Bab 13
Bab 13
Pagi yang Indah
Raffi is morning person. Setiap pukul tiga pagi, ia akan terbangun dalam keadaan segar. Setelah melakukan ritual pagi, pria yang masih tinggal bersama ibunya tersebut segera memulai hari dengan olahraga kecil di halaman belakang rumah kedua orang tuanya. “Kenapa enggak tinggal di rumah sendiri to?”
“Ntar ibu kangen kalau aku enggak di rumah,” goda Raffi tanpa mengalihkan pandangan dari layar tablet yang dibacanya selama berada di atas treadmill. Keringat yang mengucur deras membasahi wajah chubbynya tak membuatnya terlihat kelelahan. Semenjak setahun lalu, ia mulai mengatur pola makan dan berolahraga. Bukan karena ingin kurus, tapi Raffi ingin lebih sehat dan terhindar dari penyakit yang akan menghambat kegiatannya. “Lagian, kalau ntar aku nikah, dan istriku mau aku ajak tinggal di sini, gimana?”
Raffi melirik ibunya yang mengaduk cangkir teh hangatnya dengan pelan dengan pandangan terarah padanya. Ia tahu sang ibu pasti tertarik mendengar kata istri keluar dari bibirnya. Ia juga tahu, perempuan tersayangnya tersebut pasti tidak sabar memintanya untuk menceritakan siapa perempuan yang akhirnya mau mengambil resiko untuk bersamanya.
“Emang ada yang mau sama kamu?”
“Nah, itu dia. Aku juga heran, dia kok mau sama aku,” jawab Raffi menyudai kegiatannya dan melangkah menuju kursi tak jauh dari sang ibu yang masih memandangnya dengan tatapan tajam. “Jangan-jangan dia khilaf, ya, Bu.”
Tawa mengisi keheningan pagi, mengisi hati dengan senyum wanita yang tak pernah lelah menanyakan kapan ia akan menikah. Raffi menerima segelas air putih yang Padmi ulurkan, tapi ketika jarinya mencengkram gelas tersebut, sang ibu tak jua melepasnya. “Kamu ada apa sama Aline?” Mata Raffi membelalak karena terkejut ibunya mengingat nama Aline. “Enggak usah kaget karena Ibu ingat namanya.”
Ibunya adalah perempuan cerdas, ia bisa menjadi pembicara untuk seminar apapun. Teori apapun yang berhubungan dengan pekerjaannya seolah hafal di luar kepala. Semua nama tokoh penting, ada di kepalanya. Namun, semua orang tahu bahwa ibunya lemah mengingat nama orang yang baru dikenalnya. “Ya kaget, lah! Mana pernah Ibu ingat nama orang baru gitu.”
“Kecuali orang tersebut bisa bikin anak ibu kesemsem sampai senyum-senyum sendiri sepanjang jalan. Bahkan ibu juga tahu waktu itu kamu keluar lagi dan pulang lewat tengah malam.” Ia tidak terkejut ibunya mengetahuinya, tapi Raffi tak bisa berhenti bertanya, bagaimana nama Aline bisa tersimpan di memori ibunya. “Ibu kenal kamu, enggak mungkin keluar untuk bobo cantik sama perempuan enggak jelas. Jadi keseimpulannya hanya satu, kamu ketemu Aline setelah acara dia selesai. Analisa ibu bener, kan?”
Ia tak bisa menepis kekagumannya, Raffi bertepuk tangan dengan berlebihan membuat serbet yang beberapa saat lalu ada di pangkuan sang ibu, saat ini nangkring di atas kepalanya. “Ibu Padmi hebat sekali. Analisanya tajam dan tepat sasaran,” kata Raffi dengan kedua ibu jari terulur ke arah perempuan berwajah masam memandangnya. “Anak ibu lagi usaha waktu itu.”
“Terus piye?” tanya sang ibu dengan ekspresi penasaran yang terlihat jelas. Bahkan Raffi terheran melihat ibunya maju dan mencengkeram lengannya yang masih berkeringat. “Dia mau sama kamu?”
Memutuskan untuk tidak menjawab rasa penasaran ibunya, Raffi berdiri dan meninggalkan Padmi yang berteriak memintanya menjawab sebelum berlalu. “Tunggu tanggal mainnya aja, Bu!” teriaknya ketika kembali mendengar suara ibunya menuntut jawaban darinya.
“Marsha Raffi Zulkarnain, bikin ibu penasaran itu dosa!” tawanya semakin menjadi-jadi mendengar amarah ibunya. Ia tahu semua anggota keluarganya selalu penasaran tapi menahan diri untuk tidak bertanya tentang pendamping hidup. Hanya ibunya yang selalu bertanya, dan Raffi selalu menjawabnya, kecuali hari ini. Bukan karena ia tak ingin menjawabnya, tapi Raffi ingin menjawab pertanyaan tersebut dengan membawa Aline untuk bertemu dengan Padmi dan kedua saudaranya.
Pagi, Sayang
Aline
Ya ampun, geli bayangin dipanggil sayang begini, Mas.
Raffi tertawa mendapat balasan tak kalah cepat dengan mahasiswanya jika menjawab pesannya. Ia bisa membayangkan wajah cantik perempuan yang dengan bangga ia panggil kekasih hati tersebut memerah menahan jengkel karena untuk pertama kali ia memanggilnya sayang.
Ketemu saat makan malam atau makan siang?
Aline
Makan siang aja ya, Mas.
Ntar malam aku harus nemenin Mama Papa makan malam sama temennya.
Keningnya mengernyit melihat emoticon yang Aline kirim, seolah-olah perempuan itu tersiksa harus menemani kedua orang tuanya. Ia belum sepenuhnya mengenal Aline untuk mengerti dinamika hubungan keluarganya, tapi Raffi berjanji untuk mencari tahu.
Kasih tahu ketemuan di mana ya, Yang.
Pagi itu ia merasa memiliki banyak tenaga dan semangat untuk memulai hari. Ingatan tentang senyum Aline, perasaan bahagia setiap kali memikirkan perempuan itu, membuatnya siap untuk menghadapi apapun yang semesta lemparkan untuknya. Ia tidak pernah membayangkan akan memiliki perasaan seperti ini kembali setelah beberapa tahun lalu memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang tidak membuatnya bahagia.
Raffi memasuki ruang kerja yang ia gunakan bersama kedua orang rekannya termasuk Ratna, seniornya semenjak di bangku kuliah. Perempuan mungil memiliki dua orang anak remaja tersebut selalu menjadi tempatnya berbagi cerita selama ini. Seperti dirinya, Ratna pun pernah mendapat beasiswa untuk S2 dan S3 di Jepang, hanya beda kampus dengannya.
“Tumben?” tanya Ratna ketika ia meletakkan tas kerja dan segera mengetikkan pesan balasan. “Biasanya pagi-pagi gini ponselmu enggak pernah sibuk.” Meski tahu apa yang dimaksud perempuan itu, Raffi tetap acuh. Ibu jarinya tetap sibuk membalas pesan Aline yang menanyakan keberadaannya. Ia bahkan tidak menyadari senyum yang terbit di bibirnya ketika membaca sebaris pesan tersebut.
“Kamu punya pacar!” Raffi segera mengangkat kepala dan mendapati Ratna berada tepat di depannya. Mata sipit perempuan itu tertuju padanya. “Aku curiga,” kata Ratna yang sedang bersedekap di depan dada dan menantinya untuk bercerita. “Cerita!”
“Emoh!” jawabnya kembali menekuri ponsel di tangannya. “Kowe ngadek sampek sikilmu kesel, enggak bakalan tak jawab!”[1] Ia bukan pelit untuk bercerita karena selama ini Ratna selalu menjadi tempatnya bercerita. Namun, untuk saat ini, Raffi ingin menyimpan tentang Aline hanya untuk dirinya sendiri. Semua karena ia merasa apa yang ada di antara dia dan Aline terasa jauh lebih istimewa dan indah untuk di bagi pada siapapun, termasuk Ratna.
“Vania!” ada nada kesal dan marah yang membuat Raffi terkekeh mendapati Ratna yang masih setia berada di posisi yang sama. “Nek kowe mbalik maneh karo arek iku … sumpah, Fi, tak pecat dadi konco!”[2] Ancaman ratna membuatnya tertawa terpingkal-pingkal, pasalnya tubuh kecil perempuan di depannya justru terlihat menggemaskan bukan menakutkan seperti yang Ratna inginkan.
“Mbak, aku enggak balikan sama dia.” Raffi membuka ponsel dan menunjukkan foto Aline menggunakan kebaya terlihat terlihat cantik dengan senyum yang terlihat menawan. “Nyoh!” Dalam sekejap, wajah merah menahan marah yang ada di depannya terlihat bersinar terang ketika Ratna melihat wajah Aline. Bahkan perempuan yang beberapa saat lalu siap untuk meledak tersebut terlihat menutup mulut menahan diri untuk tidak teriak.
Pesan Aline masuk tak lama setelah Ratna mengembalikannya.
Aline
Mas … maaf, reschdule boleh, enggak?
Ada rapat dadakan yang enggak bisa diwakili Chitato
Okey, enggak masalah
Aline
Atau kita ketemu nanti malam
Siap, Nyonya!
[1] Kamu berdiri sampai kakimu pegal, enggak akan aku jawab
[2] Kalau kamu balikan lagi sama anak itu, aku pecat jadi teman
Pagi yang cerah dan senyum di bibir merah ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top