Bab 10
Tentang Aline
“Ceritakan tentang dirimu,” pinta Raffi. “Aku ingin tahu semua hal tentangmu.” Aline gugup mendengar permintaan Raffi. Entah apa yang membuatnya ragu untuk menjawab permintaan sederhana tersebut, tapi ada perasaan takut jika ia menceritakan tentang keluarganya akan membuat momen istimewa mereka sore ini akan berubah kacau. Pria yang dengan sabar menanti jawaban tak terlihat ingin memaksanya, bahkan saat ini cerita tentang keluarganya mengalir dari bibir Raffi.
“Bapak sudah meninggal saat aku selesai S1, itu sebelum dapat beasiswa ke Jepang yang pertama.” Berbeda dengannya yang ragu untuk menceritakan tentang latar belakang keluarga, Raffi tanpa ia minta justru membuatnya ingin mengenal lebih jauh tentang siapa saja di balik pria yang masih menggenggam erat tangannya. “Ibu sejak dari dulu memang enggak bisa diam. Terlebih lagi ketika berkenalan dengan UMKM, beliau semakin sibuk membantu mereka yang sedan merintis usaha. Ibu, Mas Satya dan Arifah—adik perempuanku yang selalu kupanggil Ipah—mereka bertiga memiliki jiwa seorang pedagang, aku aja yang nyeleneh. Melenceng jauh dari mereka semua.”
Tawa Raffi yang tidak terdengar minder atau benci dengan kenyataan yang diceritakan, membuatnya mengernyit keheranan. Keluarga pria yang selalu memandangnya setiap kali berbicara itu membuatnya iri, terkesan jauh berbeda dengan apa yang ia punya. “Aku berasal dari keluarga dokter. Hampir semua anggota keluarga dari kakek, nenek, Mama, Papa sampai kedua kakak perempuanku adalah dokter. Kecuali aku,” kata Aline memandang jalinan jari mereka berdua, seolah ingin melihat apakah pria itu berubah ketika mendengar cerita tentang dirinya.
“Kamu hebat!” Aline tersentak merasakan remasan yang tak ia sangka, kepalanya mendongak dengan cepat dan mendapati Raffi memandangnya dengan penuh kekaguman. “Kamu berani mengambil jalan yang berbeda dengan semua orang, dan aku semakin kagum padamu, Line. Eh, salah. Aku semakin suka!” Ketegasan dalam setiap kata yang terucap dari bibir pria yang memberinya penuh kejutan sore ini membuatnya tak bisa berkata apa-apa. Remasan tangan Raffi masih bisa ia rasakan, tapi Aline belum bisa membuatnya percaya dengan apa yang didengarkannya. “Kamu kenapa?” suara lembut itu semakin membuatnya tak bisa berkata, “Aku salah ngomong, ya?”
Aline menggeleng dan meremas tangan Raffi, seakan dengan melakukan itu membuatnya semakin merasa kuat. “Mas Raffi adalah orang keempat yang memiliki pendapat seperti itu. Selain Chita, Simbok dan satu orang tanteku. Karena bagi sebagian besar, bahkan hampir semuanya—kecuali tante Rosa—aku adalah si kambing hitam. Pecundang dalam keluarga. Karena selain enggak bisa jadi dokter, sampai umur segini, aku masih belum menikah.”
Ia mencari sorot kasihan atau simpati yang Aline kira ada di mata Raffi, tapi hingga beberapa saat berlalu, ia tak bisa menemukannya. Mata teduh dan lembut yang selalu tetuju padanya, saat ini terlihat geli memandangnya. Kening Aline mengernyit mendapati senyum terkulum di bibir Raffi. “Kok malah ngetawain, sih! Njengkelin!” katanya.
Raffi memintanya untuk mengulurkan tangan kirinya yang selama ini terbebas dari genggaman pria tersebut. Ketika kedua tangannya merasakan kehangatan yang bisa ia rasakan hingga ke dalam hati, kata-kata pria itu membuat pipinya memerah karena malu dan terharu. “Aku bersyukur kamu bukan dokter. Aku bersyukur hingga saat ini belum menikah. Aku juga bersyukur kamu dianggap kambing hitam, karena sesama kambing hitam harus bersatu dan saling mendukung. Kamu harus tahu, aku juga kambing hitam dalam keluargaku.”
Meski Aline meragukan hal itu, tapi saat ini ia tak bisa menahan rasa lega, syukur dan juga gembira yang dirasakannya. Dalam sekejap, Raffi membuatnya merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan kecuali dari tiga orang pendukungnya. Penerimaan dan kekaguman yang jarang ia dapatkan dari semua orang. Ia tak pernah menceritakan tentang keluarganya, bahkan pada Radit—kekasih terakhirnya—karena Aline tidak ingin semua orang tahu tentang apa dan siapa dirinya. Ia juga tak ingin semua orang mengenal tentang siapa dibalik sosok Aline yang selama ini tunjukkan pada semua orang.
“Kenapa Mas enggak seperti orang lain yang terkadang mengasihaniku ketika mendengar aku bukan dokter seperti anggota keluargaku? Kenapa Mas bilang aku hebat?”
“Bagiku, setiap orang memiliki jalannya masing-masing, itu yang Bapak Ibu ajarkan selama ini. Mereka berdua selalu bilang, anakku bukanlah anakku. Karena anak-anak adalah milik Tuhan, dan Dia sudah menetapkan jalan untuk mereka. Terlepas dari apapun keinginan orang tua mereka. Dari mereka, aku belajar untuk tidak memaksakan kehendak.” Raffi menyatukan kedua tangannya dan menangkup dan melapisi dengan kehangatan, “Aku enggak akan memaksakan kehendak pada anak-anak kita nanti,” kata-katanya membuat Aline membelalakkan mata. “Eh, maksudku. Aku enggak akan memaksakan kehendak ke anak-anakku … tapi kalau kamu mau punya anak sama aku … ya—”
“Gombal!” Aline menarik paksa kedua tangannya dan menyembunyikannya di bawah meja. Ia membuang muka ke segala arah kecuali menatap pria yang memandangnya dengan senyum kemenangan. Ia bisa merasakan itu, tapi Aline menolak untuk mengikuti permainan Raffi. Permainan berbahaya yang beresiko untuk kesehatan jantung dan jiwanya. “Jangan ngelihat seperti itu, Mas!”
“Mari kita ngomong serius!”
Aline segera mengembalikan pandangan setelah mendengar nada serius yang Raffi tujukan padanya dan mendapati wajah pria itu berubah serius. Tidak ada senyum geli di bibirnya, bahkan sorot mata yang beberapa saat lalu terlihat lembut, kali ini terlihat berbeda. Ia bisa membayangkan ketika berada dalam kelas Raffi saat ini.
“Mas mau ngomong apa?” tanyanya gugup. Meski Aline bisa menduga apa yang akan Raffi katakan padanya.
Musik yang mengalun lembut seakan menjadi pengingat bahwa keduanya tidak berada di dalam ruangan tertutup, bahkan saat ini keduanya masih ada di dalam kafe yang semakin ramai. “Kita berdua bukan anak ABG yang enggak sadar dengan apa yang kita rasakan saat ini. kita berdua cukup dewasa untuk mengartikan apa yang ada di antara kita berdua, dan aku enggak akan merendahkanmu dengan bertanya apakah kamu merasakan hal yang sama. Karena aku tahu—bilang aja aku GR—apa yang ada di hati kamu.”
Jantungnya berdetak kencang mengisi rongga dada yang terasa menyempit saat ini. Keringat dingin bisa ia rasakan mengalir sepanjang tulang punggungnya dan rasa melilit di perutnya yang selalu hadir setiap kali ia merasakan gugup. “Aku tahu itu, Mas. Dan aku enggak akan memintamu mengatakan aku sayang sama kamu, kita jadian ya! Seperti anak-anak ABG. Aku juga tahu bahwa Mas tahu apa yang aku rasakan. Tapi … ada sesuatu yang harus Mas ketahui sebelum kita sepakat melakukan apapun yang ada di kepalamu saat ini.”
Raffi mengernyit memandangnya dan menunggu hingga ia meneruskan kalimatnya. “Aku bukan orang suci. Aku pernah tidur dengan pacar-pacarku dulu, bahkan aku pernah melakukannya dengan orang asing beberapa kali,” katanya membuka aib diri sendiri. “Aku enggak mau Mas memiliki harapan terlalu tinggi pada perempuan di depanmu saat ini. this is me, baik dan buruknya seorang Aline Adhiansyah. Dan kamu adalah satu-satunya orang yang pernah mendapatkan kejujuranku semenjak pertama kali kita bertemu.”
“Boleh aku lihat ponsel kamu?” pinta Raffi seraya mengulurkan tangan kanan ke arahnya. Tidak ada marah, kecewa atau sedih di raut wajah pria yang masih menantinya meletakkan ponsel di atas tangannya. Aline tidak bisa mengerti apa yang Raffi inginkan, tapi ia tetap meletakkan ponsel dan menopang dagu memandang ke kejauhan tanpa ingin tahu apa yang Raffi lakukan saat ini.
“Cuddle monster, Line,” kata pria yang membaca nama di kontak ponselnya. Senyum bahagia di bibir Raffi membuatnya ingin berteriak. Bahkan saat ini yang diinginkannya adalah bergelung dalam pelukan pria yang menarik lembut tangannya, menjalin jari mereka berdua dan Aline tak pernah merasa sebahagia ini. “I’m your cuddle monster,” kata Raffi seraya mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.
Mataku tak bisa berpaling “My cuddle monster.” Alisnya terangkat ketika membaca nama kontak Raffi yang sudah pria itu ganti. Aline berusaha untuk menahan kekehan yang saat ini membuat pria di depannya tertawa jumawa. “You’re my cuddle monster, Mas?”
“I am, untuk saat ini. Hingga nanti waktunya berganti menjadi my husband, mungkin.” Terdengar seperti sebuah janji. “Kita bukan anak ABG lagi, kan, Line.”
Aline masih menatap ponselnya, menahan diri untuk tidak tersenyum berlebihan dan berusaha untuk menenangkan jantungnya yang berdetak tidak beraturan saat ini. Sebuah janji yang seseorang berikan tak membuatnya takut, bahkan saat ini ia merasa bisa menghadapi apapun yang ada di depan mereka. “Thank you, Mas.”
Sorry ... Kemarin kelupaan mau update.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top