Bab 2
Bab 2
Ditikung, lagi
Aline bersyukur malam ini ia menggunakan rok selutut warna biru navy dan kemeja putih membuat penampilannya semi resmi dan masih terlihat seksi setelah ia kembali membuka dua kancing teratas untuk menyempurnakan penampilan. Ia menyapu ulang bedak dan lipstik yang pudar karena makan malam dan siap bertemu dengan Chita yang berkali-kali menghubungi dan menanyakan keberadaannya.
“Malam Ibu Chitato rasa sapi panggang,” sapa Aline setiap kali ingin membuat temannya itu jengkel. Terbukti dari wajah cemberut perempuan dengan terusan berwarna hitam dengan belahan di atas lutut di depannya saat ini.
“Asem! Ayo beredar dulu, abis itu aku kenalin sama ownernya.” Aline mengikuti langkah Chita menuju bagian dalam restoran yang terlihat ramai. Ia mengenal beberapa orang di sana, melempar senyum dan kembali melangkah hingga Aline melihat sepasang mata yang hingga saat ini menghantui malamnya.
Aline masih bisa mengingat sorot mata tajam berselimut kabut saat kepala berambut ikal tersebut berada di antara kedua pahanya. Bahkan saat ini masih bisa mengingat sekeras apa ia memanggil namanya malam itu. “Mas Seno,” bisik Aline pada Chita yang menarik lengannya saat kaki Aline tak mampu untuk melangkah lagi. “Tunggu, aku mau sapa Mas Seno, Chi.”
Tanpa menunggu jawaban Chita, ia berjalan cepat lalu melingkarkan tangan di lengan Seno. “Mas Seno apa kabar? Kok enggak pernah telepon?” tanya Aline dengan senyum terkembang dan jelas-jelas mengundang pria yang membuatnya bisa melupakan Radit. Namun, wajah pias Seno bukan yang ia harapkan saat ini, terlebih lagi saat jawaban gugup keluar dari bibir pria yang berusaha melepas lilitan tangannya.
“Permisi, Mbak. Itu tangannya bisa dilepas, enggak!” Aline menoleh dengan cepat ke arah perempuan yang terlihat ingin menggorok lehernya. Mata tajam perempuan itu tertuju padanya dan tangan yang melingkar di lengan Seno. “Kalau enggak bisa dilepas, saya yang lepas tangan Mbak. Mau?”
Aline memandang Seno dan perempuan cantik yang terlihat marah di depannya secara bergantian. “Dia siapa kamu, Mas?!” tanyanya tajam. Saat ini ia bisa mendengar degup jantungnya melihat wajah gugup Mas Seno dan murka yang tercetak jelas pada perempuan di depannya. Seno melepas tangan dan menjauh darinya sebelum mendekati perempuan tersebut. “Sayang, masih inget Aline, kan?” kata Seno pada peremuan itu sebelum menatapnya tajam. “Aline, ini istri saya.”
“Hah, istri?! Ini istri kamu?!” tanya Aline dengan mata membeliak tak percaya dengan apa yang beberapa saat lalu di dengarnya. Beberapa bulan lalu, pria yang selalu terlihat menawan ini menolak untuk menerima tawarannya dengan alasan tidak sedang ingin berhubungan dengan siapapun, apalagi menikah. Namun, sekarang Seno mengenalkan perempuan—yang tidak terlihat asing baginya—sebagai istri.
Ia masih tak bisa berkata apa-apa, bibirnya sulit untuk berkata apa-apa. “Maaf, ya. Mbak Aline ini siapanya suami saya?” tiba-tiba Aline teringat dengan perempuan di depannya saat ini. Ia pernah bertemu dengan perempuan yang menyapa Seno dengan panggilan sayang di kafe beberapa bulan lalu. Ia juga masih bisa mengingat jawaban yang Seno katakan bahwa perempuan itu sekretaris kakaknya.
Aline masih belum pulih dari kejutan malam itu ketika Seno berlalu bersama sang istri dan meninggalkannya berdua bersama pria yang juga terlihat kaget. “Kamu pacar Seno, suami Lita itu?” tanya pria tersebut. Aline hanya menggeleng lemas tanpa memutus padangan dari sepasang manusia yang semakin jauh melangkah meninggalkannya. Selama beberapa saat ia mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi sebelum memutar tubuh untuk kembali meneruskan rencana malam ini. Menghadiri pembukaan dan mengajukan kerjasama dengan pemiliknya resto yang terlihat ramai malam ini.
“Katanya ketemu Seno?” tanya Chita saat langkahnya berhenti tepat di depan sahabatnya yang selalu terlihat mempesona. “Mana orangnya?”
“Udah pergi, sama istrinya!” jawaban ketus Aline membuat Chita terkejut, karena langkah kakinya berhenti dan membuatnya hampir jatuh karena tarikan lengannya. “Chitato!” hardiknya. “Kamu kenapa, sih?!” tanya Aline melotot ke arah Chita yang memandangnya dengan tatapan tajam.
“Kamu yang kenapa? Tadi kelihatan cerah lihat Seno, sekarang bilang sudah pergi sama istrinya. Kamu pacaran sama suami orang, Line?”
“Enak aja! Pertama aku enggak bakalan pacaran, flirting, make out atau having sex sama pasangan orang lain!” Meski ia pernah tidur sama Seno saat masih berstatus pacar Radit, tapi Aline tak ingin Chita mengetahui itu. Bahkan selama ini, yang Chita ketahui adalah, Radit hanya sebatas teman bukan pacar.
“Kedua, malam itu saat aku tidur sama Seno, dia bukan suami orang! Ini jadi ketemu ownernya, enggak?!” tanya Aline dengan wajah marah pada Chita yang memutar mata menjawab pertanyaannya.
Tanpa berkata apa-apa, Chita berjalan menembus kerumunan dan berakhir di depan dua orang pria dengan penampilan tanpa cela. Salah satunya ada teman Seno, Aline mengenalinya setelah beberapa kali melihat pria itu bersama pria yang beberapa saat lalu meninggalkannya setelah menjatuhkan bom tentang pernikahannya.
“Malam Mas, kenalkan ini partener kerja saya, Aline,” kata Chita ke arah dua orang yang terlihat senang melihat kedatangan mereka berdua. Aline mengulurkan tangan ke arah pria tinggi berkuit gelap bernama Satya lalu Ganin yang terlihat mengenalinya.
“Aline, Mas,” katanya. “Selamat ya, pembukaannya sukses banget ini.” Senyum professional terukir jelas di bibirnya, ia menolak untuk membiarkan suasana hati yang buruk mempengaruhi acara malam ini. Karena urusan pribadi tidak boleh merusak pekerjaa yang susah payah dirintisnya bersama Chita. Aline akan memikirkan urusan hati nanti saat ia berada di dalam apartemen yang gelap dan sepi, tapi tidak sekarang, karena pembicaraan tentang bisnis harus menjadi nomor satu saat ini.
“Kamu teman Seno, kan?” tanya Ganin ketika Satya dan Chita berlalu menuju meja yang penuh dengan hidangan untuk merasakan menu andalan mereka. Mendengar pertanyaan yang ditujukan padanya, Aline membatalkan langkah dan memandang pria berkaca mata dengan jas berwarna biru navy dengan kemeja sewarna.
Aline menaik turunkan pandangan seakan menilai pria di depannya tanpa peduli bahwa sikapnya saat ini tidaklah sopan. Ganteng, senyum menawan, bibir menggoda untuk di cium tapi ia tidak akan mencoba untuk menggodanya. Karena ada sesuatu di diri Ganin yang membuatnya merasa tidak nyaman. “Sebatas kenal saja. Aku enggak tahu kalau Mas Seno sudah menikah,” katanya dengan nada santai tak ingin terdengar seperti perempuan yang cemburu.
“Barusan, pengantin baru mereka,” jawab Ganin memandangnya dengan senyum terkulum. “Kamu kenal Raras, kan?” Aline menahan diri untuk tidak berteriak, Tentu saja aku mengenal Raras, tapi karena tidak ingin menimbulkan keributan, ia hanya mengangguk dan tersenyum datar menjawab pertanyaan Ganin.
“Istri Seno itu tantenya Raras.” Matanya membeliak tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Dunia sempit sekali ya, Seno enggak jadi sama keponakannya malah dapat tantenya. Tapi Lita baik untuk Seno, dia bisa membuat sahabatku menginginkan sesuatu lebih dari sekerang bobo semalam.” Aline tidak bisa berkata apa-apa kecuali tersenyum menanggapinya, ia tahu apa yang sedang Ganin lakukan padanya. “Namanya juga jodoh, kita enggak bakalan tahu dari mana dan kapan dia datang, iya, kan, Aline?”
Ia mengangguk sebelum menyesap air putih di tangan dan merasakan tenggorokannya tersiksa. Karena keputusan berhenti minum minuman beralkohol, ia harus bertahan dengan air putih karena lambungnya menolak air soda. “Aku kesana dulu, Mas. Salam untuk Mas Seno, dan tolong sampaikan padanya, aku berdoa yang terbaik untuknya. Sekali lagi selamat.”
Meski satu-satunya yang diinginkannya adalah bergelung di balik selimut tebal, Aline tetap berdiri tegak dengan dagu terangkat tinggi menuju Chita yang terlihat menikmati waktu bersama Satya. Namun, ia membatalkan niatnya dan memutuskan untuk berkeliling rumah tinggal yang diubah menjadi restoran fine dining tersebut.
Setiap sudut terlihat indah dengan ornamen Jawa, Eropa dan perpaduan cina. Sebagian sudut di dominasi warna merah, warna keberuntungan menurut kebudayaan cina. Sedangkan sudut lain, lebih banyak warna coklat layaknya warna batik. Setiap ruangan memiliki desain interior yang berbeda, membuat siapapun tidak akan memiliki pengalaman yang sama setiap kali mereka datang berkunjung. Aline mengakui kejelian siapapun yang mendesain bagian dalam restoran ini. Karena membuat pengunjung memiliki pengalaman berbeda saat menikmati hidangan yang mereka tawarkan. Berbagai rencana seketika memenuhi kepalanya. Ia dan Chita bisa menggelar banyak acara private di sini, dengan suasana intim yang mereka tawarkan menjadikan restoran ini pilihan terbaik.
Terlalu larut dengan kekaguman mengamati sekeliling, Aline tidak memperhatikan langkah sehingga perbedaan ketinggian lantai membuat kakinya goyah. “Hati-hati!” kata seseorang yang menahan lengan Aline hingga terhindar dari insiden jatuh dan menjadi pusat perhatian semua orang.
“Makasih … maaf,” kata Aline setelah bisa napasnya kembali normal. “Aku harus memperhatikan jalan bukan hanya interior restoran,” katanya seraya melihat penyelamatnya. “Terima kasih, Mas.”
“Sama-sama,” jawab pria yang bertubuh tinggi besar dengan senyum dan sorot mata lembut terpusat hanya padanya. “Marsha Raffi Zulkarnain,” kata pria itu sambil mengulurkan tangan padanya.
Ada sesuatu pada sorot mata pria itu yang membuatnya tak bisa berkutik, “Aline Adhiyansah. Senang berkenalan Mas Raffi.”
Setiap berkenalan dengan orang baru, ia selalu berusaha menebak pekerjaan dari outfit yang dipakai orang tersebut. Namun, yang tak bisa ia tebak adalah kepribadian orang tersebut meski Aline selalu mencoba menebak dari cara orang tersebut menjabat tanganku. Kata orang, saat berjabat tangan sambil melihat lawan bicara, itu menunjukkan orang tersebut berjiwa hangat dan dapat di percaya.
Itulah yang dirasakannya ketika menerima jabat tangan pria berbadan cenderung gemuk di depannya. Ada perasaan nyaman yang membuat Aline merasa bisa mempercayainya meski ia baru berkenalan dengannya malam ini.
Yuhuuu .... Tumben-tumbenan kan aku nongol siang-siang. Seperti yang aku janjikan, TT enggak bakalan update setiap hari, tapi aku usahakan tetap update kecuali memasuki bulan January.
Karena ...
Nyali Terakhir akan mulai tepat di tanggal 1, di waktu seperti biasanya. Pagi-pagi waktu Surabaya
😂😂😂
Anyway ... Bagian Aline ketemu Te Lita di atas adalah bagian paling aku suka. Selamat membaca teman-teman semua.
Love, ya!
😘😘😘
Shofie
Kali aka ada yang belum ikutan PO
😘😘😘
Untuk Ebook Raras atau Te Lita, bisa search nama Shofie Hapsari InsyaAllah lebih mudah dapatnya. Yang pengen buku cetak bisa wa ke 0821.3928.7354
Makasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top