Bab 1
Disclaimer
Tikungan Tajam adalah bagian dari street sign series. Teman-teman yang sudah membaca U-Turn dan juga Belok Kiri Langsung pasti kenal dengan tokoh yang bakalan menjadi titik utama cerita baruku. Mungkin bukan tokoh favorite, tapi ada cerita di balik setiap tokoh yang pernah aku buat dan rasanya sayang jika tidak dibagi untuk teman-teman semua.
Yang penasaran pengen baca U-turn atau Belok Kiri Langsung, bisa wa ke 0821.3928.7354
Sebelum mulai baca cerita baru ini,ada beberapa hal yang harus teman-teman ketahui.
1. TK enggak bakalan aku posting setiap hari, seperti kebiasaanku selama ini. Kemungkinan seminggu 1-2 bab saja setiap minggunya.
2. InsyaAllah begitu memasuki bulan Januari, TK aku hold karena bakalan ada cerita baru yang seperti biasanya bakalan aku posting setiap hari.
3. TK bakalan balik lagi selepas cerita bulan January kelar.
4. InsyaAllah TK sampai tamat ada di wp, jadi teman-teman bisa puas bacanya.
5. Jangan minta untuk dibuatin cerita tokoh pendamping yang lain, ya. Karena dari semua cerita, cuma street sign series yang aku rencanakan begini. 😂😂😂
6. Happy reading. Jangan segan untuk koreksi typo
😎😎😎
Bab 1
Family dinner
Matanya tak lepas dari rumah berpagar putih yang terlihat sepi di depannya. Dalam hati Aline menghitung jumlah mobil yang terlihat di sana, dan hatinya semakin meluncur ke dasar perut ketika mendapati ia orang terakhir yang datang. Ia bisa melihat mobil orang tua dan kedua kakaknya di sana.
Semenjak kecil, Aline selalu merasa berbeda di banding kedua saudaranya. Ketika kedua kakaknya lebih menikmati hari di dalam kamar untuk belajar, ia memilih untuk berlari keluar bermain bersama beberapa anak dari kampung sebelah. Saat ketiganya sudah cukup dewasa untuk memilih, kedua kakaknya dengan mudah mengikuti apa yang sudah kedua orang tua mereka tentukan.
Seperti dalam kisah Harry Potter, Aline adalah keturunan pure blood keluarga dokter. Membuat semua orang yakin ia akan mengikuti jejak langkah mereka, seolah hanya itulah jalan yang tersedia untuknya. Karena itulah yang diharapkan semua orang. Ia menjadi seperti kedua orang tuanya. Namun, ternyata Tuhan berkata lain. Aline memiliki jalan yang berbeda dan itu membuatnya semakin merasa berbeda.
Aline menyayangi mereka semua. Bapaknya yang keras dan jarang bicara. Sang ibu yang tak pernah membantah semua perintah suaminya. Begitu juga Lily dan Sari, kedua kakak perempuannya yang selalu mengikuti apapun pilihan yang orang tua mereka tentukan. Namun, perbedaan pilihan karir yang mencolok antara Aline dan semua orang membuat jurang pemisah itu terasa semakin lebar, setidaknya bagi dirinya.
Setiap kali menghabiskan waktu bersama mereka, Aline selalu mendapatkan pertanyaan yang membuatnya ingin berteriak. Seolah pertanyaan kapan nikah memiliki derajat lebih tinggi dibanding apa kabar. Pertanyaan yang selalu Aline dapatkan meski mereka tahu ia tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun saat ini.
Ketika Sari—kakak keduanya—menikah dua tahun lalu, Aline kira akan terbebas dari pertanyaan sang ibu, karena semua orang akan fokus pada keluarga sempurna Sari. Namun, ternyata ia salah. Karena pertanyaan itu menjadi lebih sering didengaranya, disertai pembanding yang sudah menjadi lagu wajib di telingannya. “Kamu kapan nikah, Dek? Cari suami seperti Mbak kamu, tuh! Pekerjaan mapan dan keluarga baik-baik. Kamu juga yang salah, coba kalau waktu itu nurut Ibu Bapak untuk masuk kedokteran, sekarang pasti sudah punya suami. Bukannya tinggal sendiri di apartemen dengan kerjaan yang enggak jelas seperti itu!”
Sebesar apapun rasa sayang yang ada untuk mereka, mendapat pertanyaan seperti itu membuatnya memilih untuk menjauh dari semua orang setiap kali mereka berkumpul. Untuk kesehatan jiwa dan demi menghindari pertanyaan keramat atau diskusi yang tidak ia mengerti tentang dunia kedokteran, pasien ataupun tentang jurnal kesehatan yang sering mengisi pembicaraan mereka semua.
Setelah menghembuskan napas berat yang mengganjal di dada, Aline keluar dari mobil dan bersiap menghadapi apapun yang semesta lemparkan padanya malam ini. “Siap, Line? Siap!” gumam memberi semangat pada dirinya sendiri.
Semenjak memutuskan tinggal sendiri, dapur menjadi pilihannya untuk menghabiskan waktu ketika datang makan malam keluarga dua minggu sekali. Seperti malam ini, Aline lebih memilih membantu Simbok mempersiapkan semuanya ketimbang duduk mendengar sindiran dari kedua kakaknya. Karena ia tak ingin mendengar pertanyaan, “Kapan bawa pacar kamu ke rumah?”
Di dapur yang terasa lapang dan terang ini, ia selalu merasakan pulang ke rumah. Simbok yang selalu ada, menemaninya belajar—karena ia memilih belajar di dapur ketimbang di kamar—mengenggam tangannya ketika merasakan patah hati pertama. Bahkan perempuan itu juga yang mengusap pundaknya dan berkata, Enggak apa-apa. Semua akan baik-baik saja, ketika tidak diterima di Sekolah Kedokteran. Simbok telah menjadi pengganti ibunya yang sibuk meniti karir.
“Dek, ke depan aja. Simbok bisa sendiri, kok!” perintah perempuan yang memiliki usia tidak jauh dari sang Ibu menghentikan gerakannya memotong buah. Perempuan Jawa yang selalu memperlakukan Aline layaknya anak sendiri itu tak pernah berhenti berusaha meyakinkan bahwa semua orang menyayanginya.
Terlebih lagi semenjak kegagalannya untuk masuk ke sekolah kedokteran seperti mereka berdua. Aline semakin merasa berbeda ketika masuk universitas swasta di jurusan yang tak pernah mereka semua bayangkan selama ini, Komunikasi.
“Dek, dipanggil Papa!” perintah Lily—kakak pertamanya—dari ambang pintu dapur yang memisahkan daerah kekuasaan Simbok dan area keluarga. Berbeda dengannya yang berbadan tinggi dan langsing, dokter bedah plastik itu bertubuh pendek dan cenderung kurus. Tanpa ada senyum atau basa-basi pada Simbok yang berdiri di samping Aline, Lily yang memiliki dua orang anak tersebut memutar tumit dan meninggalkannya yang berwajah muram karena harus berada di dekat mereka semua.
Aline melirik pasrah ke arah perempuan yang tersenyum menunjukkan gigi tak beraturannya ketika mendengar suara ketus kakak pertamaknya tersebut. “Udah sana! Ora sah ndelik neng kene,”[1] kata Simbok sambil mendorong Aline menuju pintu yang mengarah ke dalam rumah utama. Namun, sesaat sebelum ia melewati ambang pintu, Simbok mencekal tangan dan menarik hingga ia menghadap tubuh gempalnya. “Ditutup kancingnya! Adek boleh pamer dada saat di luar rumah tapi enggak di sini. Mereka berdua bisa pingsan kalau lihat anak kesayangannya pamer gini.”
“Halah, anak kesayangan dari Hongkong!” cibir Aline sebelum meninggalkan Simbok yang tersenyum puas setelah melihat kemeja putihnya terkancing sempurna. “Aku ke dalam dulu, Mbok. Doakan aku, ya,” kata Aline sambil mengedipkan mata kanan ke arah perempuan yang mengusap lembut kepalanya dengan sayang.
Suara langkahnya pasti terdengar hingga ke dalam ruang makan. Karena semua mata tertuju pada Aline dengan wajah datar tanpa senyum. Tanpa menyapa kedua kakak iparnya yang baru saja datang, Aline menempati satu-satunya kursi kosong di ujung dan mengabaikan lirikan yang semua orang tujukan padanya
Meja makan penuh dengan menu kesukaan semua orang, bahkan tempe penyet kesukaan sang bapak yang menjadi andalan Simbok tersedia untuk makan mereka. Ayam bakar lengkap dengan sambal dan juga lalapan yang menggugah selera membuat Aline semakin lapar meski ia tak sabar ingin segera kembali ke apartemennya sendiri.
“Dari mana, Dek?” pertanyaan Hani—sang ibu—mengalihkan perhatian Aline. “Bantu Simbok lagi?” Ia mengedikkan pundak sebelum meraih gelas berisi air putih di sebelah kanannya.
“Malam ini nginap di rumah?” tanya Tono yang selalu ia panggil Bapak dengan nada tegas tak ingin dibantah. Dokter spesialis Jantung yang juga dosen di Universitas tempatnya gagal mengikuti tes tersebut pelit senyum berbeda dengan sang ibu yang selalu terlihat ada senyum di bibirnya. Meski Hani termasuk salah satu dosen killer menurut cerita yang pernah didengarnya. Bukan Aline ingin tahu, tapi setiap kali bertemu dengan para dokter alumni universitas tersebut, ia selalu mendapat cerita betapa keras cara Hani mendidik mereka. Meski Aline tidak tertarik dan tidak ingin mengetahui tentang hal itu.
“Enggak, Pak. Besok ada pekerjaan pagi-pagi di GC,” jawab Aline pelan. Sebesar apapun rasa marah yang terkadang timbul karena sikap sang bapak, ia tetap seorang anak yang memiliki kewajiaban berbakti pada kedua orang tuanya. Hingga seorang pria datang mengambil tanggung jawab itu, dan ia sudah tak sabar menanti hari itu datang.
“Jam kerjamu kok aneh gitu, sih, Dek!” kata Sari—kakak kedua—yang selalu ketus, termasuk pada kedua orang tua mereka. Bahkan Rinto—suami Sari—tak lepas dari keketusannya, tapi entah kenapa pria yang juga berprofesi sebagai dokter tersebut cinta mati sama Sari yang berusia tiga tahun di atasnya.
Dari sudut matanya, ia melihat Simbok meletakkan piring berisi potongan buah yang ia tata beberapa saat lalu “Makasih, Mbok,” katanya dan Hani hampir bersamaan.
“Aku kerja kan sebelum semua mulai dan selesai saat semua sudah pulang, Mbak. Kamu kan tahu pekerjaanku seperti apa.” Aline berusaha untuk menjawabnya dengan suara sedatar mungkin, karena tidak ingin menimbullkan permasalahan apapun malam ini. Tubuhnya terlalu lelah dan tak sanggup jika harus melakukan debat kusir sama Sari yang tidak pernah mengalah sedikitpun padanya semenjak dulu.
Ketika Hani mulai menyendokkan lauk dan nasi merah ke dalam piring suaminya, itu merupakan tanda percecokan dan pembicaraan apapun harus segera dihentikan. Karena tidak boleh ada yang bersuara ataupun menggunakan ponsel, “Kalau penting banget, mereka pasti telepon ke nomer rumah!” jawaban Tono saat ada yang menanyakan tentang peraturan tidak boleh ada ponsel ketika makan malam bersama seluruh anggota keluarga.
Aline tidak pernah bisa menikmati makan malam keluarga semenjak gagal masuk sekolah kedokteran. Pertanyaan, sindiran, cibiran dan terkadang lirikan yang kedua kakaknya tujukan membuat Aline merasa tidak nyaman terlalu lama bersama mereka yang pernah ada dalam satu lembar kartu keluarga bersamanya.
Semenjak dulu ia selalu merasa berbeda, tapi semenjak hari itu, perasaan menjadi orang luar tak bisa diabaikan begitu saja. Meski ia tahu mereka yang ada di ruangan ini—kecuali kedua kakak iparnya—adalah mereka yang memiliki hubungan darah dengannya. Namun, jarak yang terbentang membuatnya tak bisa mengabaikan begitu saja.
Setelah hampir satu jam dalam keheningan, semua di bebaskan untuk meninggalkan meja makan dan Aline segera meraih tas, mencari ponsel yang berbunyi bebererapa Kali selama tiga pulih menit terakhir. Wajahnya terlihat bersinar ketika Hani menanyakan ada kabar apa saat ia membaca sebaris pesan dari Chita—sahabat dan juga partner kerjanya.
Chitato
Aku dapat undangan opening resto yang bisa jadi alternatif untuk acara nikahan.
Aline membuka tautan lokasi yang Chita kirim dan bayangan rumah arsitektur kolonial dengan lantai marmer ada di kepalanya. Bahkan saat ini ia bisa melihat dekorasi yang bisa dipakai untuk ruangan dengan desain timeless seperti itu. Beberapa acara private bisa digelar di sana. Jarinya dengan cepat menjawab pesan Chita.
“Dek, bahagia bener? Ada apa?” tanya Hani yang berdiri di samping Aline dengan cangkir berisi teh herbal untuk suaminya. "Udah mau pulang?" ada sedih yang Aline lihat di mata ibunya, tapi ia memutuskan untuk mengindahkannya.
“Ada undangan pembukaan rumah makan di jalan Sumatera, Bu,” jawabnya. “Adek boleh pulang duluan. Nanti kalau tempatnya oke, Adek reservasi untuk makan siang kita. Kapanpun ibu bisa, gimana?”
Hani terlihat bahagia mendengar rencananya, meski ia ragu sang ibu punya waktu untuk makan siang bersamanya. Karena seperti sang bapak, ibunya juga menjadi dosen di salah satu universitas di daerah Tenggilis. “Boleh. Pamit sama Bapak dulu sana!” Setelah memeluk singkat perempuan berkacamata yang tersenyum lembut ke arahnya, Aline segera bergegas menuju ruang kerja Tono dan mengabaikan lirikan kedua pasang mata saudara perempuannya.
Aline menghembuskan napas beberapa kali mengurangi gugup yang muncul di perutnya sebelum mengetuk pintu hingga terdengar suara sang bapak memintanya masuk. “Pak. Adek boleh pulang dulu? Ada undangan grand opening rumah makan di jalan Sumatera. Boleh?” tanyanya dengan segenap rasa berharap sang bapak membebaskannya dari siksaan di rumah ini.
Tono terlihat serius membaca apapaun yang ada di layar datar di depannya. Kacamata bergagang putih terlihat melorot hingga di atas cuping hidungnya. Seketika Aline bisa melihat bapaknya yang sudah tidak berusia muda lagi. Namun, sorot mata tajam yang mengarah padanya menghilangkan rasa bersalah yang sempat hadir beberapa saat lalu.
“Ya!” hanya sepatah kata, tanpa banyak tanya, ataupun pesan untuk berhati-hati keluar dari bibir pria berusia enam puluh tahun. Aline mendekat dan mencium punggung tangan sang bapak dan memutuskan melakukan sesuatu diluar kebiasaanknya, yaitu mencium kedua pipi pria yang masih terlihat datar.
“Adek pulang dulu, Pak”
[1] Tidak perlu sembunyi di sini
Mumpung pada mampir baca ceritaku, sekalian aku promo cerita yang lagi open PO, ya.
Teman-teman bisa wa ke 0821.3928.7354 atau bisa hubungi nomor di bawah ini.
Reseller yang bisa di hubungi
💞 LIST THE MARKETER SQUAD💞
JAWA BARAT
1. Nani ( Bandung dan sekitarnya)
Wa: wa.me/6289531777330
Fb : Mari-ann Mary
JABODETABEK
2. Nur Bahiyah
Wa: wa.me/6281388703993
Fb: Ubay Bahiyah
3. Firstin
Wa : wa.me/6287785429788
Fb : Firatin Ednalisa
4. Senja Purwaning Tyas
Wa : 081285657904 / 081288002911
IG : Kyoona Gallery
Shopee : Kyoona
Tokopedia : Kyoona Gallery
JAWA TIMUR, NTT, & NTB
SURABAYA
5. Deenee
Wa : wa.me/6281909079028
Fb : https://www.facebook.com/dee.setiadi.1
6. Bunga
wa.me/62895335511316
Fb: https://www.facebook.com/bunga.favian
LUMAJANG, JEMBER, BANYUWANGI, NTB
7. Elok
Wa : http://wa.me/6285233572006
Fb : https://www.facebook.com/miminya.filo
SEMARANG, SALATIGA, AMBARAWA, BAWEN, DEMAK, KUDUS, JEPARA, GROBOGAN DAN SEKITARYA
8. Galuh
Wa : wa.me/6285641404011
Fb : https://www.facebook.com/gecedepe
Shopee :
INDONESIA BAGIAN NGAPAK
9. Uchie
wa.me/6289685824273
fb. https://www.facebook.com/uchie.vanmollen
SOLO, SRAGEN, DIY, DAN SEKITARNYA
10. Zulfa eN Haa
wa.me/6283844633723
Fb : https://www.facebook.com/niken.syahida
11.Faith Adhila
wa.me/6285728502169
FB : https://www.facebook.com/faith.adhila
KALIMANTAN DAN SEKITARNYA
12. Dewi Pitalokasari
Wa : wa.me/6281336028013
Fb : https://www.facebook.com/pitalokasari
Shopee : pitaloka_store
SULAWESI & INDONESIA TIMUR
13. Fato'
Wa : wa.me/6285241234682
Fb : https://www.facebook.com/fato.mustari
SUMATERA UTARA, BATAM, MEDAN, ACEH DAfN SEKITARNYA
14. Iza
Wa : wa.me/6281362612980
Fb : https://www.facebook.com/iza.redapel
Line : hikarinoiza94
Telegram : t.me/081362612980
SUMATERA SELATAN, BABEL DSK
15. Rissa
Wa: wa.me/6282372199709
Fb: Rissa Noviany
Blurb
Sebuah perselingkuhan tidak pernah berakhir bahagia, kecuali bagi seorang Naraya Mahardika. Karena perselingkuhan suaminya, garis hidupnya bersinggungan dengan Abhimana Pramudya. Pria berusia Lima belas tahun lebih tua darinya yang menawarkan persahabatan, kenyamanan, keamanan dan cinta. Sesuatu yang tidak Raya harapkan akan datang di saat kehidupannya hancur berantakan.
Perselingkuhan tidak pernah membawa bahagia.Kecuali bagi Naraya yang menemukan kebahagiaan diri sendiri di saat ujian yang bertubi-tubi menerpanya.
Perselingkuhan tidak pernah membawa bahagia, tapi membawa kejelasan bagi Naraya yang menemukan titik terang dan rahasia di balik sebuah keputusan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top