Menyelinap dan Kekacauan

Memasuki hari kelima, Annora dengan bakat sihirnya telah berkembang hingga menguasai satu elemen dasar, yaitu tanah. Gwen, juga hampir menguasai elemen udaranya, hanya saja masih beberapa kali gagal saat merapalkan mantra. Sementara itu, yang sangat tak terduga-duga, Henry si congkak yang berotak encer itu rupanya kurang berbakat dalam mengendalikan sihir. Elemen sihir dasar pertama yang ia pilih adalah api, tapi cowok itu sama sekali tidak bisa mengendalikannya hingga bolak-balik menciptakan kerusuhan di dalam kelas. 

Kelas praktik sihir menjadi kelas penutup mereka, ketika hari sudah menjelang sore. Dengan langkah tak sabaran, Annora, Gwen, dan Henry berlari ke arah taman belakang sekolah yang menjadi markas mereka belakangan ini. Mereka juga sangat akrab dengan petugas kebersihan yang kala itu bertugas untuk mengawasi Annora. Situasi itu dimanfaatkan dengan baik oleh Henry.

Segera saja, dalam waktu dua hari ia berhasil mendapatkan denah lengkap akademi sihir beserta informasi-informasi tambahan mengenai kasus tuan putri dan pangeran yang hilang.

"Sesuai apa yang kita dengar, mari kita anggap kalau para anggota kerajaan adalah ahli sihir murni tingkat tinggi. Desas desusnya, mereka bahkan bisa melakukan sihir berubah wujud dan manipulasi sihir. Fakta ini mendukung pendapat yang aku sampaikan waktu itu. Ada kemungkinan besar, kalau mereka kabur dari istana dengan bakat sihir mereka. Tapi aku masih belum menemukan alasan yang kuat sebagai motif mereka kabur dari istana."

Annora dan Gwen berusaha mencerna apa yang diucapkan Henry baik-baik.

"Mungkin peraturan istana yang terlalu ketat membuat mereka tidak betah berada di lingkungan istana dan memilih untuk kabur demi kebebasan?"

Perkataan Gwen mengundang keheningan selama beberapa detik. "Ya... mungkin saja," respon Henry pada akhirnya.

Annora masih berusaha keras berpikir. Tadinya ia tidak ingin mengiyakan apa yang dikatakan oleh Gwen karena berbanding terbalik dengan pendapatnya. Namun setelah mengingat kalau Gwen merupakan seorang putri di dunia nyata, Annora langsung berpikir kalau jawaban Gwen itu kemungkinan besar sesuai dengan apa yang gadis itu rasakan.

"Bagaimana menurutmu, Annora?"

"Tidak bisa kupastikan sih, tapi itu masuk akal. Mari kita gali informasinya lagi. Mungkin saja ada petunjuk-petunjuk lain."

Akhirnya Henry dan Gwen mengangguk. Kasus itu masih terlalu abu-abu dan mereka terlalu banyak menebak-nebak. 

Tiba-tiba Annora kepikiran sesuatu ketika langkah kaki mereka hampir mencapai markas taman belakang. Ia lantas bertanya untuk menyuarakan isi pikirannya.

"Kalian kepikiran tidak, kalau mungkin saja tuan putri dan pangeran menyamar jadi seorang murid di akademi sihir ini?"

Mereka saling bertatapan. "Mungkin. Tapi aku rasa akan sulit bagi putri atau pangeran menyamar menjadi orang lain sepanjang waktu dan menyembunyikan identitasnya di akademi ini."

Sejenak, Annora dan Henry tertegun saat mendengar Gwen yang melontarkan kalimat sepanjang itu.

"Aku setuju," timpal Henry pada akhirnya. "Tapi bukan berarti tidak mungkin," lanjutnya lagi sambil mengedipkan sebelah matanya.

Annora mendengus. Tadinya ia pikir Henry hendak melakukan taruhan lagi mengenai hal itu, tapi rupanya tidak.

.

.

.

Malam harinya, sesuai rencana mereka bertiga menyelinap keluar dengan bantuan bapak petugas kebersihan yang sudah seperti teman akrab mereka. Annora menjadi lebih santai. Karena setelah dipikir-pikir lagi, kalau mereka bertiga menyelinap dan misalnya ketahuan pun, mereka tidak akan merugikan siapa-siapa dan tetap bisa mendapatkan pengalaman untuk berpergian keluar akademi. 

Kalau dihukum, yah... mungkin hanya jadi bahan pembicaraan seangkatan saja. Tapi itu sudah tak lagi berpengaruh besar pada Annora dan Gwen, secara keduanya termasuk dalam golongan murid yang berbakat. Lain cerita dengan Henry. Meski begitu, anak itu tampak tidak terlalu mempedulikan bakat sihirnya yang di bawah rata-rata dan cenderung mengacaukan sesi praktik sihir sambil terus memamerkan seberapa encer otaknya yang mampu menghapal ratusan jenis mantra. 

Tenang saja, aku akan mendapatkan nilai sempurna dalam ujian teori sehingga mereka tidak akan mengembalikanku ke dimensi manusia lebih cepat dari yang seharusnya, kalau-kalau mereka tahu aku yang mengajak kalian untuk menyelinap keluar malam ini, begitu katanya.

Mereka berhasil keluar dari kawasan akademi lewat taman belakang. Ada satu pintu gerbang yang sudah lama tidak digunakan dan langsung mengarah ke arah hutan. Pak El--nama bapak petugas kebersihan atau teman baik mereka--berkata bahwa gerbang itu tidak terlalu tinggi dan tidak diawasi lagi. Karena ilalang yang tumbuh di sekitar sana sudah cukup tinggi dan murid-murid baru biasanya tidak mengetahui keberadaan gerbang yang hampir tak nampak itu. 

"Kalian bisa memanjatnya dengan mudah," begitu katanya.

Akhirnya, sesuai dengan arahan pak El, mereka bertiga berhasil keluar area akademi dengan memanjat pagar tersebut. Meski para gadis bolak-balik mengeluh karena kulitnya yang gatal saat bersinggungan dengan ilalang yang tumbuh tinggi itu.

"Jangan manja," ledek Henry pada teman-temannya.

Annora mendelik lalu memukul pelan lengan Henry. "Diamlah! Kau terlalu banyak berkomentar."

Kali itu Gwen setuju dengan perkataan Annora, tapi enggan untuk membalas. 

Trio itu akhirnya segera menyusuri tembok luar akademi dan berbelok sedikit ke kiri, hingga mereka menemukan permukiman. Jalan yang mereka lalui sudah bukan lagi tanah melainkan sudah berupa jalan berbatu. Suasana malam itu masih ramai, karena waktu masih menunjukkan pukul delapan malam. Ketiganya mengencangkan topi yang mereka gunakan lalu memulai pencarian mereka di sekitar jalanan tersebut. 

Tak butuh waktu lama untuk menemukan papan pengumuman yang penuh dengan wajah pangeran yang hilang. Annora sesaat terkesima dengan wajah pangeran yang tampan. Rambutnya hitam kelam dan matanya biru cerah. 

"Ah, pangeran mirip sekali dengan Mary," komentar gadis itu yang masih bisa didengar oleh Henry. 

Bocah laki-laki itu mengernyit. Entah sejak kapan menjadi penasaran dengan nama seseorang yang disebutkan gadis itu. "Siapa itu Mary? Teman sekolahmu?"

"Bukan. Dia memang temanku, tapi dia seekor kucing."

Henry ber-oh ria. Seekor kucing rupanya. Wah, cowok itu tidak pernah membayangkan kalau gadis segalak Annora bisa memelihara seekor kucing yang manis. Apalagi yang mirip dengan pangeran. 

"Permisi, bolehkah saya bertanya mengenai kasus hilangnya pangeran?" tanya Gwen kepada salah seorang pria tua yang merokok tak jauh dari papan pengumuman itu.

Pria tua dengan asap mengepul di depan wajahnya itu kini menoleh ke arah Gwen. Ia menilai dari ujung kepala hingga ujung kaki, gadis itu tak nampak seperti warga sekitar sana yang berpenampilan lusuh.

"Apa kau dari pihak kerajaan yang hendak mewawancarai warga sekitar sini?"

Gwen tampak salah tingkah. "Bukan. Saya bukan berasal dari keluarga kerajaan."

Pria tua tersebut memicing dan menilai gadis itu lebih lanjut. "Tapi penampilanmu tak nampak seperti berasal dari sini. Kau asal mana?"

Gadis itu bingung hendak menjawab seperti apa. Untunglah Henry dan Annora segera bergabung dengannya. Seperti biasa, Annora atau Henry bisa menyelamatkan dirinya yang terkadang kebingungan untuk mengatakan sesuatu. Ia takut salah berbicara. Memaklumi hal itu, Annora menggantikan Gwen untuk memperkenalkan diri. 

"Itu benar, kalau kami bukan penduduk sekitar sini. Sebelumnya perkenalkan nama saya Annora. Saya merupakan murid dari akademi sihir dan kami di sini sedang ingin mencari kasus yang menarik untuk dibahas sebagai tugas menulis esai. Apakah bapak bersedia untuk membagi sebagian informasi mengenai kasus putri dan pangeran yang hilang?"

Bapak itu mengembuskan rokoknya kembali dan kini tampak seperti sedang menimbang-nimbang keputusan. Ketiga bocah itu harap-harap cemas agar bapak itu mau mempercayai dan menerima tawaran mereka.

"Baiklah, sepertinya tidak enak kalau kita membicarakannya di sini. Rumah saya tidak jauh dari sini, ayo."

Ketiganya mengekori pria tersebut. Sepanjang perjalanan, Henry yang mengambil alih obrolan dengan pria tersebut. Di luar dugaan, mereka tampak satu frekuensi sehingga tidak lama untuk membuat keduanya tampak akrab. 

Annora tertegun. Pengetahuan yang dimiliki Henry memang begitu luas. Ia bahkan bertanya mengenai makhluk-makhluk legenda di dunia sihir tersebut, membahas beberapa mantra yang sekiranya dapat berguna untuk membunuh makhluk legenda dan membicarakan tentang tanaman herbal yang sekiranya dapat dijadikan ramuan penyembuh luka maupun penawar racun-racun tertentu.

Kebetulan sekali, pria yang ternyata bernama Rudolf tersebut merupakan seorang pemburu makhluk pemangsa. Ia bekerja untuk itu dan tidak sekali dua kali ikut untuk menyelesaikan kasus anak hilang yang sering dipasang di papan pengumuman.

Target yang tepat, begitu kurang lebih isi pikiran ketiga bocah tersebut.

Mereka berempat berhenti di sebuah rumah kecil dengan dua buah lentera di bagian depannya. Rumah berdinding batu itu tidak seberapa tinggi tetapi juga tidak terlalu pendek. Bunyi pintu kayunya berderit saat pak Rudolf mendorongnya. 

"Siapa ini?" tanya seorang wanita yang menatap ketiga bocah tersebut dengan tatapan penasaran.

"Kita kedatangan tamu. Mereka ingin tahu tentang kasus putri dan pangeran kerajaan yang hilang," jelas Rudolf. 

"Anak-anak, perkenalkan ini istriku, Diana. Diana, perkenalkan bocah-bocah pintar ini. Namanya Henry, Annora, dan--"

Ia menoleh sejenak ke arah Gwen sebagai kode bahwa pria itu belum tahu namanya. "Ah, saya Gwen."

"Ah ya, Gwen. Silakan duduk anak-anak. Maaf tidak bisa menghidangkan banyak."

"Tidak perlu repot-repot," ucap Annora penuh sungkan. Mereka bertiga segera duduk melingkari meja makan bundar. 

Diana menyuguhkan semangkuk sup kacang merah untuk setiap orang yang ada di sana. Tak lupa dengan teh hijau yang masih hangat.

"Silakan dinikmati, maaf tidak bisa memberikan yang lebih dari ini."

"Terima kasih, bibi. Ini enak sekali, kami menyukainya," respon Henry sambil tersenyum lebar ketika menyuap satu sendok sup kacang merahnya.

Bibi Diana ikut tersenyum. "Terima kasih kembali. Senang sekali kalian menyukainya."

Melihat Henry yang begitu menikmati sup kacang merah, Annora dan Gwen juga tidak menahan diri untuk ikut mencicipinya. Sebuah cita rasa baru muncul di lidah gadis itu. Rasanya manis dan sedikit asin. Hangatnya sup tersebut membuat cita rasanya semakin sempurna untuk disantap.

Mata Annora berbinar. Sup kacang merah itu, langsung menjadi makanan favoritnya di dimensi sihir. 

"Jadi, kalian ingin mulai darimana?" tanya Rudolf memulai pembicaraan.

Henry berdehem pelan setelah menghabiskan sendok terakhir sup merahnya. "Mungkin mengenai kasus hilangnya putri dan pangeran dari yang paling umum dulu. Karena terlalu banyak versi yang dibicarakan sehingga kami bingung untuk memilah informasi."

Rudolf mengangguk-angguk. Sejatinya, memang benar kalau kasus itu memiliki banyak versi. Entah itu dari para mantan pelayan kerajaan, bisik-bisik para penggosip, atau dari sang pembawa surat kabar. 

"Yang saya tahu, kasus itu dimulai dengan hilangnya seorang putri kerajaan di umurnya yang kesepuluh, ketika pangeran masih berada dalam kandungan. Seperti yang sudah umumnya kita ketahui, keturunan murni anggota kerajaan memiliki kekuatan dan bakat sihir yang sangat tinggi. Namun rakyat biasa seperti kita mana tahu sejauh mana kemampuan sihir yang disebut tinggi atau hampir sempurna itu? Menurut kesaksian mantan pelayan istana, putri dan pangeran memiliki kemampuan yang lebih dari yang anak seusia mereka bisa. Mereka mampu berbicara dengan hewan atau bahkan berkomunikasi dengan makhluk legenda. Mereka juga sangat cepat dalam mempelajari sihir. Kalau normalnya kita bisa menguasai empat elemen sihir dasar dalam waktu satu sampai dua bulan, anggota garis keturunan murni kerajaan bisa jadi hanya menguasainya dalam waktu seminggu saja."

"Sampai sini, apakah ada yang ditanyakan?" Rudolf menjeda penjelasannya dengan sebuah pertanyaan sambil menyesap teh hijaunya.

Annora mengangkat tangan. Gadis itu kemudian bertanya, "apakah benar kalau mereka memiliki kekuatan sihir manipulasi dan berubah wujud?"

Rudolf menghela napasnya ketika mendengar pertanyaan itu. "Sayang sekali, gosip yang beredar itu tidak pernah ada buktinya. Para mantan pelayan mengaku kalau mereka tidak pernah tahu ada sihir anggota kerajaan yang bisa melakukan hal tersebut. Jadi mari kita anggap saja tidak, meskipun kemungkinan kecilnya ada."

"Semacam rahasia bagi anggota kerajaan?" kali itu Gwen membuka mulutnya.

"Ya, kurang lebih seperti itu."

Mereka semua terdiam. Lantas Henry melayangkan pertanyaan yang berikutnya. "Lalu apa yang terjadi kalau mereka yang memiliki kemampuan sihir yang mumpuni dan tak bisa berubah wujud tiba-tiba menghilang begitu saja?"

"Kabarnya ada makhluk legenda yang hampir tidak pernah muncul ke permukaan dalam kurun waktu seribu tahun belakangan ini yang menculik mereka. Sebuah kekuatan yang sangat besar dan jahat. Tak ada yang pernah melihat rupanya. Monster itu mungkin juga sebuah perwujudan dari seseorang yang menganut sihir hitam dan bermeditasi ribuan tahun. Kami sempat mencari tahu tentang makhluk tersebut namun sepertinya masih terlalu dini untuk mengungkap kebenarannya. Pasalnya makhluk tersebut sangat mudah menghapuskan jejaknya. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana bentuk dan wujudnya."

"Tapi... kalian harus berhati-hati karena makhluk itu selalu muncul dalam kegelapan."

Annora dan Gwen bergidik ngeri, sementara Henry malah menunjukkan rasa ketertarikannya. 

"Kalau begitu, menemukan tuan putri dan pangeran yang sudah diculik oleh makhluk itu adalah hal yang mustahil dong?"

Rudolf menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan mengangguk tak yakin. "Bisa dibilang seperti itu. Namun saat ini semua rakyat sudah melakukan pengawasan ketat terhadap anak-anak agar tidak menghilang diculik makhluk tersebut. Jadi paling tidak, kita bisa mengurangi resiko bertambahnya korban sambil terus berusaha mencari ke mana perginya tuan putri dan pangeran."

Hening kembali melanda. Saat itu ketiga bocah tersebut begitu terlarut dengan pikiran mereka masing-masing. Annora sendiri mengalami perdebatan batin. Sebagian besar dirinya merasa ngeri karena ada kemungkinan bahwa dirinya juga bisa terculik dan menghilang di dimensi sihir. Bisa jadi ia tidak akan bisa bertemu keluarga dan teman-temannya lagi kalau hal itu terjadi. Sebagian dirinya lagi entah kenapa masih mempercayai teorinya sendiri. Bagaimana kalau semisal mereka tidak diculik tapi seakan-akan dibuat seperti diculik?

"Baiklah karena sudah tidak ada lagi pertanyaan dan kurasa informasi yang kuberikan sudah cukup untuk tugas esai kalian, aku akan mengantarkan kalian pulang. Akan berbahaya bagi anak-anak seusia kalian untuk muncul di malam hari seperti ini."

Mereka bertiga hanya mengangguk. Lagipula hari memang sudah malam, jadi mereka setuju-setuju saja di antarkan sampai persimpangan jalan antara akademi permukiman. Perjalanan mereka hanya memakan waktu kurang lebih lima belas menit saja. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul hampir setengah sepuluh malam. 

"Senang bertemu kalian anak-anak."

"Terima kasih atas bantuanmu, tuan Rudolf. Maaf apabila kami merepotkanmu."

Pria itu tertawa. "Kalian tidak merepotkan. Aku justru senang bila ada yang mendatangiku demi sebuah tugas. Semoga berhasil."

Annora meringis. Semoga kebohongannya ini tidak tersebar luas. Sementara itu Henry dan Gwen berusaha menahan tawanya. Setelah mengucap salam perpisahan, dengan cepat sosok ketiga bocah tersebut menghilang ke dalam hutan. 

Seperti yang sebelumnya mereka lakukan, Henry, Annora, dan Gwen berjalan menyusuri tembok luar akademi sihir di sisi hutan tersebut. Ketika hendak mencapai gerbang, ketiganya dikejutkan dengan eksistensi makhluk terbang yang refleks membuat jantung ketiga bocah itu terhenti sementara.

Makhluk itu besarnya hampir tiga kali besarnya anak seukuran mereka. Apalagi sayap yang membentar lebar dan gigi taring yang mengintip di sela-sela seringainya. Matanya semerah darah, menyala terang di langit malam yang gelap tanpa bintang. Ciri-cirinya persis seperti apa yang mereka pelajari dalam kelas teori mengenai makhluk-makhluk berbahaya. Monster bersayap itu berkeliaran di malam hari untuk memangsa hewan sampai manusia yang berada dalam jangkauan pandangan mereka.

Beruntung, mereka bertiga bersembunyi dibalik sebuah pohon besar yang kebetulan dapat menyembunyikan tubuh mereka yang kecil dari eksistensi makhluk itu. 

"Teman-teman, berusahalah untuk tidak menimbulkan suara," bisik Henry sepelan yang ia bisa.

Annora dan Gwen mengangguk patuh, sementara bocah laki-laki itu masih setia mengintip ke arah hewan malam pemangsa. 

"Dalam hitungan ketiga, kita akan berjalan mengendap-endap ke arah pagar lalu bersembunyi di sana sampai situasinya aman untuk memanjat masuk ke akademi. Aku yang memimpin jalan, lalu Gwen, dan yang terakhir Annora, mengerti?"

Lagi-lagi Annora dan Gwen mengangguk. Keduanya sama sekali tak bisa merespon dengan baik saking tegangnya. Keduanya bahkan sampai rela menahan napas agar tak terdengar oleh makhluk mengerikan itu. 

"Baiklah. satu... dua... tiga!"

Mereka berjingkat-jingkat ke balik pohon yang satu dengan pohon yang lainnya. Sesuai rencana, Henry berjalan terlebih dahulu, diikuti oleh Gwen, dan yang terakhir Annora.

"Di depan ada batu, tolong angkat kaki kalian sedikit agar tidak tersandung," bisik Henry pada Gwen yang langsung disalurkan oleh gadis itu pada Annora.

Posisi Annora kini tidak tertutupi oleh apapun. Dari tempatnya berdiri itu ia dapat melihat makhluk yang tiga kali lipat lebih besar darinya terbang bolak-balik di udara seolah hendak mencari mangsa. 

Saat terlalu fokus tersihir oleh visual mengerikan makhluk itu, Annora salah perhitungan. Gadis itu sudah mengangkat kakinya, namun karena jarak yang ia perkirakan salah, Annora tersungkur ke tanah hingga membuat suara gemerisik dedaunan kering yang menjadi alasnya.

Menyadari ada suara dan eksistensi makhluk selain dirinya, makhluk bersayap itu memekik kencang dan menukik ke arah mereka. 

"Lari!"

Annora dan Gwen spontan berteriak kencang. Kedua gadis itu merapal mantra namun gagal semua karena terlalu panik. Dalam waktu kurang dari lima detik, monster itu sudah menemukan keberadaan mereka sehingga kedua bocah perempuan itu terjatuh ke tanah saking takutnya. 

Monster bermata merah itu berteriak nyaring sekali lagi, kemudian dengan satu hentakan terbang ke arah Annora untuk menyantapnya. Gadis itu berusaha untuk berguling ke samping, paling tidak bisa membantunya untuk tidak terinjak kaki besar makhluk itu.

Namun sebelum makhluk pemangsa itu bisa menyentuhnya, sebuah tombak api melesat cepat dan telak mengenai sisi perut monster itu. Annora dapat menyaksikan secara langsung tubuh monster tersebut yang terbakar habis oleh api di hadapannya. Bahkan sisa api yang berkobar hampir saja membuat rambut peraknya gosong kalau ia tidak sigap membuat sihir pelindung.  Makhluk tersebut jatuh berdebum tepat di sebelah Annora dan Gwen, menyisakan hawa panas yang menyengat beserta debu yang bertebaran di sekitarnya.

Awalnya, Annora pikir yang menyelamatkan mereka adalah ibu kepala akademi mereka, Juliet Anderson. Tetapi, tak ada miss Juliet Anderson atau orang dewasa yang mahir sihir lainnya di sana. 

Saat gadis itu melihat sosok Henry yang biasanya mengacau dalam kelas malah berdiri tegak sambil mengacungkan tongkat sihirnya ke arah monster yang telah terbakar itu, Annora segera tahu kalau bocah itulah yang melakukannya. 

"Henry? Serius itu kau?"

.

.

.

Tbc

************************************
Published : 23 Juli 2022
Jumlah kata : 2794 kata

A/N :

Tolong ini kapan aku bisa nyentuh angka aman hiks

Happy reading!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top