Absorpsi Navigasi
Malam beranjak matang. Kantuk Diba sudah mencapai puncaknya. Akan tetapi, layaknya mendapat instruksi tak tampak, mata Diba kesulitan memejam. Seolah ada blokade yang melarangnya, semesta tahu bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.
Entah pukul berapa Diba terlempar ke alam mimpi. Lewat tengah malam. Kekurangan porsi tidur membuat matanya kini tak kunjung mau terbuka sampai adzan subuh berkumandang. "Astagfirullah." Diba tersentak, merasakan derai kekecewaan yang tumpah ruah memenuhi setiap sudut hatinya.
Diba baru selesai mendirikan shalat shubuh. Masih di atas hamparan sajadahnya, Diba termenung panjang. Kecamuk pikiran yang bising terus mengisi benaknya.
Fokus, fokus. Diba menggeleng-gelengkan kepala, berusaha untuk mengingat target utamanya yang perlu diprioritaskan setiap habis shubuh: muroja'ah hafalan. Pagi ini, jadwalnya juz 3. Alunan merdu pembacaan surat cinta dari-Nya mengangkasa di langit-langit ruangan yang tak terlalu besar itu. Nikmat. Semilir angin pagi menelisik masuk lewat jendela yang sengaja dibukanya. Namun, baru saja seperempat juz, lisan Diba terjeda. Kepalanya berusaha keras untuk menggambarkan ayat selanjutnya, tetapi hasilnya kosong. Hafalan Diba tersendat.
Demi menyadari kenyataan itu, tanpa komando, Diba meluruhkan tubuhnya untuk kembali bersujud pada Sang Rabb, membisikkan kalimat kerinduan pada gersangnya padang hati, seiring dengan air mata yang mulai deras berjatuhan.
Diba sudah terbiasa melaksanakan shalat tahajud sejak kecil. Tak pernah absen sekali pun. Setiap senti tubuh Diba seakan memiliki alarm khusus yang akan menyala otomatis di sepertiga malam terakhir, tak peduli raganya yang mungkin kelelahan, matanya akan tetap terbuka di waktu itu. Begitu seterusnya, seperti sudah terpola dari awal. Namun, kali ini berbeda. Diba tidak tahajud .... Rasa bersalah menggerogoti hati hingga ke akarnya. Allah tidak membangunkan Diba untuk PDKT dengan-Nya malam ini. Bahkan hafalan Diba yang selalu orang-orang elukan sebagai peringkat mutqin, rasanya mulai pudar dan memilih pergi memalingkan muka.
Apa Allah ... menjauhinya?
Ah, tidak, tidak. Sedari awal, Diba yang meninggalkan Allah lebih dahulu. Kini, tak ada lagi notice dari-Nya. Allah cuek, tak peduli lagi dengan hubungan-Nya dengan Diba, karena Diba sudah memutuskannya begitu saja.
Apalah yang mampu Diba harapkan, jika Allah saja memilih untuk tak berada di sisinya?
Masih sembab dengan air mata yang jebol tanpa tahu cara menghentikannya, Diba melirik ponsel di atas nakas. Ia teringat pesan terakhir yang dikirim Dirga, semalam.
Di, besok kau free? Ayo ke perpustakaan madrasah! Ada Sirah Nabawiyah yang keren, 'kan?
Lelaki itu .... Semua berawal ketika Diba menerimanya untuk masuk ke dalam ruang kehidupan. Dirga hanya tamu di hatinya. Akan tetapi, bukannya menyuguhkan kopi, Diba malah menghidangkan hati. Bagaimana bisa? Merasa tidak enak karena kedua sahabatnya? Well, Luna dan Melva tak akan bertanggung jawab atas setiap rasa yang malah menikamnya dan menumbuhkan dosa-dosa.
Langkah dakwah? Jangan melawak. Jikalaupun berhasil, bagaimana bisa Diba berbangga diri atas suatu hasil yang melalui proses berlabel haram? Benar. Diba memang perlu menemuinya.
Sesuai waktu perjanjiannya dengan Dirga, Diba sudah bersiap dengan baju terusan biru dongker dan kerudung abunya begitu mentari beranjak tinggi di atas garis cakrawala. Begitu sampai di madrasah, tampaklah Dirga yang sedang memainkan ayunan untuk anak TPA. "Eh, Di? Uhm ... sudah makan? Atau mau langsung masuk saja?"
Sebelum perasaannya tambah gonjang-ganjing, Diba berkata singkat, "Hubungan kita sampai di sini. Terima kasih sudah pernah ada. Kuharap, kau mulai paham bahwa langkah kita sudah teramat salah arah dan tersesat di jalanan jauh. Kembalilah. Allah menunggumu."
• • •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top