Bab 24
Bab 24
Hanya kamu!
Kemeja polosnya tak pernah terlihat bagus dan sexy selama ini, kecuali ketika melekat di tubuh Aline yang sibuk mempersiapkan sarapan kesiangan mereka. Keduanya terbangun dengan tubuh saling memeluk ketika matahari sudah mendekati puncak.
Raffi menyandar di ambang pintu memperhatikan Aline yang bergerak anggun di dapur kecilnya. Seketika bayangan masa depan memenuhi kepalanya, dan ia tak kuasa untuk menahan diri. “Pagi, Sayang,” ucapnya sambil melingkarkan tangan di pinggang ramping kekasihnya.
“Pagi,” jawab Aline. “Duduk situ, Mas!” perintahnya yang masih menunduk memotong sesuatu di atas talenan. “Aku udah siapin kopi untuk teman Mas cerita tentang adikmu semalam.” Raffi tersenyum geli setiap kali kata adik meluncur dari bibir Aline. Ia tak bisa menahan diri, bahagia yang memenuhi hati tercetak jelas di wajahnya saat ini. Kecemburuan Aline membuatnya tak bisa berhenti tersenyum.
“Mas … aku ingin kita mencoba lagi. Aku bisa jadi apapun yang kamu inginkan. Aku tahu kalau kita berdua bisa bahagia. Kamu sayang aku, kan?” Raffi terkejut mendengar suara yang sarat dengan ketakutan keluar dari bibir Vania tak lama setelah ia melihat mobilnya meluncur keluar. Hatinya tertuju pada perempuan yang mengemudikan mobilnya. “Mas … kamu bisa nikah sama aku. Kita sudah kenal sejak dulu, jauh lebih lama ketimbang Aline. Mas … jangan nikah sama dia!”
Ada satu masa dalam hidupnya di mana ia mengira Vania adalah perempuan yang ia cari dalam hidupnya. Perempuan yang ada di dalam hidupnya semenjak ia menetapkan hati dan pikirannya untuk menjadi dosen. Vania pernah menjadi perempuan yang ia inginkan untuk mengisi setiap sisi kehidupannya. Vania juga pernah ada dalam hati dan pikirannya, tapi itu semua sebelum matanya bertemu dengan perempuan berbibir lembut dengan senyum mematikan hatinya.
“Aku tahu kita bisa bahagia, Van. Tapi, masalahnya adalah … aku ingin bahagia bersama Aline.” Ia tahu apa yang keluar dari bibirnya membuat Vania sedih, tapi Raffi tak ingin menjadi pria yang hanya bermulut manis. “Kita pernah mencoba, tapi kamu harus akui … apa yang kita punya enggak cukup untuk membuat kita berdua bahagia.”
“Enggak!” bentak Vania. “Aku tahu kita berdua bisa bahagia, aku butuh kamu sebesar kamu membutuhkanku.”
Raffi menggeleng dengan tegas, “Kamu hanya membutuhkanku di saat tidak ada seseorang yang bisa memenuhinya. Kamu membutuhkanku saat tidak ada kekasih di sampingmu, iya, kan?” katanya tanpa basa basi.
“Apa yang Aline punya dan aku enggak, Mas?”
Ia terdiam memikirkan perempuan yang pasti tidak bisa tidur menunggu kabar darinya saat ini. Ia melirik jam tangan di pergelangan kanannya, hari hampir berganti dan saat ini ia masih berada di apartemen Vania mencoba untuk menjelaskan tentang semua rasa yang ada dihatinya hanya untuk Aline.
“Mas!” bentakan Aline membawanya kembali ke dapur kecil Aline. Kekasihnya berkacak pinggang dan tidak menyadari posisinya saat ini membuatnya semakin bergairah, dan itulah yang ia lakukan saat ini. Melupakan teriakan Aline, bayangan tangis Vania semalam dan sarapan yang siap untuk dinikmati. Raffi mengangkat tubuh ramping sang kekasih dan merebahkannya di atas sofa sebelum ia mencumbu leher jenjang Aline.
“Mas … katanya lapar!” kata Aline dengan suara serak terdengar indah ditelinganya. “Makan dulu.”
“Aku mau makan kamu dulu,” kata Raffi mengindahkan protes Aline yang tertelan dengan suara desahan dan juga pekikan ketika ia menarik kedua paha Aline. “Mas mau sarapan ini dulu.”
Pukul satu siang mereka berdua duduk berhadapan dengan tubuh wangi setelah mandi yang membutuhkan waktu lebih lama dari biasanya. Menikmati sarapan yang tertunda setelah aksinya untuk membungkam Aline dari pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya kembali teringat isakan tangis Vania yang membutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk menenangkannya.
“Apa yang Vania mau, Sayang?” tanya Aline yang menatapnya dengan tajam. "Jangan bilang kalau dia mau kamu!"
"Ya wis aku enggak bilang.” Raffi meneruskan mengunyah makanan tanpa memandang Aline di depannya. Ia berusaha untuk menyembunyikan senyum bahagia melihat kecemburuan kekasihnya saat ini. “Makan dulu!” perintahnya. “Mas cerita nanti.”
Mereka makan dalam diam dengan pandangan saling terikat. “Kamu ngelihat Mas seperti itu terus, kita berdua enggak bakalan jauh dari ranjang selama sisa hari ini, Sayangku.”
Aline melotot mendengarnya, tapi jejak senyum di bibirnya berkata sebaliknya. “Makan … cerita … kita bahas rencana pernikahan. Setelah itu selesai … kalau aku tergoda lagi … baru Mas boleh bawa aku ke ranjang.”
Raffi tak bisa menahan keinginannya untuk menghabiskan waktu bersama Aline. Setelah keduanya selesai makan dan merapikan bekas makan, ia kembali mengangkat tubuh kekasihnya. Kali ini ia membawa serta perempuan yang memukul pundaknya untuk duduk tepat di atas pangkuannya. “Mas ingin bisa melakukan ini setiap kali bibirmu cemberut mendengar nama Vania.” Sedetik kemudian, ia mencium Aline ketika bibir itu cemberut mendengar nama Vania.
“Mas,” protes Aline dengan manja. “Cerita!”
Raffi membelai paha terbuka Aline dan menceritakan semua yang terjadi sejak kekasihnya pergi meninggalkan toko pastry Vania semalam. Setiap kata, air mata dan juga pelukan yang terjadi semalam membuatnya mencium Aline berkali-kali karena bibir kekasihnya tak berhenti cemberut.
“Mas pernah—” Aline tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena saat ini ia menarik lembut kepala kekasihnya dan menciumnya lembut hingga keduanya terenga-engah. “Mas!”
Ia merapikan rambut panjang Aline yang terlihat berantakan karena tangannya, “Ada saatnya di mana Mas merasa dia adalah perempuan yang tepat. Namun, dalam perjalanan waktu, Mas tahu apa yang kami berdua miliki hanyalah perasaan sesaat. Bahkan saat ini Mas bisa bilang saat itu, kami berdua hanya tak ingin sendiri, bukan karena saling mencintai atau membutuhkan.” Ia kembali mencium bibir kekasihnya. “Kamu harus tahu, Mas enggak pernah melakukan apapun bersamanya!”
Raffi menceritakan tentang kebiasaan Vania yang selalu menggunakan dirinya untuk mengenyahkan pria yang mencoba mendekatinya. Atau ketika Vania membutuhkan teman ketika perempuan itu tidak memiliki kekasih.
“Mas … kamu yakin mau nikah sama aku?” nada gugup dan takut yang ia dengar jelas dari bibir Aline membuatnya sedih. Karena perempuan dalam pangkuannya masih merasa tidak layak untuk bahagia.
Raffi menyayangkan sikap tertutup kedua orang tua Aline, ia ingin kekasihnya tahu sebesar apa Tono dan Hani untuknya. “Kamu tahu kalau mereka berdua sayang kamu, kan?”
“Aku tahu mereka sayang, meski enggak sebesar sayang mereka untuk kakak-kakakku—”
“Sayang … mereka sayang kamu!” katanya mencoba meyakinkan kekasihnya. “Aku bisa melihat dari cara mereka menceritakan tentang dirimu.” Gelengan kepala Aline membuatnya mengerti bahwa sudah terlalu lama kekasihnya menyimpan perasaan merasa tersisih itu dihatinya dan seketika wajah kekasihnya terlihat sedih. Hingga belaian, kecupan dan ciuman menghapus mendung di wajah Aline.
Masih bulan syawal kan yaaa.
Selamat hari raya idul fitri ... Mohon maaf lahir batin
🙏🙏🙏🙏
Ya ampun ... Maafkan aku yang menganak tirikan mereka berdua. Karena waktu dibaca-baca lagi, kok enggak puas. Jadinya ragu untuk publish dan akunya kedistract ama cerita lain.
Maafkan akuuuh.
Maaf kalau ceritanya agak gaje, tapi bakalan selesai bulan ini. Insya Allah
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top