Genang Kenang

Sungguh. Tidak ada yang lebih menyedihkan dari kenyataan bahwa seseorang yang dulu sedekat nadi, kini menjelma jadi orang asing. Rasi dan Dirga tumbuh bersama. Akan tetapi, rotasi waktu tak kunjung mau mengerti. Detiknya berlalu tiada ragu, cepat sekali meninggalkan halaman dulu jadi tak lebih dari kisah yang semu. Guratan takdir menggurat kerat sekat yang kian ciptakan larat sampai mau sekarat. Perputaran masa tak mampu dicegah, setiap komponen kehidupan selalu menutut suatu perubahan. Dan Rasi mesti terbiasa dengan itu.

Oh, Semesta. Tak bolehkah diri ini egois sekejap saja, untuk memohon agar kisah kita tak berakhir menjadi kenangan yang hanya mampu terulang di bait-bait kerinduan setiap malam?

Derai hujan yang semakin kencang menjadi melodi terbaik Rasi, kali ini. Situasinya sangatlah memalukan. Di hadapan Bang Ufi, pula? Ah, sudahlah. Perihal malu-tidaknya bisa dibahas nanti-nanti.

"Kenapa ...." Tanpa isak, tanpa guncangan sama sekali di bahunya, Rasi angkat suara, dingin. "Kenapa Diba menerimanya? Bukankah ... pacaran itu haram? Bagaimana bisa seorang anak pondok sepertinya melakukan itu? Kenapa kau di sana? Biarkan saja aku! Biarkan aku yang sudah ditakdirkan jauh dari agama ini untuk menghempaskan diri ke jurang kelam itu ...."

"Rasi, dengarkan aku." Tak ada lagi tawa. Lutfi mulai tahu bahwa semua ini bukan lawakan semata. "Sekarang, kembalilah sini untuk berteduh. Hujannya semakin deras. Kamu tidak akan—"

"Mengapa malah dia—"

"Dengarkan saya!" sela Lutfi, kesal setengah mati. "Jika aku ini tak lebih dari Bang Fi yang tiada nilainya di matamu, setidaknya tolong lihat aku sebagai seniormu, saat ini."

Berhasil. Rasi bungkam.

Lutfi menghela napas panjang. Ini cukup merepotkan. "Kau tahu, Rasi? Formula rasa sakit itu sebenarnya simpel: sebuah pengharapan berlebihan yang tidak pada tempatnya. Ingatlah suatu ketika kau meluruhkan tangis di atas sajadah dalam bait-bait sujudmu. Kita semua memiliki Allah Sang Maha Penerima Harap. Dia jauh lebih tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Lantas, untuk apa lagi kau berharap pada lelaki yang jelas-jelas dikodratkan sebagai makhluk serbaterbatas dan tak bisa diharapkan?"

Ini serius. Lutfi tak mau lagi bermain-main.

"Kau merasa dirimu jauh dari agama, karena takdir? Salah besar, Rasi. Itu semua pilihan kita! Di mana pun, tak ada agama yang menjemput umatnya. Kita! Umatnya yang memutuskan. Takdir tak pantas untuk disalahkan dalam hal ini. Kita merasa jauh, karena memang kita yang menjauh! Allah berkali-kali memanggil, tapi kita yang memalingkan muka!" Lutfi memejamkan mata, ikut merasa penat. Ah, bagaimana bisa ia jadi terlibat dalam problematika anak muda, seperti ini? Suaranya semakin rendah. "Pantaskah kita menyalahkan gurat takdir yang tak kunjung menyerahkan tali, di saat kita memiliki tangan yang seharusnya bisa digunakan untuk menariknya lebih dulu?"

Terdiam. Tak ada satu pun kata yang mengangkasa dari anak perempuan itu. Di sisi lain, Lutfi melemparkan jaket wind-breaker hitam miliknya yang tepat mendarat di kepala Rasi.

Lutfi berbalik, memunggungi Rasi. Tak ada lagi yang perlu dibicarakan. "Cukup. Aku tak peduli lagi sampai kapan kau mau mendekam di sana. Aku sudah memperingatkanmu untuk lekas pulang. Jika mamamu marah dan mencarimu ke sana-sini, itu di luar tanggung jawabku. Kau lebih tahu apa yang seharusnya kau lakukan."

Terdengar suara langkah menjauh. Tinggallah Rasi sendiri,
dengan kebisingan memori.

•   •   •

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top