpen untuk nomerku?" tanyanya setelah menyimpan ponsel ke dalam sakunya. Ia masih bersila dan menopang dagu menunggu jawaban dari bibir Aline yang tiba-tiba tersipu malu.
"Jangan deh, malu." Melihat reaksi perempuan yang terlihat berbeda ketika pertemuan pertamanya setahun lalu, tiba-tiba ada harapan yang muncul di dalam hatinya. "Suatu saat, Mas Raffi pasti aku kasih tahu, tapi enggak sekarang karena aku harus bantu anak-anak dulu."
Ia mengikuti gerakan Aline berdiri, tapi ketika perempuan itu hendak melangkah, Raffi mengulurkan tangan mencegahnya. "Malam ini pulang sendiri?" Aline menggeleng. "Boleh aku anter?"
Raffi kembali tertawa melihat wajah terkejut Aline, "Tapi ... aku masih lama, Mas. Lagian aku enggak enak minta Mas nunggu. Next time aja, deh." Ia tahu resiko menawarkan diri untuk mengantar Aline pulang, karena itu ia bersikeras untuk menunggu semalam apapun itu.
"Enggak apa-apa, aku tunggu!" jawab Raffi tegas. "Aku cari kopi dulu untuk temen nunggu, kamu mau?" Ia meninggalkan Aline setelah perempuan itu menyebutkan kopi pesanannya dengan langkah ringan. Setelah beberapa langkah, ia berhenti dan menoleh ke belakang di mana ia mendapati Aline melihatnya dengan tersenyum malu.
Dengan dua gelas kopi di tangan, Raffi kembali berjalan menyusuri lorong yang terlihat ramai. Pegawai toko terlihat sibuk merapikan barang dagangannya dan bersiap untuk menutup tempat usahanya sebelum kembali dibuka besok. Bahkan ia masih bisa melihat satu dua orang pengunjung berjalan menuju pintu keluar. Saat ini ia tak bisa berhenti tersenyum membayangkan Aline, dan berharap apapun yang dirasakannya saat ini juga perempuan itu rasakan.
Raffi mencari tempat untuk menanti Aline selesai bekerja, ia duduk bersila di lantai dan membuka aplikasi film untuk menghabiskan waktu. "Mas Raffi beneran enggak apa-apa nunggu gini?" suara Aline membuatnya terkejut. Pasalnya perempuan tersebut tiba-tiba duduk di sebelahnya tanpa bersuara dan sedikit menyandar di pundaknya. "Sorry, Mas. Agak capek aku," katanya sebelum kembali menegakkan badan.
"Aku enggak keberatan kok kalau kamu nyandar," katanya tanpa melepas pandangan dari Aline yang tersenyum mendengarnya. "Salah satu keuntungan memiliki tubuh tinggi besar begini adalah, enak kalau dibuat sandaran. Kalau dipeluk seperti meluk giant teddy bear, enggak bakalan kedinginan."
Aline tertawa cekikikan mendengar kalimatnya yang menggambarkan keuntungan untuk berdekatan dengan dirinya. Untuk pertama kalinya, Raffi merasa harus mempromosikan dirinya sendiri. Ia tak tahu apa yang membuatnya bersikap seperti anak ABG saat ini, tapi tekadnya sudah bulat untuk mencoba peruntungan sejak melihat Aline dalam balutan kebaya di atas panggung tadi sore.
"Promosi banget, Mas," kata Aline seraya kembali menyandar di pundaknya dan bernapas lega seakan beban berat terangkat dari pundaknya. Berbeda dengan Raffi yang tanpa sadar menahan napas, karena tak ingin memecah kedamaian yang ada di antara mereka berdua. Ia bahkan tak berani bergerak, karena jika ia menoleh ke kanan, bibirnya pasti akan menyapu puncak kepala Aline saat ini. "Jangan kaku gitu badannya!" kata Aline tanpa mengangkat kepala.
"Namanya juga usaha, Line," jawabnya. "Kamu sadar, kan, kalau aku noleh ke kanan bakalan bisa cium puncak kepala kamu? Dan aku enggak mau bikin kamu jadi ilfeel karena aku enggak sengaja melakukan itu." selama ini ia selalu menjaga kesopanan di dekat siapapun, termasuk pacar-pacarnya sebelum ini. Raffi tak mau mengacaukan usahanya kali ini, karena ia memiliki perasaan baik tentang perempuan yang menyandar di pundaknya hingga panggilan tugas kembali terdengar.
"Thank you kopinya, aku tinggal sebentar, ya, Mas. Moga-moga cepat selesai."
Gerak tubuh lincah perempuan dengan rambut panjang yang di ikat di atas kepala menjadi pusat perhatiannya selama beberapa saat. Kopi di tangannya pun diabaikan hingga ia tak bisa merasakan kehangatan dari cairan hitam tersebut.
Jeng jeng jeeeeng ....
Masih ingat sama Mas Raffi? Ingat doong.
😂😂😂
Sesuai janji, kita lanjut petualangan bersama Aline dan Mas Raffi setelah Anggi terbang ke Jepang.
Hepi riding
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top