Negeri Dongeng di Balik Menara Jam Kota
Setelah menyeimbangkan tubuhnya yang linglung, Annora menepuk-nepuk bajunya yang kotor terkena debu jalanan dan mengernyit heran. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali.
Annora melihat sekitarnya sambil ternganga. Suasana di sana berubah seratus delapan puluh derajat, meski tampak amat sangat mirip dengan dunia aslinya. Saat membalikkan tubuh, ia bahkan masih bisa melihat menara jam kota yang berdiri kokoh di sana.
Gadis itu menepuk pipinya keras-keras hingga menimbulkan bekas kemerahan. Apa yang baru saja dialaminya?
Tinta emas yang menari-nari membawanya terbang bagai pixie dust dalam dongeng Peter Pan dan membuatnya menembus menara jam di pusat kota?
Dan saat ini, Annora masih bisa mengenali sebuah gedung besar yang paling tidak jaraknya satu kilometer dari tempatnya berdiri. Semuanya tampak sama. Hanya saja, akademi tempatnya menuntut ilmu kini berubah warna dari nuansa kecokelatan menjadi merah muda.
Belum lagi kendaraan yang tiba-tiba lewat di sisinya. Sebuah kereta kencana melayang yang ditarik oleh seekor kuda putih bersayap lebar. Tak sampai di situ, kereta kencana tersebut bahkan menukik, kemudian berhenti tepat di depannya, seolah baru saja menemukan penumpang baru.
Annora bergumam takjub dan tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Kereta kencana itu tampak familiar baginya. Mungkin karena tampilannya hampir mirip dengan kereta labu yang dinaiki oleh Cinderella menuju pesta dansa.
Wah... yang benar saja!
Annora berjalan mendekat dan menyentuh beberapa bagian dari kereta itu. Karena terlalu asyik mengamati, ia tidak sadar kalau di dalam sana sudah ada manusia lain yang menunggu dirinya untuk masuk dan melanjutkan perjalanannya.
Annora terperanjat kaget dengan kehadiran sebuah kepala yang tiba-tiba muncul tepat di atasnya. Sambil tertawa, lelaki itu membantu Annora naik ke atas kereta kencana, mengabaikan wajah Annora yang telah memerah karena malu. Setelah sekiranya ia sudah duduk dengan benar, kereta kencana tersebut kembali terbang, meninggalkan bekas pelangi di langit yang mereka lalui.
"Hai," sapa seorang laki-laki yang baru saja membantunya naik.
Annora tersenyum kikuk, meski begitu ia tetap membalas sapaan anak laki-laki yang kini duduk di sebelahnya itu. Anak itu tampak seusia dengannya.
Tatapan mereka bersinggungan dan anak itu tersenyum ramah. Karena calon teman barunya itu sudah berani menyapanya terlebih dahulu, maka dengan inisiatifnya sendiri, gadis berambut perak itu memperkenalkan dirinya sembari menjabat tangan lelaki itu.
"Aku Annora Amblecrown, kau?"
"Henry. Henry Oakenwood," balasnya sambil menjabat balik tangan Annora.
"Tadi itu... maaf ya, gara-gara aku perjalanannya jadi agak melambat. Terima kasih juga sudah membantuku naik," tambah Annora sambil mengalihkan pandangannya ke bawah.
Ia melihat kakinya yang telanjang tanpa alas kaki. Dalam hati ia menyesal kenapa pula ia tidak menyempatkan diri untuk mengambil kaos kaki.
"Tak masalah. Aku juga sepertimu tadi. Penasaran dengan bentuk kereta kencana terbang yang dibawa oleh seekor pegasus bukanlah sebuah hal yang aneh."
Jawaban yang diberikan Henry cukup membuat Annora merasa lega.
"Kalau begitu, tadi kau juga terbang menembus menara jam dengan bubuk peri? Maksudku... seperti Wendy dalam dongeng Peter Pan. Kau tahu 'kan?" tanya Annora, berusaha mencari topik.
Sesaat laki-laki itu tampak bingung tapi kemudian ia mengangguk dan menjawab, "iya, aku juga menembus menara jam seperti Wendy. Ajaib sekali memang."
Annora ber-oh ria. Senang sekali bisa mendapatkan teman baru yang senasib dengannya. Ia lantas bertanya lagi, mengenai di mana Henry tinggal, apakah ia juga bersekolah di akademi, apa dongeng kesukaannya, dan apakah ia juga menyukai hewan imut seperti kucing.
Pertanyaan beruntun itu sukses membuat Henry kebingungan untuk yang kedua kalinya. Barangkali ia memang tidak terbiasa banyak mengobrol dengan orang baru, sehingga reaksinya seperti itu.
Dalam sudut pandangnya, gadis itu cukup menarik. Tadinya ia pikir kalau gadis itu adalah gadis pemalu yang pendiam. Ternyata banyak ngoceh juga dan terlalu penasaran.
Dan pada saat itu penumpang baru datang, kemudian duduk tepat di hadapan mereka.
Seorang gadis yang manis, dengan rambut pirang keriting dan pipi merona. Aurora, namanya. Mereka berkenalan setelahnya dan mengobrol santai mengenai dongeng legendaris, Peter Pan. Henry menyimak dan diam-diam ia bersyukur karena Annora mungkin saja sudah melupakan pertanyaan beruntun yang belum sempat ia jawab.
Sesekali ia menimpali, tentang bagaimana kerennya bubuk emas itu dapat membuat tubuh mereka sangat ringan hingga dapat terbang di angkasa. Omong-omong, Aurora juga pergi ke akademi yang sama dengannya.
Hanya saja gadis itu tidak mengenalnya. Ia bahkan datang ke acara pesta ulang tahunnya yang baru saja selesai sekitar tiga jam yang lalu itu. Annora merasa bersalah dan malu pada saat itu juga.
Apalagi saat mengetahui fakta bahwa mereka berulang tahun di tanggal yang sama. Bahkan Aurora menyempatkan diri untuk datang ke pesta ulang tahunnya, di saat seharusnya Aurora sendiri bisa menikmati pesta ulang tahunnya sendiri di hari itu.
Henry yang mendengar itu ikut terkejut. "Kalian serius baru berulang tahun kemarin?"
Annora dan Aurora mengangguk bersamaan.
"Wah sangat tidak kusangka kalau kita bertiga berulang tahun di hari yang sama," ucapnya yang membuat kedua gadis itu melebarkan mata mereka.
"Yang benar? Kalau begitu, selamat ulang tahun."
"Terima kasih, kalian juga selamat ulang tahun. Semoga kita akan terus baik-baik saja sehabis ini."
Mereka terdiam setelahnya. Fakta yang baru saja mereka dapatkan itu membuat mereka senang dan heran di saat yang bersamaan. Mereka semua, berulang tahun di hari dan tanggal yang sama. Sama-sama berulang tahun yang kedua belas pula. Sebuah kebetulan yang aneh. Rasa penasaran yang baru, kini menyelimuti diri mereka.
Tak terasa, tahu-tahu saja kereta kencana yang mereka tumpangi itu kini telah mendarat di pekarangan utama akademi. Mereka turun satu persatu, mulai dari Henry, diikuti oleh Annora, dan yang terakhir Aurora.
Saat itu, mereka kembali dikejutkan dengan beberapa kereta kencana lain yang datang dan mendarat di dekat mereka. Satu persatu anak seusia mereka turun dan tampak sama bingungnya. Aurora mengenal beberapa anak yang ada di sana, ia lantas berpamitan singkat dengan Henry dan Annora kemudian bergabung dengan dua temannya.
"Sepertinya, mereka semua memiliki tanggal lahir yang sama dengan kita," bisik Henry pada Annora.
Gadis itu menoleh, tampak tertarik. "Benarkah? Kalau menurutku, Tanggal lahir mereka berbeda dengan kita. Bisa jadi mereka memiliki tanggal yang sama dengan teman satu kereta kencana mereka masing-masing. Sepertinya lebih masuk akal."
Henry tersenyum kemudian kembali berbisik. "Mau bertaruh?"
Annora menatap Henry dengan heran. Saat mata mereka bertemu, gadis itu baru menyadari kalau teman barunya itu lebih tinggi sekitar sepuluh senti darinya, hingga ia harus sedikit mengangkat dagunya untuk melihat wajahnya.
"Bagaimana?"
Sadar kalau ia tidak sengaja terdiam sambil memperhatikan Henry, Annora buru-buru memutus kontak mata.
Ia kemudian berdehem. "Jangan konyol. Memangnya taruhan seperti apa yang bisa kau tawarkan? Kita sama sekali tidak memiliki barang apa-apa sekarang. Alas kaki saja tidak."
"Hanya taruhan biasa, tanpa barang. Kau tahu? Ada rasa bangga setiap kali kita bisa menebak dengan benar, sekalipun tak masuk akal. Mau mencobanya?" Kali itu, Henry tersenyum congkak di hadapan Annora untuk yang pertama kalinya.
Annora menaikkan sebelah alisnya heran, namun ia tak ingin mengambil pusing dengan taruhan konyol yang baru saja Henry sebutkan. Meski begitu, Annora akhirnya mengikuti jejak Aurora yang sudah mengobrol dengan beberapa anak baru dari kereta kencana lain. Secara tidak langsung mencoba untuk menjalankan taruhannya.
Pandangannya jatuh pada seorang gadis yang mengenakan gaun tidur berwarna putih. Anak itu tampak anggun dengan rambut hitam legamnya yang lurus dan berkilau.
Annora yang sudah menetapkan targetnya itu kini berjalan menghampiri gadis bergaun tidur itu. Nampaknya ia seorang pendiam, karena sedari tadi hanya berdiri sendiri tanpa mengobrol. Padahal seharusnya anak itu bisa bergabung dalam obrolan anak-anak yang sudah berkelompok di sekitarnya.
"Hai, aku Annora Amblecrown, salam kenal." Seperti yang ia lakukan sebelumnya, Annora mengulurkan tangannya sambil tersenyum ramah.
Awalnya gadis itu tampak malu-malu saat menjabat balik tangan Annora. Bahkan suaranya yang sangat kecil dan hampir tertelan angin itu membuat Annora sedikit kesulitan dalam mendengarkan ejaan namanya.
"Guinevere?" tanyanya lagi untuk memastikan.
"Iya... Kalau merasa sulit untuk menyebutkannya, kau boleh memanggilku Gwen," jawabnya lagi dengan senyum malu.
Mendengar itu, Annora balas tersenyum. "Baiklah Gwen. Semoga kita bisa berteman baik. Omong-omong, apa kau berulang tahun kemarin?"
Gwen tampak terkejut. "Darimana kau tahu?!" Suaranya kini jauh lebih kencang dari sebelumnya. Gwen lantas menutup mulutnya sendiri, tampak malu.
"Maaf," katanya. "Darimana kau bisa tahu kalau aku berulang tahun kemarin?" ulangnya lagi, dengan suara yang lebih kecil.
Gwen tidak bisa untuk tidak menatap Annora penuh tanda tanya. Ia penasaran. Gadis perak itu cukup menarik baginya. Bukan hanya dari penampilannya saja yang mencolok, tetapi tebakannya barusan membuat dirinya sangat terkejut.
Bukan karena apa-apa, tetapi tidak banyak orang yang tahu mengenai tanggal lahirnya. Dan gadis yang baru saja berkenalan dengannya itu bisa menebak dengan akurat hari ulang tahunnya yang tidak diketahui sembarang orang.
Sementara itu, Annora ternganga. Ia masih tidak percaya dengan fakta bahwa Henry akan memenangkan taruhan darinya.
"Annora, bisa kau beritahu aku dari mana kau bisa tahu hari ulang tahunku secara akurat?"
Pertanyaan Gwen menyadarkan Annora yang masih terbengong. "Ah itu..."
"Mohon perhatian semuanya!"
Suara seorang wanita menginterupsi keramaian hingga membuat suasana di antara mereka sunyi seketika. Bahkan, saking sunyinya, Annora sampai bisa mendengar bunyi jarum jam yang bergerak tiap detiknya.
Tunggu... sejak kapan?
"Mungkin kalian yang hadir di sini sudah bisa menebak siapa saya. Tetapi, mari saya perkenalkan lagi diri saya kepada Anda sekalian yang terpilih. Saya Juliet Anderson, Kepala sekolah akademi sihir, yang akan menuntun kalian untuk mempelajari sihir yang kalian idam-idamkan selama setahun penuh sebelum kembali ke dimensi kalian."
Ucapan wanita yang mengenakan setelan putih agak nyentrik dengan topi berbulu yang tinggi itu membuatnya dilanda rasa panik.
Kalau selama setahun ia berada di sana, itu artinya ia akan menghilang dari hadapan mamanya selama setahun?
Hal yang menyenangkan, sebenarnya. Tapi gadis itu tidak mampu membayangkan apa yang akan dilakukan mamanya saat mengetahui dirinya hilang dalam periode yang cukup lama itu. Ketahuan kabur beberapa jam saja mamanya sudah heboh, entah apa yang akan dilakukan wanita itu kalau ia menghilang selama setahun penuh.
"Sekali lagi, saya ucapkan selamat datang di Magical Dimension. Tempat di mana kalian sebagai anak terpilih, akan menikmati hadiah ulang tahun kedua belas kalian."
Ucapan sambutan itu tiba-tiba dikejutkan dengan transformasi Juliet Anderson yang tahu-tahu saja menghilang, meninggalkan bekas kobaran api dan terbukanya pintu utama akademi sihir dengan sendirinya.
Semuanya terpekik, namun pada akhirnya berubah menjadi terkagum-kagum, seolah telah tersihir oleh sebuah mantra. Sementara itu, Ms. Anderson tahu-tahu saja kembali menampakkan dirinya dengan sepasang sayap berapi di punggungnya.
"Ayo anak-anak, mari kita mulai tur singkat Akademi Sihir."
.
.
.
Tbc
************************************
Published : 11 Juli 2022
Jumlah kata : 1690 kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top