Bab 3
Bab 3
Tahu campur kalasan
Salah satu yang menarik perhatian Aline adalah gallery wall berisi foto Surabaya di jaman dulu. Ia tak bisa mengalihkan pandangan dari foto gedung Grahadi yang dulu berfungsi sebagai rumah peristirahatan, tempat pertemuan ataupun pesta. Mengamati gedung PTPN yang terlihat megah atau jalanan Surabaya dari jaman penjajahan Belanda tanpa menyadari pria yang berdiri tak jauh dari sisinya hingga suara lembut memecah konsentrasinya.
“Lihat Surabaya di jaman dulu buat kamu bertanya-tanya enggak?” Aline menatapnya bingung. “Kalau seandainya hidup di jaman itu, segala sesuatu lebih sederhana atau malah lebih ruwet?”
Mendengar pertanyaan random yang pria itu sampaikan terasa aneh di telinganya. Karena itulah yang ada di kepalanya saat ini. Seribet dan seruwet apa hidupnya jika hidup di jaman itu. Apakah ia tetap merasa jadi orang luar saat ada di rumah sendiri? Atau ia akan menemukan rumah yang menerimanya dengan tangan terbuka? Ia bahkan memikirkan jika hidup di jaman Belanda apakah dia akan merasa seperti malam ini.
“Aku akan jadi nonik Belanda dengan gaun warna putih tulang atau biru muda atau mungkin dengan kebaya putih dan berjarik warna coklat,” jawabnya dengan senyum menghiasi bibir membayangkan menggunakan baju yang tertutup dan tidak terbuka seperti saat ini. “Kalau Mas Raffi?” Aline memberanikan diri untuk menatap pria yang melipat tangan di belakang punggungnya tersebut.
“Aku pasti jadi salah satu anak pedagang, dilihat dari nenek moyangku yang bukan seorang pelaut.” Tanpa Aline sadari, pria itu telah membuat malamnya jadi lebih baik dengan bercandanya yang sebenarnya tidak terlalu lucu.
Aline bersedekap dan menatapnya dengan mata memicing, “Kalau boleh aku tebak, Mas Raffi adalah satu pengusaha di Surabaya.”
Bukan jawaban yang ia dapatkan, karena pria itu sibuk melihat ke arah kerumunan banyak orang dan menunjuk salah satu dari mereka. Aline melihat perempuan lanjut usia dengan rambut yang sebagian besar telah beruban. Ia tertegun ketika mendapati senyum yang terlihat sama dengan pria di sebelahnya. “Ibu?”
Raffi mengangguk menjawabnya, “Ibu usianya sudah tujuh puluh, tapi masih rajin datang ke acara begini. Ini namanya networking, Sha, kata ibu setiap kali aku bertanya kenapa selalu memenuhi setiap undangan seperti ini,” mata Raffi. “Ibu selalu memanggiku Marsha, meski semua orang selalu memanggilku Raffi.” Raffi menatap ke arah segerombol pria dengan jas berwarna gelap, dan Aline mendapati raut muka yang tak bisa ia jelaskan.
Aline tak bisa memalingkan wajah dari perempuan bergaun hitam dengan syal batik yang terlihat lembut di kulit. Senyum yang terpancar darinya terasa berbeda, sebagian besar orang yang mendengarnya berbicara berusia sepertinya, tapi ia bisa melihat setiap mata terlihat kagum pada perempuan tersebut. “Sepertinya Ibu Mas jadi pusat perhatian pesta pembukaan ini, ya.”
“Tentu saja. Ini salah satu restoran kebanggaan anak nomer satunya.”
Kepalanya sampai agak pening karena menoleh terlalu cepat, dan mendapati pria di sebelahku meringis gugup. “Mas Satya itu kakak Mas Raffi?” tanya Aline tidak percaya dan segera mencari persamaan antara kedua pria yang baru dikenalnya malam ini.
Raffi memperpendek jarak dengannya, sedikit membungkukkan badan ia berkata, “Jangan bilang-bilang Mas Satya. Meski ini restoran kebanggaan kakak sendiri, tapi saat ini aku jauh lebih pengen makan tahu campur Kalasan,” bisikan pria itu membuat telinganya tergelitik. Ada nada jengah atau bosan yang terdengar jelas saat ini.
Aline tertawa mendengar selera pria di sebelahnya. Jam tangan yang terlihat mahal ada di pergelangan tangan kirinya, jas berlapis kemeja warna krem terlihat pas di badannya yang tinggi besar dan sepatu mengkilap yang terlihat melengkapi penampilan mahal Raffi, tapi selera makannya tak seperti yang ia duga.
“Aku kira pengusaha sukanya makan di resoran fine dinning yang isinya dikit tapi harganya mahal,” sindirnya, meski Aline menduga pria di sebelahnya tidak terlalu suka dengan makan banyak aturan seperti resto ini tawarkan.
“Aku enggak tahu kalau pengusaha memang suka makan seperti itu, yang aku tahu dosen sukanya makan makanan yang murah dan isinya banyak,” jawab Raffi dengan senyum geli yang menghiasi bibirnya. Berbeda dengan Aline yang memandang pria di depannya dengan mata membulat dan bibir terbuka.
“Mas Raffi dosen, ngajar di mana?” tanya Aline bersemangat. Namun, semangat itu langsung buyar ketika Raffi menyebut nama universitas Negri yang sama dengan hampir semua anggota keluarganya. “Mbencekno!” makiku dalam hati.
“Kenapa?” tanya Raffi.
Tak ingin Raffi melihat kebencian di wajahnya setiap kali mendengar orang lain menyebut nama kampus yang paling aku benci, Aline mengelengkan kepala dan sepertinya cukup bagi pria itu. Karena Raffi memutuskan untuk diam meski mata lembut itu masih terpaku padanya dan membuat kakinya melemah.
Keduanya terdiam memandang keramaian yang belum terlihat berkurang sama sekali. Bahkan terlihat semakin ramai, begitu juga dengan lingkaran di sekitar ibu Raffi yang semakin bertambah, “Mas Raffi enggak harus menyelamatkan Ibunya?” tanya Aline tanpa mengalihkan pandangan dari perempuan tersebut.
“Menyelamatkan Ibu? Enggak perlu. Enggak ada seorangpun yang bisa membuat Ibu capek, meski harus berjam-jam membahas tentang pekerjaan.” Ada nada getir berlapis kasih sayang yang bisa ia rasakan dari setiap kata yang Raffi katakan tentang ibunya. Seketika ia membayangkan apa yang di rasakan Raffi. Karena bapaknya memiliki efek yang sama pada semua orang. Seolah menyerap perhatian semua orang.
Ia jadi teringat makan malam yang terasa nikmat tapi tidak membuatnya merasa puas beberapa jam lalu. “Gara-gara Mas Raffi, aku jadi pengen makan Tahu Campur!” keluhnya yang mendatangkan tawa di bibir Raffi. Tawa yang malam ini membuatnya sedikit terhibur. Suaranya lembut, berbanding terbalik dengan wajahnya yang ditumbuhi jenggot dan kumis tebal. Terlebih lagi bentuk tubuhnya yang tinggi besar. Pasti nyaman kalau dipeluk, Aline mengulum senyum ketika tiba-tiba pemikiran itu melintas di kepalanya
“Kamu bayangin tahu campur sampai senyum-senyum gitu,” Mata lembut Raffi yang tertuju padanya memiliki efek yang tak pernah ia rasakan selama ini. Aline merasa berbeda, pandangan itu membuatnya merasa menjadi pusat perhatian pria yang baru dikenalnya malam ini.
Sesaat sebelum ia menjawab Raffi, dilihatnya pelayan membawa makanan yang terlihat cantik dan menggiurkan. “Ayolah, Mas! Gimana bisa makanan segitu dibandingin sama nikmatnya tahu campur yang pedes dengan potongan daging. Petis madura yang nikmat sama kerupuk melengkapi semuanya.” Goda Aline ke arah pria yang juga terlihat membayangkan nikmatnya makanan khas tersebut. “Hayo, lagi bayangin tahu campur, juga, kan?!”
Ia merasa Raffi adalah pria yang membuat siapapun merasa nyaman saat bersamanya. Karena selama ini Aline sulit untuk langsung akrab dengan orang baru, berbeda dengan Chita. Namun, pria yang memiliki mata indah itu membuatnya nyaman. Hingga tanpa ia sadari, topeng professional yang semenjak tadi terpasang di wajahnya telah terlepas begitu saja.
“Gara-gara kamu, aku jadi pengen tahu cam—”
“Raff!” sela suara seseorang. Aku mengalihkan pandangan dan bertemu dengan wajah serupa dengan Raffi yang tidak kusadari saat pertama berkenalan beberapa saat lalu. “Ditunggu Ibu di depan!” kata Satya. Pria itu tak terlihat ingin mengatakan sesuatu, karena setelah perintah yang diucapkannya, ia tersenyum lalu berbalik meninggalkannya dan Raffi yang terlihat kikuk.
“Tugas memanggil. Semoga kita bisa bertemu lagi, dan siapa tahu kita bisa makan tahu campur berdua. See you when I see you Aline Adhiansyah,” kata Raffi sebelum meninggalkannya dengan perasaan bodoh karena lupa menanyakan nomor telepon.
“Aline bodoh! Enggak tiap hari kamu ketemu pria baik yang enggak fokus sama Dada kamu!” makinya dalam hati sepanjang jalan mencari Chita yang entah ada di mana.
Aline bertemu banyak pria dalam pekerjaannya, tapi tidak semua sopan dan semenyenangkan Raffi. Dalam beberapa menit, pria itu berhasil membuatnya ingin berlama-lama menghabiskan waktu mendengarkannya bercerita tentang apapun juga. Karena suara lembut Raffi membuatnya ingin bergelung dalam pelukan pria tersebut.
Ngobrol sama Mas Raffi dulu, sebelum minggu depan ketemu Mas Alfa (InsyaAllah) setiap pagi seperti jam update-ku biasanya.
Ngebahas Mas Raffi, laki-laki ini bisa bikin perempuan baper hanya dari caranya mendengarkan. Membuat jantung Aline dag dig dug ketika mendapat perhatian 100%.
Berbeda dengan Anggi--InsyaAllah muncul minggu depan--Aline cewek yang suka tampil sexy dengan rambut bergelombang Indah dan wajah yang memiliki bitchy vibe banget.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top