Bab 5

Bab 5
Kamu?!

“Ya ampun … kamu hebat banget, Line!” teriakan dan pelukan Chita yang pertama Aline dapatkan tak lama setelah kakinya menuruni panggung sore itu. Meski tugasnya belum sepenuhnya selesai, tapi secara garis besar semua berjalan sesuai yang mereka rencanakan.

Aline terduduk lemas merasakan adrenaline mengalir di sekujur tubuhnya ketika Chita meninggalkannya sendiri untuk menyelesaikan sesuatu. Semua kegembiraan yang di rasakannya semenjak ia membuka mulut menyapa semua pengunjung seakan membuatnya lelah saat ini. Meski begitu ia tak bisa menghapus senyum yang ada di bibirnya, dan di dalam hati ia berkata, “Aku bisa.”

“Aku baru tahu kalau seorang Aline Adhiansyah adalah seorang MC terkenal.” Kepalanya mendongak dengan cepat ketika mendengar suara lembut dan sexy yang lebih dari satu tahun tak pernah di dengarnya kembali. Matanya membeliak seakan tidak percaya dengan apa yang ada di depannya saat ini, lelaki di depannya terlihat berbeda. Meski jambang dan kumis masih menghiasi wajahnya, tapi badan yang dulu terlihat gemuk, saat ini terlihat sedikit lebih ramping.

“Kamu?!” kata Aline menujuk Raffi yang terlihat tertawa mendapati reaksi berlebihannya. “Kok Mas Raffi ada di sini?”

Aline menerima dan segera menandaskan air minum yang Raffi sodorkan padanya tanpa mengalihkan pandangan. Ia tak percaya bisa bertemu dengan Raffi kembali, karena semenjak malam itu, Aline tak pernah memiliki kesempatan bertemu meski beberapa kali ia berkunjung ke rumah makan milik kakak pria tersebut. Mata lembut yang tertuju padanya saat ini membuat jantungnya semakin berdetak kencang, bertambah dengan adrenaline yang masih membuatnya telalu bersemangat.

“Sebenarnya hari ini aku antar Ibu.” Seketika Aline berdiri dan menyadari kekonyolannya. Karena beberapa saat lalu ia bersalaman dengan perempuan sepuh dengan rambut memutih yang terlihat familiar meski ia tak mengingat di mana pernah bertemu. “Aku kaget lihat kamu di atas panggung begitu. Kamu kelihatan cantik, Line.”

Tanpa memandang ke kaca, Aline merasakan pipinya bersemu merah mendengar pujian yang terdengar biasa keluar dari bibir Raffi. Karena pria itu  mengatakannya seolah itu hal yang wajar untuk di katakan. Berbeda dengan Aline yang saat ini harus menahan diri untuk tidak melompat kegirangan mendapat pujian seperti itu. meski ini bukan pujian pertamanya, tapi mendengar itu dari bibir Raffi membuatnya merasa sempurna.

“Makasih,” kata Aline dengan kepala tertunduk karena tidak ingin Raffi melihat pipinya yang bersemu merah.

“Apa kabar, Line?”

Aline mengangkat kepala dan mendapati Raffi menunduk ke arahnya, senyum manis di bibir yang membuatnya gagal untul menjawab pertanyaan sederhana yang pria itu tujukan padanya. Bahkan saat ini, ia harus mengulum bibir karena takut mengatakan sesuatu yang bodoh dan membuat pertemua kedua mereka menjadai kacau.

“Aku enggak berani jawab pertanyaan Mas,” aku Aline setelah berhasil menguasai diri. “Rasanya, di sini ….” Aline menyentuh dada kirinya. “Degupnya kenceng banget. Entah karena aku berhasil selesaikan satu pekerjaan atau karena bertemu sama Mas Raffi lagi.”

Keramaian di sekitar mereka membuat keduanya tidak bisa leluasa untuk saling bertukar cerita saat ini. Sebelum ia sempat berkata, ponsel di tangan Raffi membuatnya terkejut. Aline mengalihkan pandangan memandang keramaian pengunjung acara hari ini, ia bisa melihat perempuan bergaun batik memandang ke arahnya.

“Kenalan sama Ibu, yuk,” ajak Raffi menarik lengannya dengan lembut. Aline tak kuasa untuk berkata tidak, bahkan kakinya saat ini dengan senang hati mengikuti langkah pria dengan aroma parfum yang membuatnya gagal untuk berkonsentrasi. Hingga kakinya goyah dan hampir jatuh jika lengan kokoh itu tidak menahannya saat ini. “Kamu enggak apa-apa?” tanya Raffi yang terlalu dekat dengannya.

“Marsha,” panggilan dari kejauhan membuat Aline tersadar dengan kekonyolannya. Ia menegakkan badan dan memundurkan langkah satu kali di belakang Raffi sebelum menoleh ke arah perempuan yang tersenyum ke arahnya. “Ibu sudah selesai, mau pulang sekarang atau ….”

Jeda yang membuat Aline menjadi kikuk tersebut menjadikan suasana hatinya semakin kacau. Pasalnya Raffi kembali menarik lengan dan mengenalkannya kembali secara resmi pada ibunya. “Tadi sudah kenalan, Mas,” kata Aline ke arah Raffi. Meski ia tetap mengulurkan tangan dan menjabat halus tangan perempuan yang terlihat menawan di usia senja.

“Ibu baru tahu kalau Aline temannya Masha, lho! Kok enggak bilang-bilang tadi?” tanya Padmi yang terlihat terkejut.

Aline sesekali melirik Raffi sebelum menjawab pertanyaan tersebut. “Maaf, Bu. Sebenarnya ketemu Mas Raffi juga baru dua kali ini. Yang pertama saat pembukaan resto Pak Satya satahun lalu.”

“Lah, baru kenal, to!” nada geli Padmi mengundang tanya di hati aline, tapi ia memutuskan untuk melupakan hal tersebut dan kembali memusatkan perhatian pada perempuan yang memiliki senyum seperti anak lelaki nya. “Ibu kira kalian sudah lama saling kenal, wong Marsha keliahatan beda gitu.”

Aline hanya bisa tersenyum kikuk dan melirik pria yang terlihat santai di sebelahnya. Ia tak tahu apa yang Padmi maksud, tetapi hatinya terasa berbeda karena bertemu dengan Raffi kembali hari inI. “Ibu enggak suka harus memisahkan kalian begini, tapi sayangnya harus segera balik ke rumah. Karena hari ini adalah ulang tahun salah satu cucu ibu. Atau Aline mau ikut ke rumah?”

“Eh … anu, Bu. Saya masih harus bekerja, karena sebenarnya tugas saya di sini sebagai EO Cuma tadi tante Sundari minta saya merangkap jadi MC. Jadi … terima kasih tawarannya, tapi lain kali saja saya main ke rumah.”

“Benaran, lho, ya!” ancaman Padmi terkesan berbeda di telinganya. Senyum di bibir ibu dan anak yang memandangnya lekat membuatnya curiga telah melewatkan sesuatu. “Marsha, Ibu tunggu di depan, dan Aline … Ibu tunggu kapan main ke rumah.” Ia mengangguk dengan semangat menjawab permintaan Padmi.

Aline masih merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dimulai dari keputusannya untuk menyetujui menjadi MC dadakan, keberhasilannya membawakan acara tanpa cela—meski jantungnya berdetak kencang—dan kemunculan Raffi seolah melengkapi kejadian baik yang terjadi padanya hari ini. Ia masih tak bisa memalingkan wajah dari perempuan yang bergerak dengan anggun meski sesekali harus berhenti untuk menyapa beberapa orang. “Ibu Mas Raffi ramah banget ya. Enggak ada satu orang pun yang terlewatkan, meski hanya sekedar dadah dadah gitu,” kata Aline dengan sorot kagum yang tak bisa ia hilangkan.

“Anaknya Ibu Padmi juga ramah banget, lho, Line.” Aline menoleh dengan cepat memandang Raffi yang juga mengarahkan pandangan padanya. Tanpa disadari, ia menyentuh dada kiri dan berkata dalam hati, “Jantung, kamu baik-baik aja, kan? Yang kuat, ya!” Karena saat ini, ia merasa lemah menjadi pusat perhatian Raffi. “Kamu kenapa?” tanya Raffi dengan nada kuatir yang membuatnya harus mengulum senyum.

“Jantungku jedag jedug dari tadi, Mas,” jawabnya tanpa melepas pandangan dari pria berpenampilan santai sore ini.

Suara musik yang terdengar jelas tak membuat keduanya merasa terganggu. Bahkan saat ini Aline merasa tidak bisa mendengar suara apa-apa kecuali suara lembut Raffi berkata, “Pasti karena terpesona ketemu aku, ya?”

Dua kali bertemu Raffi, Aline merasa ada sesuatu yang berbeda. Perasaan nyaman yang selalu mengiringi pertemuan tidak sengaja mereka, membuatnya berharap akan terjadi sesuatu di antara mereka berdua. Meski ia tak berani untuk mengatakan apa-apa, karena perasaan takut yang selalu muncul setiap kali dia mengharapkan sesuatu.

“Mungkin,” jawab Aline tanpa melepas pandangannya. “Mungkin karena Mas terlalu mempesona bagiku,” goda Aline lebih berani.

Napasnya tercekat ketika tiba-tiba Raffi menunduk dan berbisik, “Kamu salah, Line. Justru kamu yang membuatku terpesona!” Sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Raffi meninggalkannya. Aline tak tahu apa yang terjadi dengan tubuhnya, ia tak bisa bergerak, jantungnya semakin bertalu kencang dan bibirnya tak bisa berhenti tersenyum. Hingga pria yang beberapa saat lalu membisikkan rayuan di telinganya menghilang dari pandangan. Ia masih bisa mendengar suara lembut dan sexy terngiang.

“Line, kamu kenapa?” tepukan di pundak membuatnya terkejut. “Hei, kenapa?!” suara Chita yang terdengar kuatir berhasil mengalihkan pandangnya.

Bonus untuk teman-teman semua.
Sampai ketemu hari Minggu--InsyaAllah.

Happy reading
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top