Bab 23
Bab 23
Aku mau kamu!
Rasa marah yang sejak mendengar suara Vania mengisi ruang dengarnya beberapa saat lalu semakin memuncak ketika melihat perempuan itu memeluk erat Raffi dengan senyum bahagia. Tidak terlihat takut ataupun sakit seperti yang sempat melintas di bayangannya ketika mendengar suara Vania beberapa saat lalu. Jarak yang sengaja ia bentangkan ketika Raffi melangkah cepat memasuki toko Vania saat ini memberinya keuntungan, karena bisa melihat interaksi keduanya.
Tanpa ia sadari, tangannya mengepal melihat Raffi melingkarkan lengan menerima pelukan hangat Vania. Bahkan saat ini, matanya tak bisa berpaling ketika tangan yang selalu mengusap puncak kepalanya dengan lembut berada di atas kepala vania. Meski ia tak bisa melihat wajah kekasihnya, tapi dari gesture tubuh pria berbadan tinggi besar tersebut, Aline bisa melihat kedekatan mereka berdua.
Aline mengedarkan pandangan ke setiap sudut toko yang terlihat modern, dan instagramable bagi mereka yang rajin untuk mengunggah foto. Keningnya mengerut ketika tidak mendapati sesuatu yang terlihat janggal meski ini pertama kali ia melangkah memasuki tempat usaha Vania. Tidak ada kebakaran, perampokan atau hal buruk lainnya. Bahkan yang ia lihat adalah keramaian pengunjung yang saat ini memandang pada dua orang yang masih berdiri berdekatan meski tangan Raffi tak lagi melingkar di pinggang ramping vania.
“Sudah pelukannya?!” tanyanya tajam ketika ia hanya berjarak satu jengkal dari kekasihnya. “Atau masih mau peluk-peluk perempuan lain?” tanyanya ke arah Raffi yang tak terlihat terkejut. Bahkan Aline melihat senyum di bibir Raffi terlihat bahagia.
“Kamu ke sini sama dia, Mas?!” Vania terlihat kecewa mendapatinya berdiri tak jauh dari pria yang saat ini melingkarkan lengan di pundaknya. “Kamu … kamu harusnya ke sini sendiri, Mas!” kata Vania tajam membuat kernyitan keningnya kembali.
Raffi memandangnya sebelum menjawab pertanyaan ketus Vania. “Kita berdua abis makan malam sama keluarga Aline, Van.” Terang Raffi, meski Aline merasa tidak seharusnya menjelaskan alasan di balik keberadaannya di sini.
“Kamu kenapa? Sakit atau terjadi sesuatu? Ke RS atau gimana?” tanya Raffi beruntun ke arah Vania yang saat ini menyilangkan tangan di depan dada dengan bibir cemberut. “Van, kamu kenapa?” Vania meliriknya beberapa kali. Terlihat tidak nyaman dan ragu untuk mengatakan sesuatu. “Van!” hardik Raffi yang mencengkeram pundak Vania dengan lembut.
“Aku butuh kamu malam ini.” Entah apa yang Vania maksud dengan butuh, tapi saat ini marah yang masih terasa di hatinya kembali membesar. Ia metolot ke arah Raffi yang terlihat bingung. “Mas ….” kata Vania dengan suara manja dan bahkan perempuan itu kembali memeluk pinggang Raffi.
“Mana kunci mobil kamu, Mas!” sela Aline.
“Buat apa?” tanya Raffi memandangnya dengan rasa bersalah dan juga bingung. Pria yang melamarnya minggu lalu tersebut terlihat kaku dengan kedua tangan terangkat. Sesekali ia memandang Vania dan menggeleng ke arahnya yang masih menunggu kunci mobil.
“Mana kunci mobil kamu, Sayang!” pintanya sekali lagi. “Urusin adik kamu itu. Aku tunggu di apartemen, jangan lama-lama,” kata Aline setelah mendapat kunci mobil SUV Raffi.
Ia melangkah dengan kepala tegak, tapi kembali memundurkan lengkah ketika kembali mendengar suara manja Vania. “Sayang, jangan lama-lama. Aku mau kamu,” kata Aline tepat di depan bibir Raffi setelah mencium lembut kekasihnya tanpa mempedulikan pandangan setiap mata yang tertuju padanya. Aline mencium kekasihnya sekali lagi. Memasukkan keycard cadangan yang selalu ada di dalam dompet ke dalam saku kemeja Raffi dan berjalan keluar meninggalkan Vania yang terlihat merah padam setelah aksinya beberapa saat lalu.
***
Aline melempar asal sepatu hak tingginya ketika memasuki apartemen. Aroma parfum Raffi yang masih tertinggal membuatnya semakin meradang mengingat aksi Vania beberapa saat lalu. Ia tak tahu maksud dari sikap vania, tapi ia tidak akan membiarkan perempuan itu atau siapapun menikungnya lagi.
Tekad di dalam hatinya semakin bulat mendapati waktu berjalan lambat ketika ia menanti telepon Raffi. Namun hingga hari waktu menunjukkan anga dua belas, telepon yang ia letakkan di atas meja nakas tak unjung berbunyi. Hingga ia terbangun tepat pukul dua pagi dan mendapati nama Raffi di layar ponselnya.
“Sudah selesai masalah adikmu itu?” tanyanya ketus.
“Masih diizinin pulang ke apartemen kamu atau Mas pulang ke rumah?” suara lembut kekasihnya membuat marah dihatinya semakin mendidih. “Sayang?” tanya Raffi ketika ia terdiam mengatur napas.
“Naik!” kata Aline sebelum memutuskan sambungan dan berlari ke kamar mandi. Dengan cepat ia menggosok gigi, menyisir rambut dan menyemprotkan parfum di beberapa titik sebelum memandang pantulan dirinya. Aline tersenyum puas memandang kamisol dan celana pendek berbahan lembut yang tidak menyembunyikan apapun di tubuhnya. Ia memutar badan dan tersenyum puas sebelum menyambut kekasihnya, dan mendapat Raffi terdiam di ambang pintu dengan mata tertuju padanya. Seketika marah yang dirasakannya menguap ketika mendapati sorot mata merindu di wajah kekasihnya.
Keduanya hanya terdiam dengan mata yang saling memandang. Aline menolak untuk melangkah meski saat ini ia ingin berlari dan memeluk kekasihnya yang kehilangan kata-kata. Hanya pandangan saling mendamba yang mengisi ruang di antara mereka berdua. “Sayang,” kata Raffi pelan ketika pria itu melangkah mendekatinya.
Aline menurunkan tali baju dan membiarkan bahan halus itu meluncur dan menggumpal di sekitar kakinya. Ketika langkah pria itu semakin dekat, ia memundurkan langkah dan menurunkan celana hingga ia berdiri dalam keadaan telanjang.
“Sayang.” hanya itu yang ia dengar ketika Raffi mengangkat tubuhnya dan meletakkan pelan di atas ranjang. “Aku mau kamu,” kata itu teredam ketika ia mencium keras bibir pria di atasnya. Ia mengusap dagu dan merasakan dagu yang terasa kasar di telapak tangannya sebelum turun dan membuka satu persatu kancing kemeja Raffi.
Desahan tak bisa ia tahan ketika ia merasakan jari lihai Raffi membelai paha bagian dalamnya. “Sayang …. Vani—”
“Sstt,” kata Raffi membungkam bibirnya. “Aku mau kamu, hanya kamu. Selamanya.”
Hari minggu dini hari, keduanya menutup diri dari dunia luar. Yang mereka inginkan hanya menghabiskan waktu berdua, jauh dari keluarga, Vania dan juga masalah yang mungkin akan mereka hadapi nantinya. “Kita bisa nikah bulan depan, enggak, Mas?” pintanya di sela-sela hisapan dan gerakan jari Raffi yang membuatnya terengah-engah.
Aline menarik kepala Raffi ketika ia tidak mendengar jawaban dari bibir pria yang sibuk membuatnya mendesah. “Sayang, bisa enggak?” tanyanya tidak sabar.
“Sayang … Mas sibuk ini!” Aline tertawa melihat wajah kesal Raffi.
“Jawab dulu, baru Mas boleh meneruskan pekerjaan!” pintanya sambil menahan kepala kekasihnya. “Jawab!”
Raffi menghembuskan napas, mendekatkan kepala dan menciumnya dengan keras. “Mas sudah mulai urus semuanya, Sayang.”
Maaf, jadwal update kacau balau. Kali ini abis buka puasa aja ya. Agak anu ... Meski enggak terlalu anu😁😁😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top