Bab 26

Bab 26
Janji

Raffi melangkah melewati ambang pintu apartemen Aline tepat pukul dua belas malam setelah pulang ke rumah untuk mandi dan berganti pakaian. Meski ia tahu Aline menunggunya. “Ibu enggak tahu sudah sejauh apa kamu sama Aline! Beberapa minggu lagi kalian akan resmi menikah, kalau bisa kurangi ketemuan biar enggak ada bertengkar-bertengkar konyol karena kalian berdua stress menjelang pernikahan.” Raffi mengingat pesan ibunya ketika mendapati anak keduanya kembali keluar rumah tak lama setelah kedatangannya satu jam lalu.

“Aku enggak bisa jauh darinya, Bu,” gumam Raffi memandang perempuan yang tidur menggunakan kaos dan memeluk erat bantalnya. Dengan pelan ia meletakkan ponsel, dompet dan keycard—yang sudah menjadi miliknya sejak malam kejadian Vania—di atas meja nakas dan bergabung dengan perempuan yang membuatnya tak bisa tidur hampir setiap malam.

Raffi mengerang pelan mengingat godaan yang Aline berikan setiap malam mereka melakukan video call. Baju tidur tipis yang membuatnya panas dingin. Celana pendek yang hampir tidak menutupi apapun membuatnya ingin cepat menyelesaikan pekerjaan dan kembali ke Surabaya. Godaan yang selalu kekasihnya berikan setiap malam membuatnya tak sabar ingin segera memeluk tubuh ramping calon istrinya.

Aline menyadari kedatangannya, tapi terlihat tak mampu membuka mata, dan Raffi memintanya untuk kembali tidur. “Tidur, Mas peluk lagi,” katanya sebelum kembali terdengar napas teratur Aline berada tepat di ceruk lehernya dan tak lama kemudian ia pun tertidur dengan senyum di bibir.

“Tadi aku ketemu Mas Seno dan Radit, Mas,” kata Aline pelan dengan mata tertutup. Kantuk yang beberapa saat lalu terasa, saat ini menghilang ketika mendengar nama dua orang pria dari masa lalu kekasihnya. “Jangan marah,” pinta Aline yang semakin melesakkan tubuhnya dalam pelukannya. “Aku cerita besok aja, ya. Peluk dulu.” Raffi tak bisa memejamkan mata dengan sempurna. Meski memeluk Aline yang tertidur nyenyak, ia tak bisa menghenyahkan nama Seno dan Radit yang meluncur dari bibir Aline beberapa saat lalu.

****

Ia terbangun dan mendapati sepasang mata memandangnya dengan senyum di bibir. “Kangen,” kata Aline ketika matanya sepenuhnya terbuka. Ia tak pernah merasakan apa yang ada di hatinya saat ini, keinginan untuk selalu ada di dekat Aline. Memeluk, mencium dan merengkuhnya setiap saat membuatnya tak bisa berpikir jernih saat ini. Seolah tak ada hari esok, dalam sekejap keduanya melucuti pakaian dan tidal Turin dari ranjang hingga matahari tepat di atas kepala. Melupakan kegundahannya semalam mendengar nama dua orang yang pernah mengisi hati calon istrinya.

Sambil mengatur napas, Raffi tak bisa berhenti membelai punggung telanjang Aline yang tengkurap di atas tubuhnya. “Kamu buat Mas enggak bisa tidur hampir setiap malam!” protesnya setelah kembali mencium bibir kekasihnya. “Bayangan kamu dan pakaian tidur kekurangan bahanmu buat konsentrasi kerja Mas buyar.”

Suara tawa Aline selalu menggelitiknya. Membangunkan semua rasa yang tak pernah Raffi sadari telah mencarinya selama ini. Sebelum malam pembuka restoran Satya, tak pernah terbayang dalam pikirannya akan berada di sini. Memeluk perempuan sexy, cantik, cerdas dan keras kepala. Mencium setiap jengkal kulit kuning langsat Aline yang membuatnya semakin bergairah. “Kangan kamu, Sayang,” ucapnya lembut di antara kecupan yang ia berikan sepanjang tulang pipi hingga turun ke leher jenjang kekasihnya.

“Enggak pengen dengar cerita aku ketemu mantan?” tanya Aline menghentikan apa yang ada di kepala Raffi.

“Kamu  mau cerita?” tanyanya setelah menegakkan badan. Ketika melihat anggukan Aline, ia meminta kekasihnya duduk di atas pangkuan. “Sekarang cerita,” pintanya lembut.

“Mas kan tahu kemarin ada rapat untuk event akhir tahun, nah ternyata mereka ganti tempat, di kafe milik Radit.” Aline diam sesaat menikmati belaian tangannya di paha yang mengapit kakinya. “Aku sulit untuk konsentrasi kalau gini, Sayang!” protes Aline yang tidak mendapat tanggapan apapun darinya. Bahkan saat ini, jarinya kembali mengarah ke satu titik di mana ia tak pernah akan puas untuk menyentuhnya. “Sayang … aku … enggak bisa … berhenti dulu ….” pinta Aline dengan suara serak yang terengah-engah.

Ia mengangkat tangan dan meminta kekasihnya untuk meneruskan ceritanya. “Aku ketemu Raras, Aline juga kedua orang tua Raras. Mas tahu?” Raffi  menggeleng menjawabnya. “Raras meminta maaf karena merasa datang di antara aku dan Radit. Dan dalam sekejap, semua rasa marah, jengkel dan perasaan ditikung yang selama ini ada di dada, menghilang.” Setiap kata yang meluncur dari bibir Aline terdengar damai tanpa ada jejak marah atau pun dendam. Seperti setiap kali kekasihnya menceritakan tentang Raras dan Lita.

Merengkuh kekasihnya dalam pelukan, Raffi  kembali mengusap pelan punggung telanjang Aline. “Kita enggak pernah tahu jodoh kita. Mungkin selama ini bukan Raras atau Lita yang berada di antara kamu dan Seno juga Radit. Bisa jadi kamulah yang hadir di antara mereka berdua.” Kata Raffi lembut di telinga kekasihnya. “Dan Mas bersyukur kamu bukan jodoh salah satu dari mereka. Karena setelah bertemu kamu  malam itu, Mas enggak pernah membayangkan akan menghabiskan waktu dengan siapapun kecuali kamu.”

“Love you, Mas,” kata Aline teredam dada. “Sepertimu, aku enggak bisa bayangin menghabiskan sisa usiaku bersama orang lain.”

Raffi menyadari perubahan sikap Aline setelah calon istrinya tersebut menceritakan tentang pertemuan dengan para pria dari masa lalunya. Tidak ada lagi senyum getir yang terkadang mewarnai wajah cantik Aline setiap kali cerita masa lalu menyeruak. Tidak ada lagi kesedihan muncul di wajahnya ketika menceritakan tentang kehidupannya. Kecuali ketika menyebut tentang keluarganya. Seperti malam ini ketika mereka kembali makan malam bersama di rumah kedua orang tua Aline.

“Kalau kita sudah nikah, mending enggak usah datang makan malam gini, ya, Mas.” Raffi menoleh cepat ke arah Lita yang terlihat malas. “Dua minggu sekali kumpul sama mereka itu udah terlalu banyak.” Helaan napas panjang membuat hatinya semakin sedih melihat keceriaan Aline menghilang seiring jarak yang terkikis menuju rumah calon mertuanya.

“Sayang, bisa lakukan sesuatu untuk Mas,” pintanya ketika Mobil sepenuhnya berhenti di depan rumah masa kecil Aline. Melihat anggukan perempuan yang menggengam tangannya erat, ia ingin kembali memeluknya seperti beberapa saat lalu. “Tersenyum. Kalau kamu enggak mau melakukan untuk mereka, lakukan untukku.”

“Mas.” Raffi tertawa mendengar rengekan yang akrab ditelinganya. Salah satu yang membuatnya semakin mencintai Aline adalah kemampuan Aline untuk menyimpan sisi manja itu hanya untuk dirinya. Tidak ada yang melihat Aline si manja kecuali dirinya.

Siapapun yang mengenal Aline pasti bisa merasakan bitchy vibe perempuan itu. Dari penampilan yang selalu terlihat sexy meski dengan pakaian tertutup sekalipun membuat beberapa orang merasa terintimidasi. Namun, kecerdasan Aline-lah yang membuat aura calon istrinya tersebut disegani berapa orang, termasuk dirinya.

“Sayang … senyummu adalah salah satu hal yang membuatku jatuh cinta padamu. Jangan sembunyikan itu,” rayunya. “Melihatmu tersenyum membuat hati ini tenang … do it for me, please. Kamu boleh minta apapun yang kamu mau malam ini.”

Aline memandangnya mengulum senyum yang membuat Raffi ingin memutar Mobil dan kembali ke apartmen sebelum Aline membuka pintu dengan bibir cemberut. “Cuma buat kamu, ya, Mas!” kata perempuan dengan terusan putih tanpa lengan yang membuatnya panas dingin. “Ayo … semakin cepat selesai, kita bisa pulang dan aku bisa menagih janji.”

Aku mecungul lagi nih
Kalau pas rajin ... Rajiiin banget. Kalau pas males, ya ... Males bangeeet 😜😜😜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top