Bab 21
Bab 21
I love you, Mas
Chita memandangnya dengan mata membulat sempurna, bibir terbuka dan kedua tangan pipi hingga bibirnya maju ke depan seperti ikan. “Chitato!” katanya setelah menarik lepas kepalanya dari cengkraman perempuan yang masih terlihat shock setelah mendengar ceritanya.
“Dia ngajak kamu nikah, Line!” kata Chita. “Nikah … bukan hanya sekedar bobo bareng.”
Aline tidak ingin mengatakan semua cerita tentang Raffi termasuk beberapa jam yang mereka habiskan di atas ranjang tadi pagi. “Tapi aku sama dia baru kenal, Tha. Mungkin enggak sih?”
Chita menarik tangannya dan menggengamnya erat. Aline bisa melihat air mata Chita menggenang dan tak lama kemudian meleleh membasahi pipinya. “Singkatnya waktu perkenalan bukan berarti tidak ada cinta di antara kalian berdua, Line.” Aline menghembuskan napas berat. “Aku rasa ini bukan karena kamu ragu dengan perasaanmu, kan?” tanya Chita.
“I love him, Tha!”
“Kamu ragu karena keluarga. Iya, kan?”Aline mengangguk pelan. “Kamu takut mereka nolak Mas Raffi?” ia kembali mengangguk.
Aline mengingat ketika kedua kakaknya mengenalkan kekasih mereka pada kedua kedua orang tuanya. Wajah kaku sang bapak, dan menghilangnya sikap ramah ibunya membuatnya tak ingin membayangkan jika ia mengenalkan Raffi pada mereka berdua. “Gimana kalau Mas Raffi tersinggung, Tha? Gimana kalau terus dia memutuskan aku enggak cukup berharga untuk diperjuangkan. Gimana kalau—”
“Kamu lupa kalau Ibunya Mas Raffi temen Ibu bapak kamu?!” tanya Chita mencoba meyakinkannya sekali lagi. “Gimana mereka mau nolak Mas Raffi kalau mereka sudah kenal orang tuanya.”
Aline menyadari itu, tapi rasa takut yang menggelayut di hatinya tak bisa membuatnya bernapas lega. Pria yang membuatnya terpana sejak pertemuan pertama mereka, menyelipkan harapan di hatinya. “Aku enggak bisa ngilangin rasa takut itu begitu saja, kan, Tha!”
***
Aline mengingat kejadian minggu lalu ketika ia menceritakan tentang lamaran dadakan Raffi. Ia tidak meragukan lamaran yang pria itu ajukan padanya. Bahkan saat ini ia yakin tidak ada satu orang pria pun yang pernah mencintainya sebesar Raffi. Keyakinan yang muncul di hati sejak pertama kali merasakan efek dari sorot mata lembut pria itu membuatnya mampu bisa menghadapi apa-apa. Kecuali kedua orang tuanya.
“Aku takut Mas nyerah dan tersinggung saat ketemu kedua orang tuaku. Aku takut Mas merasa aku enggak cukup berharga untuk diperjuangkan. Aku takut Mas merasa latar belakang keluargaku terlalu berat untuk di hadapi. Aku takut semua enggak berjalan seperti yang aku inginkan. Aku takut kehilangan kamu, Mas!” Raffi terbelalak memandangnya memuntahkan semua uneg-uneg di kkepal sesaat setelah pria itu menutup pintu mobil.
“Sayang,” kata pria yang terlihat bingung mendngarnya.
"Aku takut, Mas ….”
“Hei … apapun yang terjadi, kita hadapi berdua. Kita enggak akan pernah tahu apa yang terjadi lima menit ke depan, Sayang.” Raffi meyakinkannya. “Mas enggak bisa bilang kalau semua akan berjalan mulus seperti yang kita inginkan, tapi aku bisa bilang kalau kita berdua akan berusaha yang terbaik untuk kebahagiaan kita berdua. Gimana?”
Aline menggenggam erat tangan Raffi yang ada di atas pangkuannya. Rasa cinta dan takut menyerbu hatinya dalam waktu yang bersamaan. Membuatnya menangis meski saat ini ia tak tahu tangis bahagia atau air mata sedih yang mendominasi hatinya.
“Semua ini terasa aneh tapi juga pas, ngerti maksudku, kan, Mas?” Raffi mengangguk. “Kita ketemu dan enggak pernah ada rencana dalam hidupku untuk sampai di sini. Berdua dengan seorang pria yang melamarku dalam perjalanan turun di dalam lift.” Raffi tersenyum menanggapinya.
“Sayang … kita enggak pernah tahu kapan rasa itu datang, kan?”
Aline mengangguk, berdoa dan meminta Raffi untuk berangkat sebelum ia kehilangan keberanian untuk melakukannya. “Semakin cepat semakin baik. Setidaknya aku akan tahu separah apa hasil pertemuan kita malam ini,” gumamnya sambil menatap jendela mengindahkan pria yang mengernyitkan kening karena mendengarnya. “Aku sayang Mas Raffi, dan aku sudah menerima lamaranmu Mas. Eh, sudah, kan, ya?” Aline menoleh dengan cepat ke arah Raffi yang terbahak-bahak mendengar pertanyaannya. “Mas, jangan ketawa! Aku udah jawab belum?!”
“Sayang, kam—”
“Aku belum jawab, iya, kan?” Aline menyadari kebodohannya minggu lalu, karena setelah bertemu Chita ia tak bisa kembali ke RS dan bertemu dengan Raffi hingga beberapa hari lalu karena kesibukan mereka berdua. “Ya ampun … beneran aku belum bilang iya.” Aline menutup wajah dengan kedua tangannya. “Aku jawab sekarang, enggak telat, kan?”
Raffi menggenggam erat tangannya. “Sayang … meski jawaban itu datang tahun depan, enggak masalah.” Bibirnya cemberut mendengar sindiran itu. Terlebih lagi ketika mendengar semua cerita lucu tentang keluarganya. Kelakuan keponakan dan juga kakak dan adiknya.
“Hah! Ibu bilang apa? Aku kan belum kenal sama semua keluargamu, Mas,” katanya. “Gimana kalau ternyata mereka enggak suka sama aku?”
“Kamu udah kenal Mas Satya, kan. Kalau Ipah—namanya Arifah—tapi aku memanggilnya Ipah, dia akan suka kamu. Karena siapapun perempuan selain Vania pasti akan dia setujui.”
Mendengar nama Vania membuat suasana hatinya menjadi lebih kacau, “Mas!” hardiknya.
“Ya ampun … Mas bilang kalau Ipah suka sama semua perempuan yang dekat sama aku kecuali Vania. Jadi kamu enggak perlu kuatir.” Aline masih cemberut mengingat malam ini Raffi menyebut nama Vania di depannya.
“Aku masih enggak suka perempuan itu,” katanya dengan tegas. “Ada sesuatu di teman kamu itu yang buat aku enggak bisa santai. Rasanya harus siap-siap menghadapi semua, seperti tentara siap untuk perang gitu, lho!”
“Cemburu?” nada geli yang terdengar jelas di telinganya saat ini membuatnya melotot. “Biasa aja ngelihatnya, dan kamu enggak perlu cemburu!”
Cemburu. Rasa yang selama ini selalu ada di hatinya, dan ia menyadari itu. Untuk pertama kalinya, ia merasakan apa yang ada di hatinya untuk seorang pria. Raffi bukan Radit ataupun seno yang meninggalkannya untuk orang lain. Raffi tidak seperti bapaknya yang menuntutnya untuk menjadi yang terbaik.
Aline mencintai Raffi karena bersamanya, ia tidak merasa tuntutan untuk menjadi nomer satu. Bahkan ia tak merasa mendapat tuntutan kecuali menjadi seperti dirinya. Ia selalu merasa berharga, dicintai dan tidak ada satu orang pun yang pernah memperlakukannya sebaik Raffi.
“I love you, Mas,” katanya lirih dengan senyum di bibir.
“I love you, Yang. Siap?” tanya Raffi sebelum mengarahkan mobil menuju rumah orang tuanya.
Ayafluuuuu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top