Bab 19
Bab 19
Cerita Aline
“Ya ampun … kok jadi ngerepotin gini,” kata Padmi menyambutnya ketika melangkah memasuki ruang inap di salah satu rumah sakit swasta di tengah kota beberapa saat lalu. “Marsha pasti yang maksa, nih.” Wanita yang tersenyum lebar menariknya masuk dalam pelukan hangat yang membuatnya merasa diterima.
“Enggak, Tante. Aline yang mau ke sini, kok,” jawabnya ketika duduk di kursi tak jauh dari ranjang Padmi. Ia menggenggam tangan keriput ibu Raffi dan tersenyum lembut. “Semalam kita ketemu masih ketawa-ketawa, ya, tante—”
“Ibu … jangan panggil Tante, Sayang,” pinta Padmi menepuk pelan punggung tangannya. “Semalam Ibu kaget banget lho ternyata kamu anak Hani dan Tono. Ibu tahunya anak perempuannya hanya dua, enggak tahunya ….”
Aline menangkap sekejap ekspresi prihatin yang tak bisa ia lewatkan begitu saja, dan tanpa disadari kepalan di pangkuannya pun mengerat. Hingga usapan lembut di pundak mengalihkan pikirannya. Senyum Raffi segera menghapus kegelapan yang sempat hinggap di kepalanya. “Aline anak terakhir, Bu. Dan kebetulan yang paling beda sendiri profesinya,” ceritanya setelah membalas senyum pria yang memberi kekuatan hanya dengan berada di sampingnya
“Ibu dari tadi sendiri? Mas Satya mana?” Aline bernapas lega ketika mendengar pertanyaan Raffi
Padmi menepuk tangannya pelan, “Di antara ketiga anak, Marsha yang paling kuatir kalau Ibu sakit gini.” Aline melirik pria yang berdiri di sampingnya, hatinya menghangat mendapati senyum Raffi untuknya. “Tadi Vani ke sini.”
Mendengar nama yang masih membuatnya meradang membuat pundaknya menegang. Bahkan usahan lembut Raffi tak membuatnya menjadi lebih santai. Aline bisa merasakan lirikan yang ditujukan padanya saat ini, tapi yang ia lakukan hanya tersenyum kikuk pada Padmi.
“Kalian berdua—”
“Udah … Ibu istirahat dulu, Marsha ngobrol di depan sama Aline.” Sebelum perempuan yang tersenyum lembut itu menjawab, Aline merasakan genggaman tangan Raffi.
Ruang inap yang terdiri dari kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi dan juga pantry terasa lapang dan sepi setelah tak terdengar suara televisi yang ada di depan ranjang Padmi. Aline melangkah menuju jendela memandang tepat ke arah kampus yang menjadi titik awal dari semua masalahnya. Aline menghembuskan napas berat ketika merasakan kehadiran Raffi tepat di belakangnya.
“Boleh tanya sesuatu, enggak?” Aline mengedikkan pundak. Meski ragu, ia mengangguk sebelum menyandarkan tubuh sepenuhnya ketika merasakan tubuh Raffi tak berjarak dengannya.
“Mas mau tanya apa?” tanyanya. Meski ia bisa menduga apa yang akan pria itu tanyakan.
“Masih ingat enggak waktu Mas sebutin nama kampus tempat ngajar pertama kali kita kenalan?” Aline mengangguk melihat arah yang Raffi tunjuk. “Kenapa waktu itu mukanya asem banget?”
Aline membalik badan dan menatap sang kekasih dengan bibir cemberut. “Kita ini ….” Ia ragu untuk meneruskan kalimatnya, karena tak ingin terdengar seperti anak remaja manja yang membutuhkan status.
“Kita adalah dua orang dewasa yang mencoba untuk lebih mengenal, dan kamu mencoba untuk mengalihkan pembicaraan!” kata tegas Raffi membuatnya semakin cemberut menyadari taktiknya tidak berhasil.
Ia menegakkan punggung, menatap tajam pria yang saat ini mengarahkan pandangan tepat di kedua bola matanya. “Jadi … kampus itu adalah pengalaman pertamaku ditikung.”
“Hah?!” tanya Raffi menariknya hingga keduanya duduk berhadapan dengan tangan saling menggenggam. “Maksudnya?”
“Aku punya sahabat waktu SMA, dan kami berdua sama-sama ingin masuk ke kedokteram tapi gagal waktu ikut tes. Setelah itu kami sepakat untuk tidak mencoba jalur mandiri karena kita semua tahu semahal apa sekolah kedokteran itu.” Aline terdiam mengingat kekecewaannya. “Tapi ternyata dia memilih untuk mengikuti jalur mandiri. Konyol memang, tapi buatku itu rasanya seperti ditikung.”
Ia terpekik ketika tangan besar Raffi menangkup pipi dan menariknya hingga kepalanya berhadapan dengan pria yang menciumnya lembut. “Tuhan tidak mengizinkanmu menjadi dokter karena itu bukan jalan terbaik untukmu—”
“Aku tahu, Mas!” sela Aline dengan suara serak. “Tapi karena aku gagal masuk kedokteranlah yang membuat semua orang memandangku rendah.”
“Tunggu!” kata Raffi tanpa melepas tangkupan tangannya. “Enggak ada yang memandangmu rendah, Sayang.”
Aline mengedikkan pundak. Dalam sekejap, ia kembali merasakan semua perasaan tersisih, menjadi orang luar dan tak diinginkan setiap kali mengingat tentang keluarganya. “Sayang ….”
“Aku bisa merasakan lirikan dan cemoohan mereka semua, Mas,” kata Aline dengan kepala tertunduk. “Sejak aku gagal masuk kedokteran.” Ia terdiam sesaat. “Aku tahu mereka berdua sayang. Aku juga tahu kalau mereka berdua berharap banget aku mengikuti jejak langkah mereka.” Usapan lembut membuatnya mengalihkan pandangan ke arah Pria yang menatapnya dengan lembut.
“Yang membuatku semakin sedih adalah sorot mata kecewa yang mereka tujukan padaku ketika aku enggak lolos masuk kedokteran.” Aline kembali menghela napas berat. “Selama ini, aku berusaha untuk menjadi yang terbaik. Masuk SMA aku menghabiskan waktu untuk belajar, tapi ternyata—”
“Tuhan punya ketentuan yang berbeda. Dan apapun rencana kita, hanya ketenduan Dia yang akan berlaku,” kata Raffi lembut tanpa melepas padangannya darinya.
Dari jarak sedekat itu, Aline bisa menghirup aroma tubuh Raffi. Ia menutup mata dan menarik napas sedalam yang ia bisa, seakan menyimpannya dalam kotak kenangan berharganya. “Setelah gagal masuk kedokteran, aku menyelesaikan kuliah dan bekerja hingga saat ini. Pekerjaanku enggak sehebat mereka semua, tapi aku menikmati setiap detiknya. Aku hanya ingin melihat mereka bangga melihat keberhasilanku.”
Aline tidak pernah mengatakan pada siapapun tentang keinginannya tersebut. Bahkan yang Chita ketahui selama ini hanya tentang kekecewaan keluarganya tentang kegagalannya memenuhi impian kedua orang tuanya. “Cengeng banget, ya,” katanya mengelap lelehan air mata di pipinya. “Seperti anak manja yang menginginkan sesuatu.”
“Sayang … aku enggak akan bilang ngerti apa yang kamu rasakan. Tapi aku bisa bilang kalau mereka bangga dengan semua pencapaianmu selama ini meski tak pernah terucap di bibir.”
Aline menggeleng tak mempercayai satu katapun yang keluar dari bibir Raffi. “Mas, aku sayang kamu … tapi kamu enggak kenal mereka semua.” Ia berdiri meninggalkan Raffi menuju jendela. “Sejak kecil, aku selalu merasa berbeda. Kedua kakakku menghabiskan waktu dengan belajar, dan aku main. Tapi saat masuk SMA aku berhenti main-main dan sepenuhnya konsentrasi dengan belajar. Tapi ternyata itu semua enggak cukup.”
Kecupan di belakan kepala membuatnya tersenyum, “Mas tahu … selama ini belum ada satu orang pria pun yang pernah mambuatku nyaman seperti ini.”
“Karena hanya kamu yang bisa membuatku nyaman. Lagian … bukannya hanya kamu yang bisa membuatku puas,” bisik Raffi di telinganya dengan nada geli yang terdengar jelas.
Aline tertawa terbahak-bahak mengingat kebohongannya pada Vania beberapa saat lalu. Ia menarik tangan Raffi yang melingkar di perutnya. Menikmati kehangatan yang dirasakannya. Melupakan semua yang ada di kepalanya beberapa saat lalu hingga terdengar barang jatuh dari arah pintu memecah gelembung kenyamanan yang melingkupi mereka berdua beberapa saat lalu.
“Sorry, aku enggak tahu kalau kalian ….”
Wajah pucat Vania menjadi hiburan baginya. Aline menggigit bibir bawahnya mencegah untuk tidak tertawa bahagia melihat wajah merah padam perempuan yang terlihat menawan. Sesekali ia melirik Raffi yang terlihat terkejut dengan kedatangan perempuan itu. Aline semakin merasa bahagia ketika merasakan kecupan di pelipisnya.
“Mas bantu Vania dulu, enggak perlu cemburu,” kata Raffi sebelum mengecup bibirnya sekilas.
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top