Bab 25

Bab 25
Rindu yang mengganggu

Dari semua tempat, ia tak menyangka akan menginjakkan kaki kembali di sini. Kafe di mana cerita cinta antara dirinya dan Radit berakhir. Senyum geli bercampur getir tak bisa ia tahan ketika berjalan memasuki tempat yang tak terlihat berubah kecuali cat dan gallery wall yang mengisi salah satu dinding. Selama beberapa saat ia terdiam dan mengamati setiap sudut hingga pandangannya bersirobok dengan sepasang mata yang sempat ia benci.

“Mbak Aline!” sapa Raras yang tak terlihat berubah. Senyum ramah ada dibibirnya pun tak ragu terkembang untuknya. Badan perempuan yang mengisi hati Radit sejak dulu tersebut terlihat lebih berisi dan tonjolan di perut Raras mengundang perhatiannya.

Aline tersadar dari keterkejutannya ketika badannya tertarik ke dalam pelukan Raras dan seketika ia bisa menghirup aroma parfum yang pernah akrab di hidungnya. Parfum Radit menguar dari tubuh Raras. “Apa kabar? Udah lama banget enggak pernah dengar kabar Mbak.” Ia masih belum sepenuhnya yakin dengan apa yang terjadi ketika Raras membawanya menuju meja di mana ia bertemu dengan beberapa wajah asing dan dua pria dari masa lalunya.

“Sayang … lihat aku ketemu siapa di depan,” kata Raras terdengar bahagia ketika melihat suaminya. “Kita udah lama banget enggak ketemu, ya, Mbak.” Ia hanya bisa tersenyum kikuk menjawabnya.

“Kenalin ini Mama dan Papaku.” Aline mengulurkan tangan ke arah dua orang yang terlihat mesra. “Ini Mas Seno, pasti masih ingat, kan?” kata Raras menunjuk pria yang memandangnya datar.

“Hai, Mas. Apa kabar?” tanya Aline yang hanya mendapat jawaban singkat.

Raras kembali menunjuk satu perempuan yang menatapnya tajam dan siap untuk menghabisi nyawanya. “Kenalin, ini tanteku, Lita.”

Aline tersenyum ketika mengulurkan tangan ke Lita, “Kita udah pernah kenalan dulu,” kata Aline.

“Kapan? Aku malah enggak tahu.” Raras terlihat terkejut mendengarnya. Aline masih mengingat cara Seno memandang perempuan bernama Lita siang itu. Seperti cara Raffi memandangnya selama ini, penuh cinta.

Aline ingin segera menyudahi reuni yang tidak diinginkannya tersebut. Membuang bayangan masa lalu membuatnya kembali mengingat tentang tikungan-tikungan yang pernah dilaluinya. “Hai, Mbak. Apa kabar?” sapa Aline.

Senyum di setiap wajah yang memandangnya membuat hatinya resah. Ia tak pernah menghadapi situasi canggung seperti saat ini. Dua orang perempuan yang menggantikan posisinya di hati pria masa lalunya. “Saya pengen bisa ngobrol panjang, tapi sayangnya saat ini sudah ditunggu untuk rapat.” Aline menunjuk meja di mana ia bisa melihat Chita dan juga beberapa orang menunggunya. “Senang ketemu kamu lagi, Ras. Kabari kalau sudah lahiran ya,” katanya ketika sekali lagi ia merasakan pelukan hangat Raras sebelum membalik badan.

“Mbak Aline, tunggu!” langkahnya terhenti ketika mendengar panggilan itu kembali.

“Kenapa, Ras?” tanyanya keheranan melihat ekspresi Raras yang terlihat gugup. “Ada sesuatu yang bisa aku bantu?”

Helaan napas perempuan yang terlihat gelisah membuatnya semakin merasa janggal. “Aku merasa harus minta maaf sama Mbak,” kata Raras membuat matanya membelalak tidal percaya.

Kegelisahan Raras menular padanya, karena mendengar kalimat itu  membuatnya merasa tidak nyaman. Keduanya berdiri di tengah kafe yang mulai ramai dan ia tak tahu untuk apa istri mantan kekasihnya itu meminta maaf. “Minta maaf untuk apa, Ras?” tanyanya dengan kening mengernyit.

“Terlepas dari masalah apapun antara Mbak Aline dan Mas Radit saat itu.” Raras berhenti sesaat melirik suaminya. “Kehadiranku di antara kalian saat itu mem—”

“Enggak ada yang harus dimaafkan, Ras.” Aline menyela dan menghentikan permintaan maaf yang tidak ada manfaat baginya. “Aku dan Radit enggak berjodoh. Kamu hadir ataupun enggak … hasilnya tetap sama, dan aku enggak mau kamu menyimpan perasaan enggak enak seperti itu. okey?” Aline tak sabar ingin segera menutup cerita masa lalunya, meski ia pernah merasa sakit hati melihat kebahagiaan Raras dan Radit. “Sorry, aku benar-benar udah di tunggu ama tim.” Setelah melihat Raras mengangguk dan tersenyum lega ke arahnya, Aline melangkah cepat menuju Chita yang tersenyum geli ke arahnya.

“Jangan tanya!” kata Aline ketika duduk di sebelah Chita yang sayangnya menghadap rombongan keluarga yang di sapanya beberapa saat lalu. Ia mematikan mode emosi di hati dan menampilkan sosok Aline yang ramah menghadapi klien.

Selama hampir satu jam, ia dan Chita berdiskusi untuk proyek mereka selanjutnya tanpa mengalihkan pandangan ke arah keluarga Raras. Hingga tanpa disengaja ia melihat cara Raras mendongak menatap Radit yang menunduk. Sorot mata keduanya membuatnya iri dan seketika bayangannya bersama Raffi mengaburkan semua potret keluarga sempurna di depannya.

Sayang, kangen

Aline mengetikkan pesan pada pria yang akan segera menjadi suaminya dengan senyum terkulum. Melupakan Chita yang sedang tertawa mendengar pengalaman lucu pria dari salah satu bank BUMN di depannya.

My Cuddle Monster

Mas sampai Surabaya baru jam tujuh malam, Sayang. Ketemu besok?

Enggak mau,dong! Semalam apapun, aku tetap nunggu.

Hampir lima hari pria yang tak pernah absen mengirim pesan padanya tersebut ada di pulau Bali untuk pekerjaan, dan selama itu ia harus menahan diri untuk tidak menyusul Raffi untuk meredakan rasa rindu yang mengisi hatinya.

Kangen, pengen peluk kamu

“Halah … bucin! Ditinggal sebentar aja udah enggak kuat,” bisik Chita di depan telinga. Mendorong pelan pundaknya dan menggodanya dengan menaik-turunkan alis.

“Biarin. Kangan sama calon suaminya sendiri, enggak apa-apa. Dari pada kangen suami orang,” kata Aline memandang Seno dan Radit yang terlihat bahagia. Senyum di bibir dua pria yang pernah menjadi bagian dari hidupnya tersebut membuatnya semakin mengerti dengan rasa sakit hati dihatinya. “Aku pernah merasa cemburu dengan dua perempuan itu, Tha,” katanya mengedikkan dagu ke arah Raras dan Lita.

“Sekarang?”

Aline tersenyum lega menghadap sahabatnya, “I’m in love, Chitato,” jawabnya dengan bibir terkembang. “Ada seorang pria baik yang memandangku seperti Radit dan Seno memandang istri mereka. Aku enggak berjodoh dengan mereka, Tha.”

Chita mengalungkan tangan di pundaknya dan memeluknya erat. “Aku bahagia melihatmu, Line. Kamu benar, Mas Raffi pria yang baik.”

Menyudahi rapat tentang event yang akan digelar enam bulan kedepan membuatnya lega dan ingin segera kembali pulang. Ia tak peduli dengan benar atau tidak yang ia lakukan bersama Raffi selama ini. Karena saat ini yang diinginkannya hanya ada di dalam pelukan kekasihnya.

Hingga pukul sepuluh malam, ia tidak mendapat pesan dari pria yang membuatnya bisa melupakan sakit hati ditikung dua kali. Bibirnya cemberut membayangkan harus melewatkan satu jam lagi tanpa pelukan Raffi. “Aku tahu aku egois sama kamu, Mas … tapi aku mau kamu,” katanya ke arah ponsel dalam genggamannya.

Setelah beberapa saat pikirannya melayang ke arah pria yang tidak ia ketahui keberadaannya saat ini, Aline tertidur memeluk bantal. Aroma parfum sang kekasih membuatnya tertidur dengan rasa rindu mencengkeram dadanya. Ia bahkan memilih menggunakan salah satu kaos yang sengaja Raffi tinggal di apartemannya.

Yuhuuuu ... I'm back, for now
😂😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top