Bab 15

Bab 15
Rasa yang datang

 Mengindahkan saran Chita, Aline melangkah menuju meja Vania. Perempuan yang tak melepas pandangan ke arahnya semenjak aksi kecil Raffi membuatnya merasa harus menghadapinya. Ia mengangguk ketika mendengar perintah Chita menunggu tak jauh dari tempat yang ditujunya.

“Maaf … kamu harus nunggu lama,” katanya setelah dengan anggun duduk dan melipat kaki dengan sopan. “Katakan yang perlu kamu katakan dan aku akan dengan senang hati mendengarnya. Untuk saat ini!” Nada tegas tak ingin kalah terdengar jelas bagi siapapun yang mendengarnya. Aline tetap menjaga senyum di bibir seolah saat ini ia sedang bertemu dengan klien.

“Kami berdua dekat mulai SMA,” kata perempuan yang harus ia akui memiliki paras wajah cantik. Bahkan senyum Vania bisa membuat lelaki bertekuk lutut. Wajah imut dengan rambut panjang lurus terlihat kontras dengannya. “Mas Raffi selalu ada untukku kapanpun aku membutuhkannya. Dia enggak pernah menolak semua permintaanku. Orang tua kami berdua bersahabat sejak mereka masih sekolah, jadi kamu tahu … hubunganku dengannya sudah mengakar. He’s my person, dan kamu enggak akan bisa mengambilnya dariku.”

Aline menyilangkan tangan dan bersandar menatap perempuan yang tersenyum licik ke arahnya. “Jadi dia sahabat kamu?” Vania mengangguk menjawabnya. “Dia selalu datang setiap kali kamu membutuhkannya?”

“Setiap saat!” jawab tegas Vania.

“Orang tua kalian udah bersahabat lama?” Senyum culas Vania membuatnya muak.

“Siapapun perempuan yang dekat dengannya atau bahkan berusaha dekat dengannya, enggak akan bisa menghantikan posisiku di samping Mas Raffi!” pernyataan berani, dan Aline mengakui itu.

Memandang perempuan yang terlihat angkuh, membuat darahnya mendidih. Cara Vania melihatnya dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan cara meremehkan membuat hatinya semakin bergejolak. “Vania … kamu harus tahu. Meski ia sahabatmu, he's your person atau bahkan orang tua kalian berdua rajin makan malam setiap minggu, nama yang ia sebut setiap kali ia puas adalah namaku! Hanya aku yang ada di kepalanya setiap saat! Hanya aku yang bisa memeluknya, menciumnya dan membuatnya puas setiap saat!” ia bisa melihat mata Vania melotot, pipinya memerah menahan marah, bahkan senyum anggun dan culas yang ada di bibirnya menghilang seketika.

“Aku tempatnya pulang, karena aku adalah rumah Marsha Raffi Zulkarnaen, ingat itu!” kata Aline. “Kamu boleh ancam aku sebanyak yang kamu mau, tapi satu hal yang harus kamu tahu. Kamu mengancam orang yang salah!”

Vania mengepalkan tangan dan berkata dengan Gigi terkatup rapat, “Kamu hanya memanfaatkannya, karena kamu tahu sebanyak apa isi rekeningnya dan latar belakang keluarganya, dan aku enggak akan membiarkanmu melakukan itu!”

Aline mamajukan badan, memastikan Vania menatap media bola matanya. “Sudah?!” tanya Aline. “Sekarang waktunya kamu mendengarkanku dengan baik. Enggak peduli berapa banyak uang di rekeningnya. Enggak peduli latar belakang keluarganya. Aku bahkan enggak peduli meski kamu mengancamku seribu kali, karena apa yang terjadi antara aku dan dia, enggak ada hubungannya dengan uang ataupun keluarganya, apalagi sama kamu!” Aline berhenti sejenak. “Vania, Sayang … aku tahu saat ini kamu merasa terancam karena Raffi menemukan perempuan yang bisa menghormati dan memuaskannya, bukan sekedar tambal butuh seperti yang kamu lakukan selama ini.“ Aline melihat jam di pergelangan tangan kanannya. “Sekarang permisi, aku harus siap-siap untuk kencan panasku nanti malam!”

“Kamu harus tahu. Kapanpun aku memintanya datang, dia akan datang. You’ll see!”

Tanpa memandang ke belakang, ia berdiri meninggalkan Vania dan berjalan menuju Cihta yang sudah menantinya di depan kafe dengan senyum tertahan di bibir. Mata berbinar Chita meyakinkan bahwa perempuan itu mendengar semua yang keluar dari bibirnya. “Edan kamu, Line!” seru Chita ketika keduanya berjalan menuju area parkir. “Kamu yakin sama Mas Raffi? Aku kok merasa hubunganmu sama dia enggak akan semulus yang kamu bayangin.”

Aline menyibakkan rambut bergelombangnya dan berkata, “Kalau pada akhirnya aku dan dia enggak bisa jadi satu, ya sudah. Berarti emang dia bukan untukku!” kata Aline tegas. “Tapi … aku enggak mau lagi ditikung. I’m done ditikung! Aku enggak akan biarin perempuan barbie itu menikungku, karena ini waktunya Aline Adhiansyah menikung.”

“Merdeka!” seru Chita membuat keduanya terbahak-bahak seperti anak remaja di tengah Mall yang mulai ramai. “Semangat menikung, deh! Semoga pertikungan itu berhasil dan membawa kebahagiaan untukmu.”

Entah apa yang membuat Raffi berbeda. Namun, semenjak Aline bertemu pandang dengan pria yang membuatnya merasa dicintai, dihargai dan diperhatikan, ia merasa telah menemukan semua yang dicarinya dari seorang pria. Ia bahkan mulai mendapat kepercayaan diri untuk mempertemukan Raffi dengan anggota keluarganya. Meski hingga saat ini ia masih belum 100% yakin.

“Masuk akal enggak, sih, Tha?” tanyanya tanpa mengalihkan dari kepadatan jalan di depannya ketika mobilnya bergabung dengan keramaian jalan di depan mall. “Dari semua pria yang pernah aku kenal—termasuk Radit atau bahkan Mas Seno—dia adalah satu-satunya yang membuatku ingin mengenalkan ke orang rumah. Padahal aku baru ketemu dia beberapa kali. Aneh, enggak, sih?!”

Aline melirik perempuan di sebelahnya setelah beberapa saat ia tak mendengar satu kata meluncur dari Chita yang tak pernah kehilangan kata-kata. “Tha!”

“Apa, sih?!” tanya Chita. Dari sudut mata, ia melihat Chita sibuk membalas pesan dengan senyum tak lepas dari bibirnya. “Bentar, aku balas sekali lagi and … done!” seru Chita meletakkan ponsel di pangkuannya dan memandang ke arahnya.

“Aku bisa ngerti ketertarikanmu sama Mas Raffi. Menurutku, kamu tertarik karena pria itu berbeda dengan semua yang pernah jadi pacar atau deketin kamu selama ini. Caranya ngelihat kamu waktu jalan dari mejanya ke kita tadi … aduh, Line,” katanya dengan meletakkan punggung tangan di keningnya. “Bikin jantung jumpalitan. Tajam dan senyumnya itu lhooo.” Aline tersenyum karena ia bisa mengerti yang Chita katakan. “Aku yang enggak dilihat aja bisa ngerasain … hati ini bergetar.”

Aline tak bisa menahan tawanya lebih lama lagi mendengar Chita menggetarkan suara menggambarkan tatapan Raffi yang masih bisa dirasakannya hingga saat ini. “Sama dia, aku enggak perlu pura-pura jadi Aline yang selama ini orang lihat. Sama dia aku bisa jadi diri sendiri, Aline yang tak pernah merasa nyaman dan diterima di rumahnya sendiri.”

“Kamu udah cerita sama dia?” tanya Chita keheranan.

Aline menggeleng. “Belum semuanya, tapi garis besarnya sih sudah. Kamu tahu, dia kagum dengan pilihanku.” Aline menghela napas mengingat wajah Raffi ketika mengatakan kekaguman pria itu padanya. Aku kagum, hanya dua kata tapi membuatnya semakin kuat.

“Kamu jatuh cinta, Line,” kata Chita. “Untuk pertama kali, sepanjang usia persahabatan kita. Kali ini aku ngelihat kamu jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta dan bukan hanya di bibir.”

Sepanjan jalan ia menuju kantor, senyum tak lepas dari bibirnya. Mendengar Chita mengatakan apa yang ia rasakan membuat semuanya terasa lebih nyata. Aline tidak menyangkal apa yang ada di hatinya, tapi ia tak bisa mengindahkan rasa takut yang tiba-tiba muncul setelah mendengar ancaman Vania beberapa saat lalu. Meskipun saat ini ia berusaha menutupi rasa itu dari Chita yang kembali sibuk membalas pesan di ponselnya.

Pasti kaget, yaaaaa
Karena part ini juga terlalu sayang untuk dilewatkan. Thanks udah baca Aline, meski di U-Turn dan BKL dia bikin kesel. 😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top