Gadis Berambut Perak dan Seekor Kucing Hitam

"Mary!"

Annora, si gadis berambut perak bergelombang itu menuruni tangga rumahnya dengan tergesa-gesa sambil berteriak memanggil kucing hitam legam bermata biru cerah yang ia beri nama Mary. Langkah kakinya yang heboh menuruni tangga beserta suaranya yang terlampau keras di pagi hari itu berhasil menyita perhatian mamanya.

Tanpa menghiraukan mamanya yang kini sudah membuka mulut untuk menasehatinya, mata Annora berbinar binar ketika melihat kucing liar hitam yang setiap hari mengunjungi rumahnya itu. Mary mengeong, membalas sapaan Annora lantas melompat ke pelukan gadis itu. Tentu saja dengan senang hati Annora menangkap Mary dan segera membawa kucing tersebut ke dalam sebuah pelukan erat.

Berikutnya, ia berputar-putar sambil mengangkat Mary hingga tanpa sadar menubruk mamanya yang kini sudah berdiri menghalangi jalannya. Meski begitu, wanita anggun tersebut bukanlah tipe orang yang suka marah dengan cara berteriak keras maupun melakukan kekerasan fisik seperti memukul atau menjewer anaknya yang bandel. Ia tipe seorang ibu yang dengan sabar menasehati anaknya berulang kali dengan nada tegas dan mengintimidasi, meski ujungnya tidak terlalu berpengaruh juga.

"Annora, sudah berapa kali mama bilang untuk tidak bermain bersama kucing kotor itu?"

Gadis bermata biru cerah itu hanya melirik sesaat mamanya yang sudah memasang wajah masam, meski tak terlalu tampak seperti itu. Mamanya itu cantik, sayang sekali jarang tersenyum dan seringkali terlihat seperti tanpa ekspresi, sehingga kadang sulit membedakan apakah ia sedang marah, senang, atau sedih.

Annora mengendikkan bahunya sambil terus menggendong Mary dan mengelus kepala kucing itu berulang kali di depan mamanya tanpa rasa takut. Sebenarnya, Annora sangat ingin memeliharanya. Tapi apa boleh buat, keluarganya tidak mengizinkan. Apalagi mamanya. Tapi ia juga tidak tega untuk menelantarkan Mary yang selalu datang setiap hari untuk menemuinya.

Kucing itu memilihku sebagai majikannya, kenapa tidak boleh? begitu isi pikirannya saat itu.

Tak mau kalah, sang ibunda yang hendak memisahkan Annora dengan si kucing liar itu akhirnya memutuskan untuk memberi sebuah ancaman. Ia berkata bahwa ia tidak akan memberi jatah pada Annora untuk membeli es krim Golden Heaven--sebuah merk es krim terkenal yang merupakan favorit si gadis perak--yang sayangnya juga tidak didengarkan.

"Percuma, ia tetap tidak akan menurut," sahut Alana--kakak Annora--yang sedang menikmati gigitan terakhir sandwich isi keju dan ham, sebelum berangkat ke akademi yang sama dengan adiknya.

Annora menerbitkan senyumnya dan dalam hati ia menyahut, "ya, itu benar. Karena aku bisa beli sendiri."

Sambil menghindari mamanya, Annora dengan cepat mengambil kedua sepatu mahal keluaran terbaru yang baru dibelinya seminggu lalu dan berteriak, "aku berangkat!"

Gadis kecil itu lalu lari mengacir meninggalkan mamanya yang hanya bisa berkacak pinggang sambil menggelengkan kepalanya.

Gantungan kunci yang ia pasang di tas sekolahnya bergemerincing mengikuti tempo larinya. Ia masih menggendong Mary, sambil menggerutu mengapa keluarganya itu begitu membenci kucing. Padahal, Mary sangat imut. Matanya juga mirip dengannya. Annora terkadang merasa seakan ia sedang bercermin dengan dirinya versi kucing, ketika ia menatap mata Mary.

Toh juga Mary tidak menginap di dalam rumah. Kucing liar itu hanya datang setiap pagi dan sore, ketika Annora hendak berangkat sekolah dan ketika ia pulang untuk meminta jatah makan.

Sudah banyak hal yang ia korbankan demi bertemu dengan kucing imut yang selalu dianggap sebagai pembawa petaka itu. Mulai dari gaun merah muda edisi terbatas kesayangannya yang disita, tidak mendapatkan jatah bermain di akhir pekan bersama sahabatnya Layla, juga buku dongeng favoritnya yang entah disembunyikan di mana.

Tapi yang namanya Annora, semakin dilarang, semakin menjadilah dia. Sampai-sampai ibunda dan saudari perempuannya yang lebih tua dua tahun itu pun sering kali naik darah dengan kelakuannya. Kecuali papa. Yah... mungkin saja tingkahnya yang seperti itu ia dapatkan dari sang papa.

.
.
.

Setelah memberi makan pada Mary di persimpangan jalan dekat halte bus tempatnya menunggu, Annora dengan segera menyampaikan salam perpisahan. Dengan raut sedih, ia sedikit enggan meninggalkan Mary di sana, karena bus yang akan mengantarnya menuju akademi tempatnya menempa ilmu itu sudah mulai tampak di ujung jalan.

"Nah, Mary yang pintar dan cantik, aku akan berangkat ke akademi. Kau tahu arah kembali 'kan? Nanti sore kita akan bertemu lagi dan kau akan kuberi makan enak! Tunggu aku ya!"

Miaw!

Seolah telah menjawab omongan gadis berambut perak itu, Annora tersenyum puas lalu melambaikan tangannya berkali kali pada Mary. Bertepatan dengan itu, bus akademi telah berhenti tepat di depan halte dan mengangkut beberapa siswa di sana, termasuk dirinya.

Bus itu sudah ramai ketika ia masuk, berisikan siswa perumahan sebelah yang lebih dahulu dijemput sehingga hanya menyisakan beberapa kursi kosong di bagian belakang. Ia lalu duduk di baris kedua dari belakang, dekat jendela sebagai kursi langganannya yang tak pernah berubah. Ia kemudian mengeluarkan sekotak susu stroberi dan buku dongeng yang ia bawa dalam tasnya, kemudian membuka halaman yang terakhir ia baca untuk dilanjutkan.

"Wah... kau masih membaca buku dongeng yang berbeda setiap harinya, padahal beberapa koleksimu sudah disita?" tanya Layla sambil mendudukkan dirinya tepat di sebelah Annora, seperti biasanya.

"Ya begitulah. Mereka tidak tahu kalau aku punya tempat rahasia juga, untuk menyembunyikan sisanya," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali dari buku yang dibaca.

Layla yang penasaran ikut mengintip cover dari buku dongeng yang dibaca oleh sahabatnya itu dalam setiap perjalanan dari rumah tinggal mereka menuju akademi dengan sebuah bus khusus yang mengantar jemput siswa siswi di daerah elite tersebut.

"Peter Pan?" tebaknya sambil memicing.

Annora mengangguk. Ia kemudian menghabiskan susu rasa stroberinya dalam sekali seruput dan merasakan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya. Dengan semangat, Annora mulai bercerita tentang keinginannya menjadi salah satu tokoh di sana pada sahabatnya yang tampaknya sudah tak terlalu percaya lagi dengan dongeng, seusai berulang tahun yang kedua belas.

"Aku ingin jadi Wendy. Bayangkan saja dirinya yang bisa berpetualang di Neverland sepuasnya, merasakan bagaimana tubuhnya terasa seringan kapas lalu terbang di angkasa, bertemu banyak peri, bertemu dengan Peter Pan yang tampan--"

"Dan itu semua tidak nyata," sahut Layla, memotong kalimatnya.

Annora tersenyum hingga matanya menyipit. "Tidak ada yang tahu juga itu nyata atau tidak."

Kini giliran Layla yang tertawa kecil. Ia lalu menepuk-nepuk pundak gadis pecinta dongeng itu. "Tidak masalah, hanya saja pekan depan umurmu sudah dua belas tahun. Aku rasa... keajaiban yang kau bayangkan seperti dalam dongeng itu tidak akan terjadi."

"Kalau tiba-tiba terjadi bagaimana? Kalau tiba-tiba aku pergi ke Neverland sambil membawa Mary di ulang tahunku yang kedua belas, bagaimana?" sanggahnya.

"Jangan ngaco," sahutnya lagi sambil menepuk dahinya pelan. Hal seperti itu bukan lagi memiliki kemungkinan kecil untuk terjadi bagi Layla, tapi sangat mustahil!

"Tapi sebagai gantinya, kita akan menyiapkan kejutan besar untukmu." Layla buru-buru berucap seperti itu sebelum Annora hendak mendebatnya lagi sambil mengerling.

Alih-alih berbinar, gadis berambut perak itu malah memicingkan matanya. "Apa yang kalian rencanakan?"

Belum sempat Layla menanggapi, bus yang mereka tumpangi telah sampai di halte akademi, sehingga suara ricuh beberapa siswa yang hendak turun langsung menyita atensi keduanya.

Annora buru-buru membereskan buku dongengnya. ia masukkan ke dalam tas berwarna pink favoritnya dan menyampirkannya di pundak. Juga tidak lupa dengan sampah kotak susu stroberinya.

Tanpa ada percakapan lagi, mereka segera bergegas memasuki kelas di lantai tiga gedung utara, khusus untuk siswa sekolah dasar yang bersekolah di akademi tersebut. Tak lama, bunyi bel serta Ms. Laura memasuki kelas. Seluruh siswa yang ada dalam kelas tersebut memberi salam hormat, melantunkan nyanyian serta doa, kemudian melakukan aktivitas setiap paginya selama tiga puluh menit, yaitu mendengarkan ceramah tentang adab dan keagamaan.

Annora sudah berusaha untuk duduk anteng selama ceramah berlangsung. Nyatanya, waktu tiga puluh menit itu terlalu lama baginya untuk duduk diam di barisan paling belakang kelas sambil mendengarkan suara Ms. Laura yang kali ini menceramahkan tentang kedisiplinan.

Akhirnya, untuk mengusir rasa bosannya dan mengusap matanya yang berair akibat terlalu sering menguap, Annora mengeluarkan sebungkus cokelat dari bagian depan tasnya dan memakannya diam-diam.

Kaki Layla dengan sengaja menyenggol kaki Annora. Gadis itu melotot, berusaha memperingati sahabatnya yang tidak pernah kapok kena tegur akibat melanggar peraturan kelas.

"Annora, mengapa kau masih membawa makanan ringan ke dalam kelas dan memakannya?" bisik Layla tak habis pikir.

Selama hampir enam tahun lamanya menjadi teman dari salah satu anak donatur terbesar di akademinya, seorang Annora, masih saja tidak berubah. Sebagai siswa paling teladan sekaligus teman dekatnya, berulang kali ia sudah memberi tahu. Tapi tetap saja, usahanya itu tidak memberi pengaruh yang berarti pada gadis perak itu. Meski begitu, ia sendiri heran mengapa ia sendiri bisa akrab dengannya. Padahal pola pikir keduanya sangat berbeda, meski keduanya sama-sama cerdas dalam bidang akademik.

Annora menelengkan kepalanya seraya balas berbisik, "aku ngantuk dan hanya ini salah satu cara yang ampuh untuk membuatku tetap terjaga."

Sesaat kemudian, sang guru menilai ada yang salah dengan gadis itu, sehingga ia berhenti sejenak sambil memicing ke arahnya. Dengan gesit, Annora menyembunyikan bungkus cokelat yang dimakannya di bawah roknya kemudian melipat kedua tangannya di atas meja sambil berpura-pura mendengarkan.

Sudah bukan rahasia umum kalau para guru di sana mencurigai dirinya sedang ribut sendiri atau mungkin tidak mendengarkan penjelasan. Seringkali pula ia dipanggil untuk maju ke depan guna mengerjakan soal, untuk menilai apakah ia mendengarkan atau tidak.

Hasilnya?

Memang agak mencengangkan. Tapi ini salah satu kelebihan yang membuat gadis perak itu sedikit bangga dan menyombongkan senyumnya.

Ia selalu bisa menjawab dengan benar, meski tidak terlalu fokus untuk mendengarkan di kelas. Baginya, belajar seorang diri dalam suasana hening yang menyenangkan adalah di mana ia bisa menghapal dan belajar banyak hal dari buku-buku yang ia baca. Singkatnya, ia telah membaca materi yang diajarkan oleh gurunya beberapa saat lebih dahulu sebelum memasuki kelas, guna berjaga-jaga kalau ia dicurigai tidak memperhatikan kelas.

Kalau ceramah, entah nasib mujur atau bakat terpendam, Annora bukannya tidak seratus persen tidak mendengarkan. Itu sebabnya, ketika ditanya atau disuruh mengulangi kalimat apa yang baru saja diucapkan penceramah, ia tetap bisa menjawabnya dengan tenang.

Annora bisa mendengarkan sesuatu sambil melakukan kegiatan lainnya, alih-alih hanya duduk diam sambil memperhatikan gurunya berceloteh. Menurutnya, itu sangat membosankan. Mungkin ia bisa duduk diam berjam-jam tanpa memedulikan pantatnya yang pegal saat membaca buku dongeng, tapi tidak untuk yang lain.

Tanpa diduga, Ms. Laura melanjutkan ceramahnya dan memutus pandangannya dari Annora yang kini menaikkan sebelah alisnya heran.

Tidak seperti biasanya, begitu pikirnya.

Seakan tidak pernah kapok, kali ini si rambut perak itu mengeluarkan sebungkus makanan ringan berisi keripik kentang dan memakannya dengan santai tanpa rasa bersalah. Layla yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Sungguh, ia tidak paham dengan sikap santai teman baiknya yang menurutnya agak kelewatan itu. Tapi Annora adalah Annora. Si rambut perak pecinta dongeng yang cerdas itu, tidak pernah mau diatur dan terkadang berbuat sesuka yang dia mau, asalkan menurutnya tidak merugikan orang lain. Gadis itu juga penuh dengan semangat, tidak bisa diam, juga terkadang sedikit aneh.

Selain itu, ada kepribadian Annora sangat bertolak belakang dengannya. Gadis itu begitu periang dan menyenangkan. Itu sebabnya meski kadang terkesan agak nakal sebagai anak dari salah satu donatur terbesar di akademi yang seharusnya bisa menjaga image keluarganya, siswa siswi seangkatan tidak ada yang pernah berani untuk memberi berita jelek tentangnya.

Kepribadian yang hangat itu, meluluhkan semuanya. Kecerdasannya juga menaklukan para guru yang mengajar di sana. Sehingga, seberapapun perasaan kesal para guru yang merasa kurang diperhatikan kepadanya, mereka tidak mampu memberi hukuman pada anak unik itu.

Annora menyodorkan sebungkus keripik kentang pada Layla hingga ia tersadar dari lamunannya. Gadis kucir dua itu menggeleng panik dan bereaksi agak berlebihan, sehingga menyedot perhatian wanita yang tengah berceramah di depan kelas. Begitu pandangan mereka bertemu, gadis itu hanya bisa meringis malu.

"Layla, coba kamu ulangi kalimat apa yang baru saja miss katakan?"

Jantung Layla seakan berhenti memompa darahnya untuk sesaat. Ia merutuk dalam hati. Biasanya pertanyaan macam itu dilontarkan pada Annora, tapi kali ini tidak.

Layla sama sekali tidak siap dan tidak mengira kalau ialah yang dipanggil. Meski ia terhitung lebih pintar dari Annora, dalam keadaan seperti ini, ia tidak bisa. Ia tipe anak yang hanya bisa berkonsentrasi terhadap satu hal saja. Begitu disibukkan dengan aktivitas lain, fokusnya untuk mendengarkan ceramah buyar saat itu juga.

Rasanya, ia ingin segera bertukar tubuh dengan Annora yang kini masih sempat mengunyah keripik dalam mulutnya sepelan mungkin.

"Miss sangat berharap kamu sebagai siswa teladan bisa memberi pengaruh baik untuk Annora, bukan malah terpengaruh dan mengobrol bersama."

Layla menunduk malu. Ia memang siswa teladan peringkat satu yang dikenal rajin dan disiplin. Tapi pagi itu, ia rasa ia akan menjadi topik pembicaraan hangat selama seminggu penuh karena ulahnya sendiri.

.

.

.

Tbc


************************************
Published : 1 Juli 2022

Jumlah kata : 2014 kata

A/N

waaah... aku rasa cerita ini bakal lambat bgt alurnya. tapi okelah. ini juga kayaknya aku pertama kali bikin cerita tanpa prolog. gatau esensinya apa aku kasih info semacam ini, tapi ya gitu deh

keknya juga agak membosankan ga sih WKWK

Aku ngerasa semakin ke sini semakin ke sana nulisnya. Sembarangan banget 😀🤌

dahlah, pokoknya bisa mengamankan posisi di luar bottom 5 udah cukup buat sementara ini.

Btw aku baru aja selesai baca Penance, bukunya Minato Kanae dan berujung sangat memengaruhi moodku siang ini. Bukunya gelap dan aku mesti nulis terang--takut kebawa vibes suramnya. Makannya baru sempet nulis agak maleman karena sebenernya rencana awal mau start nulis besok. Tapi karna liat yang lain dah pada updet, akhirnya bangkitlah tubuh ini menghadap leppy //lah curhat

Oke daripada makin ngelantur, kita sudahi saja author note pertama ini.

Selamat membaca dan sampai jumpa di chapter selanjutnya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top