Bab 18
Bab 19
Aku mau kamu
“Aku tahu Mas harus kembali ke RS,” kata Aline setelah mobil yang Raffi kendarai meninggalkan keramaian antrian kendaraan di depan warung pecel. “Tapi … keberatan enggak kalau kita ke apartemenku dulu.”
Raffi meliriknya dengan kening mengernyit, terlihat terkejut dengan permintaannya. “Aku merasa ada sesuatu yang harus kita bereskan dulu di antara kita. Sebelum kita menghabiskan waktu bersama Tante Padmi. Keberatan, enggak?”
Aline tidak mendapatkan jawaban, tapi dari arah yang pria itu ambil, ia tahu bahwa Raffi mendengarkannya. Meski sepi mengisi perjalanan mereka, tapi ia merasa tenang. Sesekali ia melirik Raffi yang terlihat lelah tersebut, dan Aline tidak menemukan jejak keberatan di sana. Bahkan ia sempat melihat senyum di bibir Raffi ketika sesekali pria itu memandangnya.
Aline membuka pintu Apartment yang terletak tidak jauh dari kampus ITS tersebut dan meminta Raffi untuk masuk. Ia bisa menghirup aroma parfum yang mulai akrab di hidungnya, dan seketika ia merasakan dorongan untuk melingkarkan tangan di sekeliling pinggangnya. “Aku kira Mas lebih suka ngabisin waktu sana Vania waktu semalam batalin janji,” katanya dari balik punggung Raffi.
Beberapa detik lalu, ia melupakan kesopanan, kepantasan bahkan gengsi dengan memeluk Raffi ketika badan besar pria itu melewati ambang pintu apartemennya. “Aku ngerti apa yang kita punya masih terlalu baru … aku bahkan masih bingung menyebutnya. Tapi ngelihat postingan semalam. Mau enggak mau, aku kembali merasakan kekalahan yang sudah akrab di hidupku.” Aline berusaha menahan gerakan Raffi ketika ia merasakan tangan lembut pria itu hendak mengurai lilitan tangannya. “Jangan … gini aja dulu. Aku pengen gini dulu,” pintanya sambil mengeratkan lilitan tangannya.
“Sayang … semalam waktu dapat kabar ibu jatuh, yang Mas lakukan adalah seger menuju ke RS dan kasih kabar kamu,” kata Raffi. “Jadi kamu bisa tahu, kan, urutan wanita dalam pikiran Mas. Ibu nomor satu, dan kamu.” Karena tak siap dengan gerakan tiba-tiba Raffi, saat ini tiba-tiba ia melayang dan badannya terangkat sebelum di dudukkan di atas meja dapur.
“Tapi Vani—”
“Vania ada di sana waktu kejadian dan ikut Mas ke RS.” Raffi membelai pipinya lembut. “Seperti yang Mas sudah bilang tadi, I’m in love with you! Terlepas dari kedekatan kita yang masih seumur jagung, atau sedikitnya informasi yang Mas punya tentangmu. Hati ini memilihmu.” Jantungnya berhenti ketika merasakan ciuman lembut yang membuatnya melupakan semua kata di kepalanya. “Vania hanya teman, dan akan tetap menjadi teman,” kata Raffi tepat di depan bibirnya.
Lumatan bibir lembut, tidak tergesa-gesa membuatnya terlena. Ia melingkarkan tangan di sekeliling leher Raffi dan memperdalam ciuman mereka, hingga desahan lolos dari bibirnya. “Mas,” katanya dengan suara serak dan napas tersengal. “Aku enggak bisa mikir kalau gini.” Aline mengucapkan tiap kata dengan jeda yang menyiksanya.
“Enggak usah mikir!” perintah Raffi membuatnya semakin berani.
“Tapi kita harus bicara dulu,” katanya meski tidak terdengar meyakinkan. Tangannya sudah berpindah ke depan dada Raffi, bahkan entah kapan jarinya mulai membuka beberapa kancing kemeja biru navy pria itu. “Stop!” katanya lemah dan tangan yang menyentuh kait yang berada tepat di depan dadanya pun berhenti. “Ada sesuatu yang aku pengen ceritakan.”
Raffi mengusap pipi dan merapikan rambutnya yang pasti acak-acakan dan menarik kepalanya. Katanya terpejam ketika merasakan kecupan lama di keningnya. “Okey, kita bicara.”
Jeritan meluncur dari bibir ketika Raffi dengan mudah mengangkat badannya. Seketika kaki membelit pinggang Raffi begitu juga lengannya memeluk erat pria yang sesekali memberinya kecupan sepanjang jalan hingga ia merasakan tubuhnya merendah. Dengan posisi duduk di atas pangkuan Raffi, “Sekarang, katakan semua yang perlu kamu ceritakan.”
Tarikan lembut hingga tidak ada jarak antara dirinya dan Raffi sempat membuat konsentrasinya menghilang. Terlebih lagi ketika bibir lembut itu memberikan ciuman di sepanjang rahang dan ia kembali terlena. Aline mendongak memberikan akses pada Raffi untuk mencium leher jenjangnya. “Curang … gimana aku bisa—"
“Sorry,” kata Raffi tiba-tiba menghentikan ciumannya dan Aline merasakan kehilangan. “Lanjutkan!”
Aline mengusap pundak hingga dada Raffi, “Aku pernah punya pacar. Namanya Radit, dan aku pernah tidur sama pria lain saat aku masih resmi menjadi pacar Radit.” Aline bercerita tanpa mengalihkan pandangan dari dua kancing kemeja yang terbuka. “Kita putus saat Radit memutuskan untuk jujur padaku tentang mantan tunangan yang tidak bisa dilupakannya.”
Aline mengangkat kepala ketika merasakan jari Raffi berada di bawah dagunya. “Aku mengenal Raras—mantan tunangan Radit—beberapa bulan sebelum aku dan dia putus. Itu adalah pengalaman pertama ditikung dalam kehidupan cintaku.” Kening Raffi mengernyit dan pria itu terlihat terkejut.
“Jangan kaget dulu, karena ceritaku belum usai,” katanya ketika melihat Raffi hendak berkata sesuatu. “Aku mencoba mendekati pria semalamku itu dan mendapatkan penolakan. And the best part is … aku ketemu pria itu lagi di pembukaan resto waktu itu.”
“Tunggu … belum usai!” ia meletakkan jari telunjuk di depan bibir yang beberapa saat lalu membuatnya menginginkan lebih. “Malam itu aku baru tahu kalau pria itu barusan menikah, dan … istrinya adalah tante mantan tunangan Radit.”
Mata membeliak Raffi terlihat lucu dan Aline tak bisa menahan diri. Ia menangkup pipi pria yang memusatkan perhatian padanya setiap kali mereka bertemu. “Sepertinya aku tahu kenapa Vania sampai bajak ponsel kamu, Mas.”
“Hah?! Kenapa? Apa hubungannya sama kamu, Sayang?” Pipinya menghangat setiap kali mendengar panggilan yang Raffi untuknya.
“Ingat waktu kita ketemu makan siang?” tanyanya. “Waktu aku selesai meeting … aku sepertinya mengatakan sesuatu yang buat Vania sampai bajak ponsel kamu semalam.”
Ekspresi terkejut Raffi membuatnya tersenyum geli, dan Aline tak bisa menahan diri untuk tidak menangkup kedua pipi yang dihiasi jambang terpotong rapi lalu mencium lembut bibirnya. “Aku suka cium kamu, Mas.”
“Dan aku suka cium kamu,” kata Raffi. “Tapi pertama-tama, jelasin dulu.”
Aline mengatur napas mengingat kebohongannya siang itu. “Aku sempat bilang sama Vania … kalau nama yang keluar dari bibirmu setiap kali Mas puas ….” kata Aline memelankan suara. “Aku bilang yang bisa peluk, cium dan buat Mas puas hanya aku.”
Masih duduk di atas pangkuan Raffi, Aline tersenyum kikuk dan malu setelah mendapati binar mata pria yang saat ini terlihat kaget tapi juga bahagia. “Sayang … kamu enggak ngerti ….” Pria itu tidak menyelesaikan kalimatnya karena saat ini bibir lembut Raffi membuatnya tak bisa berpikir kecuali menikmati.
Aline memperdalam ciuman hingga merasa dorongan untuk meminta lebih. Ia membutuhkan lebih dari ciuman di bibir. Dalam hitungan detik, ia menarik crop tee looks dari atas kepalanya. “Aline,” kata Raffi lembut di telinganya.
“Aku mau lebih … aku butuh lebih … aku mau kamu!” suara serak berselimut gairah membuat tangan Raffi berhenti. “Please jangan berhenti … aku mau kamu,” katanya disela-sela ciuman di leher Raffi. Bahkan saat ini ia merasakan detak jantung kekasihnya yang bertalu kencang, tak jatuh berbeda dengan yang di rasakannya.
“Aku enggak akan bisa berhenti, Line!” suara tertahan itu membuatnya semakin bergairah. “Aku enggak akan bisa berhenti!” Raffi kembali mengulang kalimat yang terdengar seperti janji di telinganya.
“Jangan berhenti,” katanya ketika merasakan tangan Raffi mengusap pahanya. “Kamar!”
Ya ampyuuun ... Aku lupa publish Mas Raffi.
Maaf, yaaa
Akhir-akhir ini pikirannya emang lagi enggak kompak aka jari.
Selamat menikmati Mas Raffi. Eh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top