Bab 4
Bab 4
MC dadakan
Menjadi pekerja kreatif tak pernah ada dalam rencana hidupnya selama ini. Meski saat Chita memberinya ide ketika keduanya masih duduk di bangku kuliah, Aline merasa itu bukan jalan yang ingin ia tempuh untuk meniti karir. Namun, ketika Chita mengajaknya untuk magang di salah satu EO yang memiliki pengalaman mengerjakan event skala nasional, Aline menikmati dan tertantang untuk bisa melakukannya.
Ia tak pernah mengira ia akan menikmati proses kreatif untuk menyusun acara yang harus bisa memenuhi keinginan hampir semua pihak. Belajar untuk mengambil keputusan dengan cepat, berpikir kreatif dan melihat peluang untuk menghasilkan sesuatu di saat tidak semua orang bisa melakukannya. Ia menikmati itu semua, ia bisa melakukan sesuatu yang berbeda dibanding kedua kakaknya. Ia menghasilkan karya meski bagi sebagian anggota keluarganya yang lain, pekerjaannya remeh temen.
Hari ini, keduanya berada di atrium salah satu mall sejak pagi untuk mengawasi persiapan akhir pagelaran kain tradisional yang diprakarsai oleh salah satu komunitas perempuan pecinta kain tradisional. Acara yang terdiri dari bazar, beauty class, kursus singkat padu padan kain tradisional dan juga pagelaran busana akan digelar mulai pukul satu siang hingga malam hari.
“Mbak Aline, semua sudah siap?” tanya Sundari—ketua komunitas pecinta kain tradisional—yang terlihat anggun dengan kebaya sepanjang lutut berwarna biru muda. “Tante seneng lihat hasil kerja Mbak Aline. Kalau kemarin, tante hanya bayangin, begitu lihat hasilnya, lha kok ternyata apik banget.” Pujian itu membuat semua lelah dan pegal yang terasa di punggungnya menghilang dengan sendirinya.
Senyum tak lepas dari bibirnya yang tak tersapu lipstick semenjak pagi. “Makasih, Tante. Terima kasih untuk kesempatannya, moga-moga kita bisa bekerja sama lagi,” ucap Aline yang tak mampu menyembunyikan senyum puas dan bahagia di bibirnya.
Aline mengikuti langkah Sundari yang mengajaknya duduk tak jauh dari panggung rendah dengan dekorasi simple dan elegant sesuai briefing. “Tapi Tante harus ngrepoti Mbak Aline lagi.” Perutnya terasa melilit memandang raut kusut yang tiba-tiba mewarnai wajah perempuan di sebelahnya.
“Ada yang bisa aku bantu, Tante?” tanyanya dengan jantung bertalu kencang. Terlintas di benaknya, ada kekurangan dari semua persiapannya selama ini membuat perutnya terasa melilit. “MC yang tante minta dapat musibah tadi pagi, padahal waktu itu udah tolak yang Mbak Aline ajukan. Terus piye ini?”
“Aku coba tanya teman-teman dulu, ya, Tante. Moga-moga ada yang lowong siang ini," kata Aline mencoba menenangkan dokter gigi yang sudah pensiun dari pekerjaannya.
Salah satu yang tak pernah ia pikirkan adalah harus mencari pengganti MC yang sudah menjadi langganan komunitas mereka setiap kali mengadakan event. Mendengar hal itu, Aline segera mengehubungi beberapa teman pembawa acara yang ada di kontak ponselnya setelah meyakinkan perempuan jawa di depannya bahwa semua akan baik-baik saja. Namun, hingga satu jam sebelum acara berlangsung, tidak ada satupun pembawa acara yang kosong di hari Minggu ini.
Ia dan Chita berusaha menghubungi semua orang, keduanya sudah terlihat kusut dan tangan tak henti-hentinya menghubungi semua orang. Hingga pertanyaan Sundari membuat keduanya berhenti dan saling menatap dengan sorot mata tidak percaya.
“Enggak, Tante. Enggak mungkin!” tolak Aline yang segera berdiri dari posisinya berselonjor kaki. Wajahnya pucat dan perutnya terasa melilit karena membayangkan permintaan tersebut.
Berbeda dengan Chita yang memandangnya dengan wajah berseri dan senyum terkembang. Bahkan perempuan bercelana jeans warna hitam tersebut segera berdiri meninggalkannya yang masih sibuk menggeleng menolak permintaan Sundari. Dari sudut mata, Aline bisa melihat apa yang sahabatnya lakukan saat ini. Ia bisa melihat Chita berbicara dengan salah satu pengisi beauty class yang sesekali memandangnya lalu mengangguk dengan senyum di bibir.
“Semua siap, Tante,” jawab Chita tanpa mempedulikan protes yang Aline layangkan semenjak ide yang Sundari katakan beberapa saat lalu. “Ada kebaya yang sepertinya cocok dengan warna kulit Aline di stand Mamita. Gimana, Tante?”
“Enggak! Yang benar aja, Chitato!” hardiknya. “Kamu tahu udah berapa tahun aku enggak ngomong di depan banyak orang, terakhir waktu kuliah, lho!” Menjadi pembawa acara bukan hal baru baginya, tapi semenjak lulus kuliah, Aline lebih banyak berada di balik layar. Karena tuntutan pekerjaan yang memaksanya untuk selalu siap untuk mengawasi jalannya acara. “Lagian aku enggak ada persiapan ini, Ta!” protes Aline sebelum mengalihkan pandangan pada perempuan yang memiliki ide tersebut.
“Tante, aku udah lama banget enggak MC acara. Dan enggak pernah acara sebesar ini, lho! Nanti acara tante malah kacau.” Ia masih berusaha untuk merayu semua orang yang sepertinya bersekongkol untuk menjadikannya pembawa acara hari ini.
Tak lama kemudian, perempuan yang Aline kenal bernama Mitha, datang membawa kebaya modern berwarna merah marun lengkap dengan kain jarik yang terlihat serasi. Bahkan Chita mengeluarkan sandal berhak tinggi tujuh centimeter yang ada di dalam tas kerjaku. “Baju ada, sandal ada, make up juga ada. Gimana, Line? Siap?!”
Kali ini bukan hanya Chita yang memandangnya dengan penuh harap. Selain Sundari dan Mitha, beberapa orang pun seolah menunggunya untuk menyetujui rencana gila tersebut. Bahkan untuk menambah beban, salah satu dari anggota komunitas berkata bahwa salah satu pengusaha yang selama ini memberi banyak dukungan pada pengusaha UMKM sudah mengkonfirmasi kedatangannya.
“Udah, Mbak Aline saja! Sana make up dulu!” Aline hanya bisa terdiam ketika Sundari menepuk pelan pundaknya sebelum berjalan meninggalkannya yang masih berusaha untuk mengatur detak jantungnya. Beberapa kali ia membuka mulut untuk berkata tidak, tapi melihat wajah lega semua orang membuatnya hanya bisa pasrah dan mengikuti langkah Chita yang membawanya ke satu sudut dimana sudah menanti seorang MUA yang siap untuk menyapu make up di wajahnya.
“Aku enggak sabar lihat kamu, Line,” kata Chita yang duduk di depannya dengan kamera siap di tangan. Bahkan sahabatnya tersebut tak berhenti mengabadikan setiap perubahan wajahnya yang mulai tersapu make up tak lama setelah ia menjatuhkan badan di kursi. “Kamu harus bisa Line. Setelah ini, kita enggak hanya menjadi penyelenggara. Karena aku akan dengan bangga menawarkan jasa MC.” Binar bahagia yang membuat perutnya semakin melilit membuat Aline tak bisa berkata-kata. Di dalam hati, ia hanya berdoa semoga menjadi pembawa acara dadakan ini tidak berakhir kacau.
Aline menarik lengan Chita dan memandang sahabatnya dengan tajam, “Kalau ternayata kerjaku jelek, kamu yang aku gorok!”
Yuhuuuu ... Seperti biasanya ceritaku punya konflik yang ruingan banget. Begitu juga Aline. Moga2 pada suka bacanya.
Makin dekat tanggal 1, jadi bentar lagi cerita Aline harus di pending dulu dan teman-teman bisa baca Anggi-Alfa.
InsyaAllah ketemu hari Minggu pagi ya.
Love, ya!
😘😘😘
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top