Bab 16

Bab 16
Makan malam

Tidak seperti biasanya, malam ini Aline memilih tunik biru terang dengan belahan di atas lutut dan celana pensil berwarna navy. Ia meyapu wajahnya dengan bedak tipis dan tak terlihat seperti dirinya. Keengganan yang mengiringi langkahnya setiap kali ia harus menemani kedua orang tuanya terasa di dada. Sebagai satu-satunya anggota keluarga yang belum memiliki pasangan, ia tak memiliki keleluasaan untuk menolak setiap kali mendapat pesan menemani kedua orang tuanya makan malam di salah satu restoran di Surabaya.

Mas, nanti jadi jemput enggak?
Aku enggak tahu selesai jam berapa. Gimana?

Aline mengetikkan pesan pada pria yang berjanji untuk menjemputnya selepas makan malam nanti. Meski takut dengan kemungkinan Raffi akan bertemu dengan kedua orang tuanya, tapi keinginan untuk melihat senyum pria itu menutupi semua kekuatirannya. Terlebih lagi ketika melihat pesan Raffi.

My Cuddle Monster
Kasih tahu jemput di mana nanti
Kemungkinan Mas juga bakalan terlambat nanti, dadakan harus antar Ibu. Enggak apa-apa, kan, Sayang?

Lega terasa di hatinya memikirkan kemungkinan Raffi akan terlambat dan tidak akan dengan sengaja bertemu dengan kedua orang tuanya.

Take your time, Mas. Kalau emang terlambat ntar aku cari tempat untuk nunggu.

Aline melangkah memasuki Steakhouse yang terletak di salah satu hotel bintang lima di jalan Embong Malang. Restoran yang di dominasi warna gelap membuatnya terlihat bersinar dengan warna baju mencolok. Setelah beberapa saat ia mengedarkan pandangan, akhirnya ia melihat kedua orang tuanya. Namun ia tak bisa melihat dua orang yang duduk di depan mereka. Tanpa mengetahui siapa yang akan ditemuinya, Aline menghampiri meja kedua orang tuanya dan terdiam dengan mata membeliak tidak percaya.

Perempuan yang beberapa saat lalu mengatakan bahwa Raffi akan datang padanya kapanpun perempuan itu memintanya, duduk di depan kedua orang tuanya bersama Padmi yang terlihat terkejut melihatnya. “Loh … Tante. Apa kabar?” tanyanya setelah tersadar dari keterkejutannya.

Aline duduk di antara Padmi dan ibunya setelah mencium pipi kedua orang tuanya. “Aku enggak tahu kalau Ibu kenal sama tante Padmi?” tanyanya ke arah Hani yang terlihat anggun malam itu.

“Kamu kenal dari mana, Dek?” tanya Hani memandangnya heran. “Tante Padmi ini kakak kelas Mama waktu SMA.” Bibirnya membulat tak percaya dengan kebetulan yang saat ini membuatnya terjebak dengan perempuan barbie yang menatapnya tajam.

“Tante apa kabar, dan ini adiknya Mas Raffi, ya?” tanyanya dengan suara lembut menyembunyikan muak yang dirasakannya setiap kali memandang ke arah Vania.

Aline mengulurkan tangan ke arah Vania dan menggenggam erat tangan perempuan yang menyebutkan namanya. “Vania ini anak temen tante juga, Line. Tadi mau minta Marsa, tapi mendadak dia harus gantiin Satya ketemuan sama orang,” jawab perempuan anggun di depannya. “Kalau Marsha enggak bisa nemenin, Vania pasti bisa nemenin. Iya, kan, Van?” Perempuan yang semenjak tadi terdiam dengan mata tajam mengarah padanya, tiba-tiba tersenyum manis pada kedua orang tuanya.

“O gitu. Tan—” jawabannya terputus ketika ponsel di atas meja bergetar. “Permisi Tante, Pak, Bu, aku harus jawab ini dulu. Maaf.” Aline berdiri meninggalkan meja sambil berkata, “Iya, Sayang,”

“Sayang, maaf … sepertinya ntar, malam banget baru bisa jemput. Ini aja masih gantiin Mas Satya.” Suara Rafii diujung sambungan terdengar penuh dengan penyesalan.

“Mas … aku lagi makan malam sama Ibu dan mantan pacar kamu!” kata Aline ketus ketika menyebut tentang Vania.

“Hah! Kok bisa? Ibu hari ini makan malam sama temen SMAnya. Tadi memang minta Mas yang anterin, tapi karena harus gantiin Mas Satya, Ibu minta Vania untuk temenin.” Keduanya terdiam. “Kamu enggak apa-apa?”

Aline melirik ke arah meja, “Jadi gimana? Atau Mas ke apartemen aja ntar ya. Aku harus balik ke meja, udah di pelototin ama Bapak. Love you!” Aline memutuskan sambungan setelah tanpa sengaja bibirnya mengatakan sayang.

“Maaf,” kata Aline setelah kembali duduk.

“Siapa, Dek? Pacar?” tanya Hani terlihat penasaran. Aline melirik Padmi sebelum mengangguk pelan ke arah ibunya. “Iya, Bu.”

“Marsha, ya!” Aline menoleh cepat dan membeliakkan mata ke arah Padmi yang tersenyum lebar ke arahnya. Ia melihat bahagia yang tergambar jelas di wajah perempuan yang menggenggam tangannya erat, berbeda dengan Vania yang terlihat muram. “Beneran?”

“Siapa Marsha?” suara Bapaknya membuatnya takut untuk menjawab. “Mbak Padmi kenal?”

Kekehan dari bibir wanita yang telah melahirkan Raffi terdengar merdu di telinganya saat ini, meski ia tak berani memandang ke arah Padmi. Ia tahu saat ini mata lembut itu tertuju padanya. “Marsha itu anak keduaku. Waktu itu sempat ketemu waktu ada event.” Aline melirik ragu ke arah Tono yang tak terlihat terkesan dengan jawaban Padmi.

“Anak lanangku itu enggak berhenti ngomongin Aline. Harusnya kalau malam ini dia enggak gantiim Satya, bakalan jadi seperti pertemuan keluarga.”

Aline bisa merasakan pipinya menghangat membayangkan wajah Raffi dengan senyum dan sorot mata yang membuatnya tak bisa menjauh. Bahkan saat ini ia berharap makan malam ini segera berakhir dan bisa segera bertemu dengan pria yang seolah ada di sini bersamanya saat ini.

“Kapan di bawa kerumah, Dek?” tanya Tono tajam.

“Adek belum tahu, Pak. Nanti tanya Mas Raffi dulu deh,” jawabnya sambil melanjutkan memasukkan potongan daging yang meleleh di dalam mulutnya. Aroma daging yang menggoda membuatnya lapar dan tak mengindahkan pembicaraan antara kedua orang tuanya bersama wanita—yang ia harapkan menjadi mertuanya nanti.

“Iya, kan, Sayang?” Aline tersadar dari lamunan ketika Padmi menyentuh pelan pungung tangannya. “Tante lagi cerita sama Ibu Bapak kamu tentang event waktu itu. Anak muda jaman sekarang itu beda sama jaman kita yang sudah tua-tua ini. Kerjaan kalian itu menyenangkan gitu lho, seperti kamu dan Vania yang menemukan jalannya sendiri dan berani mengambil jalan berbeda dengan semua orang.”

Aline melirik kedua orang tuanya yang tersenyum seolah bangga dengan pencapaian anak perempuan mereka dari mata orang asing. Ia hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada Padmi yang masih menceritakan tentang kesibukannya dengan UMKM selama ini.

“Kalau Vania juga kenal Marsha?” tanya Hani tanpa menyadari wajahnya yang berubah ketika mendengar pertanyaan itu. “Sebelumnya sudah pernah kenal sama Aline?”

“Belum, Tante,” jawabnya tak ingin menimbulkan pertanyaan. “Baru kali ini ketemu Vania.”

Suara lembut Vania terdengar menjawab pertanyaan ibunya semakin membuatnya mengeraskan hati untuk tidak merasa terancam atau bahkan kembali ditikung. “Saya sahabatan sama Mas Raffi sejak dulu, Tante. Tapi belum sempat ketemu Aline, baru kali ini ketemu.”

Malam itu berjalan dengan pembicaraan tentang segala hal. Cerita tentang kedua kakak dan anak-anak mereka pun tak lepas dari bibir kedua orang tuanya, dan ia jadi lebih mengenal tentang keluarga Raffi dibanding beberapa saat lalu. Meski dengan kehadiran Vania di sana, Aline merasa malam ini berjalan dengan lancar. Ia tak sabar ingin bertemu dengan Raffi yang tak pernah lepas dari pikirannya.

Vania masih mecungul di bab ini
😂😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top