Bahasa Rasa

"Diba menerimaku!"

Sehabis indra pendengaran Rasi menerima informasi yang ringan sekali terlontar dari bibir Dirga, otak Rasi kacau seketika. Rasi tak lagi peduli dengan berjuta kalimat yang melintas di sekitarnya, ia terlanjur terdistraksi. Apa-apaan hal konyol itu?

Mati. Rasionalitas Rasi sudah terbunuh. Layaknya digembok transparan, lidah Rasi terlalu lelah untuk sekadar mengomentari perubahan Dirga yang mendadak saja rajin shalat duha dan berjamaah setiap waktu. Palsu. Dirga tak lagi menjadi tumpangan Rasi. Tiada beban sama sekali, anak itu mengatakan bahwa dirinya akan membonceng Diba untuk ke Masjid Agung terlebih dahulu, menunggu masuknya waktu asar. Basi. Siapa peduli?

Di saat Rasi lebih memilih untuk berjongkok sambil membenamkan wajah di antara lipatan lutut yang dipeluknya di halaman belakang sekolah, rintik hujan datang berderai-derai. Dalam sepersekian detik, frekuensinya sudah meningkat pesat. Deras. Rasi tak berpikiran untuk beranjak dari posisinya yang tak ternaungi kanopi. Kepalanya justru memikirkan keadaan Dirga dan Diba saat ini. Mampus. Rasi sampai tak tahu sedang menyumpahi siapa; entah itu Dirga yang kehujanan di saat uwu-uwuan, atau pada dirinya sendiri yang terlihat semenyedihkan ini.

Dari balik punggung Rasi, sebuah suara mengudara. "Jika kau tak ada urusan selain bermuram durja di sini, pulanglah."

Itu Bang Ufi. Suara rendah yang bisa mencapai jawabul jawab di langgam bayati itu sangatlah khas. Rasi bisa mengidentifikasi tanpa perlu melihat visualisasinya. Tanpa merasa sungkan untuk repot-repot memikirkan ulang tata kalimatnya, Rasi menyahuti Lutfi dengan pertanyaan. "Bang, bagaimana tutorial menikung pacar orang secara halal?"

Siapa sangka, lelaki galak yang selalu serius dengan tanggung jawab dan hobinya menggembor-gemborkan semangat kerja sesuai tupoksi birokrasinya di organisasi itu malah menyemburkan tawa, puas. Lutfi menahannya kuat-kuat. "Ayolah, pertanyaan macam apa, itu? Daripada itu, biar kutawarkan sesuatu yang lebih menarik. Tunjukkan saja versi terbaik darimu, Dirga pasti menyesal karenanya. Balas dendamlah dengan cara yang keren."

Rasi tetap bergeming di posisinya. Jadi seorang Diba? Berkerudung lebar nan merepotkan? Pakai kaus kaki ke mana-mana? Ah, jangan naif. Meniru Diba untuk memenuhi tipe ideal Dirga adalah sesuatu yang menyebalkan. Sejak kapan proses mencintai bisa mengubah seseorang jadi orang asing yang lain?

Lutfi berdeham, masih susah payah menahan gelak. Kemudian, lelaki itu menambahkan, "Ah, tapi impresif. Mengenai tikung-tikung secara halal ... izinkan aku menjawabnya dengan: serempet di sepertiga malam. Melangitkan namanya dalam bait-bait doa. Itulah cara seorang muslim membahasakan rasa. Langsung tembus ke haribaan-Nya. Kurang so sweet apa lagi? Allah pasti memihak orang yang selalu mendekat kepada-Nya."

Akan tetapi, Diba jauh lebih dekat dengan Allah! Menyogok saja perlu orang dalam, bagaimanalah Rasi bisa menyogok Allah di saat dirinya bahkan tak mengenal Zat Sang Pembolak-balik Hati sepenuhnya?

•   •   •

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top