Bab 17

Bab 17
I’m in love with you

Ingatan tentang wajah datar tanpa ekspresi yang ada di wajah kedua orang tuanya membuat Aline tak bisa memejamkan mata. Meski hari sudah berganti. Kekaguman yang dilihat di wajah Padmi tak membuat kedua orang tuanya terlihat bangga. Aline meraih ponsel dan kembali membaca pesan yang membuat suasana hatinya semakin kacau.

Sayang, maaf. Malam ini enggak bisa ketemuan dulu.
Sesuatu terjadi dan Mas enggak bisa kemana-mana.
Nanti Mas jelasin.

Semenjak pesan itu masuk, ia tak memiliki kekuatan dan keinginan untuk membalasnya. Entah kenapa malam ini ada perasaan tidak enak yang memperparah suasana hatinya. Terlebih lagi ketika ia menangkap senyum di bibir Vania ketika mereka berpisah beberapa jam lalu.

Karena gagal memejamkan mata, Aline memutuskan berselancar melihat sosial media hingga menemukan foto pernikahan Mitha yang di gelar beberapa saat lalu. Senyum puas di bibir kedua mempelai membuatnya segar dan melupakan kegundahan hatinya. Jarinya tak bisa berhenti menggulir layar hingga melihat foto yang diunggah Bagas—suami Mitha—bersama teman-temannya dan ia tertegun ketika melihat satu foto candid yang terpaut dengan akun @MarZuki.

Aline tak bisa mengalihkan pandangan dari sang pria melingkarkan tangan di pundak perempuan cantik, keduanya saling memandang dengan senyum di bibir. Bahkan sang perempuan terlihat menangkup pipi pria yang dimanggilnya Sayang tersebut. Suasana hatinya semakin berantakan. Namun, ia tetap memutuskan untuk melihat akun milik Raffi, dan Aline segera menyesalinya. Karena yang pertama ia lihat adalah foto selfi seorang perempuan di samping Raffi. Matanya tertutup dan terkulai di atas lengan kanannya. Terlihat seperti suasana rumah sakit.

“Pantesan kamu sibuk, Mas!” gumam Aline memutuskan untuk mematikan ponsel. “Entah kamu emang enggak ditakdirkan untuk bahagia atau perjuanganmu untuk mendapatkan Raffi kurang keras, Line!” kata Aline pada diri sendiri sambil menatap kembali langit kamarnya.

Aline tidak percaya dongeng. Baginya cerita tentang hidup bahagia selamanya hanyalah kebohongan besar yang menguntungkan beberapa pihak. Karena di dunia ini tidak ada kata selamanya. Ia percaya semua memiliki tanggal kadaluarsa begitu juga dengan bahagia. Melihat foto yang ada di layar ponselnya saat ini, Aline berpikir apakah kepercayaan diri yang muncul ketika ia berbicara pada Vania beberapa saat lalu hanyalah pacuan adrenalin.

Ia melihat layarnya sekali lagi dan terkejut karena tidak menemukan foto yang beberapa saat lalu membuat kantuknya hilang. “Kok hilang,” katanya mencoba kembali menggulir layar ponselnya hingga panggilan masuk My cudlle monster muncul di layar ponselnya. Namun, hingga ponselnya berhenti bergetar, Aline masih belum menemukan keinginan untuk menjawab.

My Cuddle Monster
Ibu jatuh saat turun dari mobil semalam.
Sayang, Mas enggak tahu kalau Vania posting sesuatu. Maaf

Aline hanya membaca dan tak tahu apa yang harus ia ketik untuk menjawab pesan tersebut. Hingga pesan berikutnya membuatnya ingin segera membalasnya.

My Cuddle Monster
Ibu bilang aku melewatkan kesempatan bertemu calon mertua semalam, maaf.

Ibu enggak apa-apa?

“Ya ampun, Sayang … aku kira enggak akan  bisa mendengar suaramu lagi,” kata Raffi seketika sesaat setelah jarinya menggeser tanda hijau di layar ponselnya. “Pinggul Ibu retak. Untuk sementara harus di rumah sakit dulu. Aku enggak tahu Vania bisa kekanakan seperti itu. Tadi langsung hapus begitu melihat banyaknya notifikasi yang masuk. Kamu baik-baik aja, Kan?”

Aline menghela napas berat, “Mas tahu, aku sudah terbiasa di tikung untuk urusan hati.”

“Maksudnya?” nada heran yang memasuki ruang dengar membuat Aline merasa tidak nyaman membuka diri. “Tunggu, jangan di jawab dulu. Tiga puluh menit lagi tunggu di depan!” Aline menatap keheranan ponsel yang mati di tangannya, ia tak memiliki kesempatan untuk menjawab dan Raffi sudah memutuskan sambungan.

“Maksudnya apa, sih, Mas?” tanyanya ketika Raffi menjawab sambungan teleponnya. “Jangan aneh-aneh, lah. Ini jam tiga pagi. Aku lagi males dandan!” cerocos Aline tanpa memberi kesempatan Raffi untuk menjawabnya.

“Sayang, kamu cantik dengan atau pun tanpa make up. Aku enggak mau nunggu. Aku harus ketemu, aku butuh ketemu kamu, sekarang. Please.” Suara Raffi yang terdengar lembut membuatnya menyerah dan bergumam menjawab permintaan itu. “Tunggu di bawah tiga puluh menit!”

“Apa, sih! Main perintah, gitu,” omelnya pada ponsel setelah Raffi kembali memutuskan sambungan. “Emang enggak bisa tunggu matahari muncul apa!” Meski jengkel dengan telepon Raffi, tapi ia tetap berdiri dan bersiap. Walaupun ia jengkel harus bersiap diri. Namun, bibirnya tetap tertarik ke atas dan binar bahagia terpancar dari Katanga.

Menatap pantulan dirinya di depan kaca, Aline siap menemui Raffi saat jam di dinding menunjukkan dua puluh menit setelah sambungan telepon di matikan. Crop tee berwarna merah marun, rok sepanjang mata kaki dan make uo tipis cukup untuk menyembunyikan lingakaran hitam di matanya.

Tepat tiga puluh menit kemudian, mobil SUV hitam menepi tepat di depannya dan Raffi keluar dengan wajah tak kalah kacau dengannya. Aline bersyukur saat ini make up menutupi wajahnya yang kuyu. “Kamu baik-baik aja, Mas?” tanyanya ketika tiba-tiba Raffi memeluknya erat di depan lobby apartemen yang masih sepi.

“Kangen,” kata Raffi di ceruk lehernya. “Ikut Mas!’ tanpa memberi kesempatan padanya untuk menjawab, Raffi membuka pintu mobil penumpang dan memintanya masuk.

“Kita mau ke mana?” tanyanya ketika Raffi mengarahkan mobil menuju tengah kota. “Mas, kit—”

“Hari ini ada kerjaan, enggak?” sela Raffi.

“Enggak ada. Kenapa?”

Raffi menatapnya dengan mata berbinar, “Hari ini Mas stay di RS jaga Ibu. Kita sarapan nasi pecel di bambu runcing dulu, kalau kamu mau … kita bisa ke RS dan ngobrol di sana.” Aline menatap kekasihnya yang terlihat lelah dan ia tak sanggup untuk menolaknya.

Sesekali Raffi kembali konsentrasi dan meliriknya. Saat itulah ia melihat kerinduan di mata pria yang membuatnya galau beberapa jam lalu. “Hey, kamu lelah, Mas. Mau aku gantiin nyetir?” tanyanya setelah menyentuh pelan lengan Raffi.” Ia tak pernah merasakan apa yang ada di hatinya selama ini. Rasa bahagia yang bercampur dengan ketakutan, seolah mendominasi hatinya. Terlebih lagi ketika Raffi meraih dan mencium punggung tangannya. “Mas—”

“Makan dulu, baru kita bicara.” Ia tidak menyadari mobil sudah berhenti tak jauh dari warung yang tampak ramai. Nasi pecel yang ada di jalan Embong Ploso terlihat antrian seperti biasanya, dan keduanya memutuskan untuk makan di mobil.

“Emang sudah berapa kali di tikung?”

Aline tersedak mendengar pertanyaan yang tiba-tiba Raffi ajukan. Pasalnya ia berharap pria yang pagi itu terlihat kuyu tersebut melupakan kata-katannya beberapa jam lalu. Tepukan lembut di punggung membuat jantungnya berdetak kencang meski batuknya mereda. “Udah enggak apa-apa?” tanya Raffi pelan menunduk ke arahnya dan pria tersebut tidak memundurkan kepala hingga ia mengangguk.

“Mas Raffi kok ingat aja, sih?” tanyanya setelah kembali memasukkan sesendok nasi berbalut bumbu kacang yang membuatnya bahagia. “Aku berharap Mas lupa kata-kataku tadi.”

Raffi meliriknya sebelum memasukkan suapan besar nasi ke dalam mulutnya, mengunyah pelan dengan mata tak lepas darinya. Suasana di dalam mobil terasa berbeda, Aline tak bisa mengalihkan pandangan dari mata lembut yang menatapnya. “Jangan ngeliat gitu, Mas!”

“Kenapa?!” tanya Raffi yang tak terlihat ingin mengalihkan pandangan.

“Kenapa apanya?” tanya Aline yang berhasil mengalihkan pandangan dan

Pria yang tak terlihat ingin segera menjawab pertanyaannya tersebut membuat antisipasi yang muncul terasa menyiksa. Ia tak bisa menahan senyum dan pipinya yang menghangat mendapat perhatian tersebut. “Kenapa Mas enggak boleh ngelihat kamu?”

Aline menyudahi makan dan memandang lekat ke arah pria yang tak mengalihkan pandangan darinya. “Mas pasti tahu efek dari semua ini,” katanya melarikan tangan di pipi raffi. “Caramu memandang. Perhatianmu padaku. Bahkan suara lembut Mas setiap kali menjawab pertanyaanku … buat pipiku tersipu macem anak gadis—padahal udah enggak gadis lagi,” katanya mencoba mengurai semua yang dirasakannya.

Raffi meraih piring makannya sebelum keluar meniggalkannya sendiri, dan memberinya kesempatan untuk mengatur detak jantungnya. “Sorry kelamaan,” kata Raffi setelah pria itu kembali masuk dan menutup pintu mobil dengan pelan.

“Entah Mas sudah pernah mengatakan padamu atau belum. Jatuh cinta bukan hal baru, tapi saat bertemu denganmu … semua yang pernah Mas rasakan bersama Vania seolah mengecil. Kamu membuatku merasakan sesuatu yang berbeda … I’m in love with you, Line. Sejak pertama aku melihat senyum ketika kamu memandang galerry wall di restoran Mas Satya. I love you.”

Kata Mas Raffi, "Ayafluuuuu"
😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top