Dilematik Romantik

"Bisakah aku menjadi mentarimu? Mempersembahkan seberkas sinar terindah, untuk jadi kemilau yang kau pancarkan di tengah purnama? Bergantian menghias angkasa dengan kisah kita yang tak akan pernah usai?"

Demi mengingat kalimat memalukan yang keluar dari bibir Dirga sepulang sekolah tadi, Diba spontan membenamkan kepalanya di balik kerudung panjangnya. Oh, tidak. Tidak. Bagaimana bisa lelaki itu mengatakannya tanpa beban? Sangat membahayakan bagi kestabilan frekuensi detak jantung Diba.

Begitu Dirga menyatakan perasaannya tadi, Diba hanya bisa berterima kasih tanpa alasan, lalu menyeret dua gadis di sampingnya untuk lekas pulang sebelum angkot semakin jarang melintas. Padahal waktu asar saja belum tiba. Diba hanya ingin melarikan diri dari lelaki bernetra cokelat madu itu, sesegera mungkin. Apalagi saat itu ada dua sahabatnya yang menjadi saksi: Luna dan Melva. Ah, habislah! Bahkan begitu sampai di rumah Diba, mereka masih saja sibuk membicarakan aksi Dirga. Pipi Diba tak henti bersemu merah hingga telinga.

Kalau dipikir-pikir, Dirga ini termasuk spesies langka yang pernah Diba temui. Semua lelaki—termasuk Moren, bad boy urakan semasa SMP—yang pernah jatuh hati pada Diba, bisa dipastikan akan mundur alon-alon dan hanya bisa mengaguminya dalam diam. Cinta yang sarat akan respek. Mereka paham benar bahwa Diba bukan gadis yang senang diberondongi kalimat gombal maupun tembak-tembakan, persis seperti yang Dirga lakukan tadi siang.

Di sisi lain, Diba merasa bahwa tindakan Dirga terkesan merendahkannya. Padahal ditilik dari sisi mana pun, jelas-jelas Diba ini golongan yang anti-berpacaran. Mengapa anak itu berani-beraninya berterus terang dengan gamblang?

Sudut hati Diba ngilu. Sadar, Diba! Itu jalan yang haram. Allah tidak suka. Ekspresi Diba berangsur normal. Bisikan setan macam apa yang sudah melintas di telinganya, barusan? Diba menghela napas panjang, menahan jerit dalam hati. Astagfirullah, tak seharusnya Diba terlintas untuk berpikiran seperti tadi. Baper? Sejak kapan kamus kehidupan Diba mengenal kata baper?

Masih heboh dengan pekikan tak percaya dan perintilan gosip lainnya, Luna memilih untuk memusatkan perhatian pada Diba. "Di, Di. Gimana? Bagaimana jawabanmu?"

Diba mendengkus singkat, lalu memperbaiki posisi duduknya supaya lebih tegak. "Tentu saja, no way. Untuk apa dipertanyakan? Sudah jelas, 'kan?"

Melva menyerobot, "Ih, ih. Dirga beda, lho! Lihat, berapa banyak jantan yang menyukaimu tetapi terlalu takut untuk ditolak dan hanya berakhir sebagai stalker dalam diam? Hanya Dirga yang gentle mengungkapkan perasaannya padamu, Di! Diba Dirga, double D. Couple yang bagus, ya, Lun?"

Lagi-lagi, mereka terkikik ngakak.

Luna menambahkan, "Oh, iya, dong! Jawabnya gini, ya, Di: 'Sure. I wanna be your moon, and ... you're going to be my only sun.' Awww!"

Diba mengernyitkan kening, kehilangan minat untuk berinteraksi dengan dua sahabat kecilnya. "Ayolah, guys. Kalian jauh lebih mengerti bahwa aku tidak bisa melakukannya. Aku tak pernah membiarkan seorang lelaki berani-beraninya menyelundupkan diri di kehidupanku."

"Di!" seru Melva, dengan tatapan penuh harap. "Bukankah pusat orientasi atensi terbesar dalam hidupmu adalah dakwah? Bagaimana jika hubunganmu dengan Dirga kau jadikan sebagai salah satu pijakan langkah demi langkah untuk merealisasikan proses dakwah, barangkali ... dengan membuat Dirga jadi lelaki yang lebih baik? Bukankah proses pendekatan adalah salah satu fase yang cukup penting dalam tersampainya suatu dakwah?"

Ruangan kamar itu hanya terisi senyap. Diba merenung dalam diam. Benarkah?

"Allah menyenangi hamba-Nya yang berniat baik."

Tidak, tidak. Lebih tepatnya, menempuh jalan haram demi resultan yang halal dan bermanfaat ... bolehkah? Apa Allah akan tetap meridhoi?

•   •   •

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top