Bab 28
Bab 28
Finally
Makan malam keluarga sebelum ia resmi menjadi istri Raffi menjadi moment paling mendebarkan baginya. Malam ini dia memutuskan untuk mengatakan semua yang menjadi ganjalan hatinya selama ini. Namun, tanpa kehadiran pria yang sedang berada di Jakarta, ia merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Tak ada genggaman erat tangan Raffi, ia merasa kehilangan kekuatan.
“Kamu bisa!” kata Raffi meyakinnya. “Ada aku ataupun enggak. Calon istriku adalah perempuan hebat, yang mampu melakukan apapun. Termasuk berbicara dari hati ke hati bersama keluargamu.”
“Tapi, Mas ….”
“Enggak ada tapi tapi! Semakin lama kamu nunda, hatimu enggak menjadi tenang. Kita akan menikah minggu depan, gunakan waktu dengan baik berbakti pada keduanya sebelum aku menyita semua perhatianmu.” Kekehan di ujung sambungan berhasil membuatnya tersenyum.
Raffi, pria yang tak pernah ia cari, datang dan mengisi hatinya dengan cinta. Perhatian yang selalu pria itu berikan padanya, membuatnya melihat ketulusan yang selama ini tak pernah ia dapatkan dari semua mantan kekasihnya. Aline menahan diri untuk tidak berteriak karena minggu depan ia akan menikah. “Aku masih enggak percaya, minggu depan kits nikah.”
“Harus percaya, dong! Aku udah setuju enggak ketemu kamu selama seminggu, nahan diri untuk enggak nyium kamu adalah cobaan besar!” Tawanya semakin lebar mendengar nada jengkel Raffi. “Udah bisa tertawa, kan? Sekarang keluar dari mobil, senyum, dan katakan semua yang ingin kamu sampaikan pada kedua orang tuamu.”
Aline menarik napas keras dan membuka pintu mobil dengan senyum yang terasa di paksakan. “Kalau tetap sulit, lakukan untukku.” Pesan Raffi sebelum memutuskan sambungan telepon kembali terngiang di telinganya. “Ini buat kamu, Mas,” katanya sebelum melewati pintu utama rumah kedua orang tuanya.
Makan malam yang berlangsung dengan tenang—seperti biasanya—membuatnya semakin gugup. Hingga ia melihat semua menyelesaikan makan, Aline berkata, “Ada yang pengen aku omongin sama Bapak dan Ibu,” katanya membuat semua orang terkejut. Bahkan kedua kakak perempuannya mengangkat alis mata, bertanya dalam diam.
“Sebelum nikah, aku pengen bisa mengurai ketidaknyamanan yang selalu terasa setiap kali berada di rumah ini.” Ia tahu saat ini kedua orang tuanya terkejut, tapi diamnya mereka membuat Aline semakin yakin untuk mengeluarkan semua uneg-uneg di kepala. “Aku tahu. Aku sadar, dibanding mereka berdua, aku bukan siapa-siapa.” Tarikan napas kedua kakak perempuannya terdengar jelas, dan ia tersenyum menanggapinya.
Setelah malam itu, hubungan mereka bertiga berubah. Pada akhirnya, Aline merasa memiliki saudara tempatnya untuk berkeluh kesah selain Chita yang tak pernah keberatan mendengarkan ceritanya. Aline tersenyum lembut pada keduanya. “Aku bukan dokter. Pria yang akan menikah denganku pun bukan dokter, meski dia memiliki gelar doktor.” Tambahnya. “Aku enggak memilih jalan seperti yang Bapak Ibu pilihkan, tapi aku pengen semua orang tahu kalau … aku enggak menyesal memilih jalan yang berbeda. Aku bahagia dengan pilihanku, meski mungkin itu mengecewakan bagi Bapak dan Ibu.”
“Aline,” kata pria yang sejak tadi hanya diam tanpa mengalihkan pandangan darinya. “Mungkin cara Bapak Ibu untuk mengatakan bangga padamu, berbeda. Mungkin cara kamu berdua sayang sama kamu berbeda. Tapi itu enggak membuat dirimu menjadi kecil di mata kami. Line—”
“Tapi sikap Bapak dan Ibu berbeda!” selanya. “Itu yang membuatku semakin berat untuk datang atau bertemu Bapak dan Ibu,” katanya lirih berusaha untuk menahan agar air matanya tidak luruh membasahi pipi. “Aku bukan ingin pengakuan atau apapun itu saat ini,” katanya dengan suara serak menahan tangis. “Aku hanya ingin mengatakan pada semuanya kalau aku baik-baik saja. Mungkin aku enggak punya karir sesukses yang Bapak Ibu inginkan, bahkan bisa jadi aku berakhir menjadi ibu rumah tangga setelah menikah. Apapun nantinya, aku akan baik-baik saja meski semua orang kecewa padaku.” Sesaat setelah ia menutup bibir dan mengusap kasar air matanya, ia merasakan pelukan hangat kedua kakak perempuannya.
“Kami bangga padamu, Line. Kami berdua sayang kamu.” Hanya itu yang ia perlu dengar dari dua orang yang selama ini terlihat acuh padanya. Mendengar itu membuat tangisnya semakin deras. “Jangan merasa sendiri. Kami berdua minta maaf kalau selama ini sudah bersikap enggak adil sama kamu, ya,” kata Lilly mengurai pelukannya.
Sekian detik ketiganya saling berpelukan dengan air mata membasahi pipi mereka. Hingga suara sang Bapak memecah semuanya, “Bapak bisa bicara berdua sama kamu, Line,” pinta pria yang sudah berdiri dan berjalan menuju ruang kedua tanpa menunggunya untuk menjawab.
Setelah melepas lilitan lengan kedua kakaknya, Aline berjalan menemui pria yang selalu membuatnya takut dan juga sayang. Jantungnya berdetak kencang, tak tahu apa yang hendak bapaknya katakan. Namun, apapun yang akan is dengan beberapa saat lagi, tidak akan membuatnya kembali merasa tersisih. Ia menerima keadaan dirinya, dan berharap semua orang bangga, meski ia berbeda.
“Masuk, Line!” perintah yang ia dengar ketika memasuki ruangan dengan pintu yang masih terbuka. “Duduk!”
Beberapa menit setelah ia duduk di ujung sofa depan meja kerja bapaknya, tak ada kata yang keluar dari bibir keduanya. Ia sibuk menatap jalinan jari di atas pangkuannya, menata hati dan bersiap mendengarkan apapun yang bapaknya katakan nanti.
“Raffi satu-satunya lelaki yang berani menatap kedua mata Bapak setiap kali menjawab pertanyaan atau ketika Bapak ngomong sesuatu.” Aline diam dan mengangguk karena ia mengenal calon suaminya dengan baik. “Bapak enggak bilang kedua kakak iparmu enggak punya nyali untuk itu, hanya saja ....”
“Itulah calon suamiku, Pak,” kata Aline. “Mas Raffi selalu mencurahkan perhatian pada siapapun yang berbicara padanya.”
Pria yang kembali terdiam, hanya mengangguk mendengar jawabannya. “Bapak dan Ibu bukan enggak sayang atau bangga sama semua pencapaianmu, Line.” Aline tak terkejut mendapati bapaknya tiba-tiba mengubah arah pembicaraan mereka. “Mungkin cara kamu berdua menunjukkannya enggak seperti orang tua pada umumnya, tapi Bapak enggak mau kamu memiliki perasaan tersisih di antara keluargamu sendiri.”
“Tapi, Pak—”
“Bapak sayang kamu. Bapak bangga dengan semua pilihanmu. Bapak bukan enggak setuju dengan caramu untuk menjalani hidup atau pilihan karirmu ….”
“Tapi,” kata Aline yang merasa ada kata tapi mengikuti kalimat sang bapak.
“Tapi Bapak enggak nyangka kalau sikap diam Bapak dan Ibu membuatmu merasa tersisih. Padahal kami berdua diam karena enggak mau menganggu perjalananmu mencari diri, tapi ternyata itu membuatmu merasa tersisih. Maafkan Bapak yang membuatmu merasa enggak diterima di rumahmu sendiri.”
Bukan kalimat itu yang membuat pipinya basah, tapi genggaman erat yang dirasakannya saat ini membuat bendungan air matanya jebol dan tak bisa ia tahan lagi. “Bapak dan Ibu sayang sama kamu, Line. Jangan pernah merasa sebaliknya. Ibu mungkin memang keras tentang pilihan karirmu, tapi kamu harus tahu itu semua Basil didikan eyangmu. Jadi, yang sabar ngadepin ibu.”
“Eyang maksa Ibu jadi dokter?” Anggukan kepala bapaknya membuat Aline semakin mengerti dengan sikap keras wanita yang melahirkannya. “Pantesan sikap Ibu keras sama mereka berdua, dan aku bisa looks dari paksaan itu … karena Bapak, kan?”
“Sini!” kata bapaknya menarik tubuhnya lebih dekat. “Kami berdua bukan orang tua sempurna yang enggak bikin kesalahan, kamu akan mengerti nanti saat memiliki anak. Kami para orang tua enggak berhenti belajar menghadapi anak-anak, meski kalian sudah tua.”
“Aline sayang bapak,” ucapnya ketika lengan bapaknya melingkar di pundaknya. “Maaf karena belum bisa buat Bapak dan Ibu bahagia.”
“Kamu sudah membuat kami berdua bahagia, jangan pernah berpikir sebaliknya!” kata bapaknya tegas. “Sekarang temui ibu, sana! Bapak tahu sekarang ibumu lagi sedih.”
Aline hanya tinggal 1 bab lagi ya guys ...
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top