Bab 20

Bab 20
Nikah, yuk!

Raffi terpaksa mengikuti langkah Vania keluar dari ruang inap ibunya karena tak ingin terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan antara Vania dan kekasihnya. Ia ingin segera mendengarkan apapun yang hendak sahabatnya sampaikan dan kembali pada perempuan yang tak pernah berhenti membuatnya tersenyum.

Mengingat Aline, ia tak bisa menahan senyum di bibirnya. Hingga suara Vania membuatnya terkejut. “Kamu tidur sama perempuan itu, Mas?!” hardik Vania ketika mereka berdua jauh dari kamar ruang inap ibunya. “Bisa-bisanya kamu tidur sama perempuan itu, Mas!”

“Vania!” bentak Raffi.

“Kamu berubah!” kata Vania pelan. “Kamu bukan lagi Mas Raffi yang selalu ada untukku. Kamu berubah sejak kenalan sama perempuan itu. Kamu enggak punya waktu untukku lagi, selalu sibuk dan ngehindar. ”

Raffi tersenyum lembut melihat kelakuan perempuan yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri meski terkadang sikapnya membuatnya kesal. “Van, Mas selalu punya waktu untukmu, meski enggak setiap saat. Kamu tahu, kan … kamu sama Ipah akan tetap jadi adik Mas.”

“Kita kenapa, sih, Mas?! Dulu selalu punya waktu untukku, tapi sekarang kamu bahkan enggak jawab teleponku.” Raffi mengingat panggilan yang ia abaikan ketika ia sibuk mencumbu Aline beberapa saat lalu. Ia bahkan tak bisa menghapus senyum di bibirnya ketika mengingat hal itu.

Raffi masih bisa mencium harum aroma tubuh Aline meski saat ini kekasihnya berada jauh darinya. Ia masih bisa merasakan hangatnya pelukan perempuan yang membuatnya terpana sejak pertemuan pertama mereka.

“Mas!” bentakan Vania membuyarkan lamunannya. “Kamu—”

“Van, Mas harus balik ke kamar Ibu. Kamu mau ngomong apa, sih?” tanya Raffi mulai tidak sabar melihat sikap Vania. Ketika tak ada satu kata pun terlontar dari bibir Vania, ia bersiap melangkah ketika mendapati Aline mendekatinya.

“Sayang, mau ke mana?” tanya Raffi keheranan. Terlebih lagi ketika mendapati senyum Aline tertuju pada vania. “Sayang?” tanyanya lagi.

“Ada Chita di bawah, Mas,” jawab Aline. “Aku boleh pergi bentar, dia bilang ada klien yang dadakan biki janji. Harusnya kita meeting besok. Enggak apa-apa, kan?” Suara lembut dan manja Aline membuatnya harus menahan senyum. Lilitan tangan di lengannya membuatnya semakin tak bisa mengalihkan pandangan dari perempuan yang membuatnya mabuk kepayang.

“Mas jemput pulangnya atau—” kalimatnya terhenti ketika Aline menciumnya lembut di depan umum.

“Aku balik sini lagi ntar, enggak apa-apa, kan?” tanya Aline tepat di depan bibirnya.

Raffi mengangguk dan mencium lembut kening Aline dan berbisik, “Hati-hati. Mas bisa ketagihan bibir kamu kalau  begini.” Ia mencium kekasihnya sekali lagi sebelum sepenuhnya melepas Aline pergi. Tanpa mempedulikan Vania yang membelalakkan mata tidak percaya.

“Line, tunggu!” teriaknya. “Mas antar ke bawah,” kata Raffi setelah meminta Vania untuk menunggunya.

“Maaf … aku kelewatan ya? Enggak seharusnya cium Mas di depan Vania gitu.” Wajah cantik yang tak terlihat menyesal itu membuatnya ingin menarik perempuan itu dalam pelukannya. Menciumnya hingga mereka berdua kehabisan napas. Mendekapnya sepanjang malam hingga matahari menjelang.

“Nikah, yuk!” ajak Raffi tanpa ragu ke arah Aline yang membelalakkan mata, terlihat tidak percaya. “Mas ingin memelukmu setiap malam hingga pagi menjelang. Mas ingin mencium, memeluk dan melakukan banyak hal bersamamu. Mas tahu kita belum terlalu lama saling mengenal, tapi, Line … apa yang ada di sini,” kata Raffi menyentuh dada kirinya. “Enggak pernah ada sebelum aku melihat senyummu malam itu.”

“Mas … kamu … gimana bisa?” tanya Aline terbata-bata. “Kamu belum kenal aku ataupun keluargaku. Lagian ini di dalam lift, Mas!” protes Aline yang terlihat menggemaskan saat ini.

“Kita lakukan sambil jalan. Mas kenalan dengan keluargamu setelah Ibu boleh pulang dari RS. Nikah denganku, Line.” Denting halus lift yang membawa mereka hingga ke lobby membuat keduanya terkejut. Ia kembali menggenggam tangan Aline hingga keduanya melangkah menuju pintu keluar. “Kita bicara lagi setelah pertemuan kamu kelar.” Aline mengangguk tanpa kata.

“Kamu tahu kalau Mas sayang kamu, kan?” Aline kembali mengangguk. “Kamu percaya Mas akan berusaha untuk menjaga, menghormati, melindungi kamu, kan?” aline masih terlihat tidak percaya tapi kepalanya mengangguk menjawab pertanyaannya.

“Kita bicara lagi nanti, itu mobil Chita,” kata Raffi ketika melihat sosok sahabat Aline di balik kemudi mobil city car yang melaju pelan menuju mereka berdua. “Love you, Sayang,” kata Raffi setelah menarik Aline dalam pelukannya.

“Love you, Mas,” bisik Aline teredam dadanya.

Hingga mobil itu keluar dari area parkir, Raffi masih berdiri di depan lobby RS dengan jantung berdetak kencang menyadari lamaran tanpa persiapan yang beberapa saat lalu keluar dari bibirnya. Ia tidak menyesali keputusannya, bahkan saat ini Raffi bersyukur sudah mengatakan yang selama beberapa hari ada di dalam hatinya.

Mencintai Aline terasa normal baginya, meski mereka belum terlalu lama saling mengenal. Mencintai Aline terasa pas, karena ia merasa perempuan yang selalu tampil menarik tersebut membuatnya merasa utuh. Raffi mengusap kasar wajahnya dan senyum konyol di bibir tak bisa ia tahan. Mana ada orang lamaran dadakan di dalam lift, Fi! Pikirnya dalam hati ketika kakinya melangkah memasuki kotak besi yang membawanya menuju ruang inap sang ibu.

Ia melangkah pelan, bukan karena tak ingin menemui sesorang yang ada di dalam kamar sang ibu. Namun, ia ingin menikmati adrenalin yang masih mengalir di dalam tubuhnya. Aline bagai candu baginya, ia tak bisa menghilangkan perempuan itu dari hati dan pikirannya. Raffi bahkan masih bisa merasakan bibir manis yang menawan hatinya.

“Ibu setuju kalau Mas Raffi sama Aline itu?” pertanyaan yang ia dengar ketika membuka pintu ruang inap ibunya. Langkahnya terhenti menyadari suara Vania terdengar marah. “Vani tahu Aline itu anak teman Ibu … tapi mereka berdua belum terlalu kenal, kan? Gimana kalau ternyata perempuan itu cuma manfaatin Mas Raffi.”

“Seperti kamu memanfaatkan aku selama ini!” kata Raffi yang tak tahan mendengar Vania mengatahan hal seburuk itu tentang Aline. “Ayolah, Van.” Ia terdiam dan memandang Vania yang terlihat terkejut. “Aku tahu selama ini kamu hanya manfaatin aku ketika harus nemein kamu ke berbagai acara. Dan aku enggak keberatan, karena kamu seperti Ipah. Sudah kuanggap adik sendiri.”

Sang ibu terlihat tak terganggu dengan semua yang terjadi di depannya saat ini, perempuan yang tak terlihat sakit itu bahkan tersenyum lembut ke arah Raffi ketika  melangkah dan menunduk memandang Vania. “Aku sayang kamu, Van. Seperti sayangku pada Ipah, tapi aku mohon, jangan mengatakan sesuatu tentang Aline yang kamu enggak tahu kebenarannya.”

“Vania enggak usah kuatir, Marsha sudah cukup tua untuk menjaga dirinya sendiri. Terlepas dari Ibu kenal orang tua Aline ataupun enggak, kalau dia enggak baik untuk Marsha, Ibu percaya Tuhan akan memisahkan keduanya.”

Raffi mengenggam tangan Vani sejenak sebelum melepaskannya, ia memandang perempuan yang selalu menghubunginya setiap saat memerlukan sesuatu. “Hubunganku dan Aline, itu urusanku. Entah dia akan membuatku sedih atau menangis karena bahagia, itu resiko yang akan aku tanggung. Karena aku mencintai dia, Van. Hanya dia.”

“Mas … kamu ….” Vania terlihat terkejut mendengar pengakuannya, meski bagi Raffi itu sesuatu yang wajar. Karena ia bisa merasakan, siapapun akan bisa melihat rasa cinta yang terpancar darinya untuk Aline. Perempuan yang selalu ada dalam hati dan pikirannya.


Yuhuuuu ... Aku benar-benar kelupaan lagi mau update Mas Raffi. Maaf yaaa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top