3


Hujan belum juga reda, masih menyisakan rintik yang terus berbunyi merdu di telinga Putra. Ia baru saja mendapat telepon dari mamanya dan berkabar jika kakaknya baru saja melahirkan anak kedua, ada rasa syukur juga rasa sedih yang saling berkejaran, hujan di malam hari sering membuat Putra sulit tidur, kenangan kematian papanya sering membuatnya tidak bisa memejamkan mata, serangan jantung, padahal beberapa jam sebelumnya sempat berbicara padanya, tiba-tiba saja mengeluh sakit, memegang dadanya dan terkulai di pangkuan mamanya.

Kenangan itu terus terbawa sampai ia dewasa, dan hujan seolah menambah alunan sendu hingga ia tak bisa memejamkan mata. Putra melangkahkan kakinya keluar dari kamar menuju ruang keluarga lalu berbelok ke sudut, ke arah bar mini meraih minuman yang ada di sana, belum sempat ia menuangkan apapun, dari arah kamar kakaknya yang ditempati Atikah terdengar erangan bercampur tangisan. Putra bergegas ke arah kamar Atikah, membuka perlahan dan ia melihat Atikah meringkuk, duduk menekuk lututnya di atas kasur dan memeluk lututnya dengan badan bergetar.

"Atikah?"

"Jangaaan, jangaaan, jangan sakiti aku lagiiii."

Teriakan Atikah membuat Putra mundur. Ia setengah berlari ke arah kamar Bi Minah dan Bi Siti membangunkan mereka agar segera ke kamar Atikah.

Kedua pembantu paruh baya itu melangkah agak cepat menuju kamar depan dan segera masuk lalu memeluk Atikah yang ketakutan, Bi Minah yang lebih dekat pada Atikah langsung meraih gadis belia itu merengkuh lalu mengusap punggungnya perlahan.

"Nooon, Non Tika aman di sini, nggak ada orang jahat, yang ada hanya kami di sini."

Putra menyodorkan air pada Bi Minah agar diminumkan pada Atikah.

"Ini Bi air hangat, biar rada lega dia, pasti dia dah lama ketakutan."

Satu jam kemudian Putra melihat Bi Siti dan Bi Minah keluar dari kamar Atikah.

"Tuan, biar Non Atikah di kamar belakang saja, kasihan dia, jauh dari jangkauan yang lain, kalo ada kayak tadi biar gampang Tuan, kasihan dia, kayaknya ingat pas digituin."

"Iya betul dari wajahnya, ketakutannya juga teriakannya kayaknya dia masih saja ingat, padahal kan setahun lewat, untung dia nggak hamil Bi."

"Iya betul Tuan."

"Terserah Bibi enaknya gimana, mau di kamar depan apa belakang, yang penting anak itu tenang, tadi mama sebenarnya kaget Bi waktu aku cerita kalo ada Atikah di sini, kata mama sih agar aku hati-hati bawa orang ke rumah lah mau hati-hati gimana ini malah bukannya harus hati-hati dan waspada ke dia yang ada kita harus ngerawat dia hahaha gak nyalahkan mama sih maksud mama baik agar aku hati-hati tapi setelah aku cerita ke mama kalo Bi Minah pernah kerja di rumah orang tua Atikah mama jadi tenang, dan aku ceritain semua ke mama gimana Atikah ya akhirnya mama ngijinin Atikah tinggal di sini Bi."

Bi Minah hanya mengangguk, karena terus terang Bi Minah hanya pernah bertemu satu kali dengan majikannya sebelum berangkat ke Jepang. Berbeda dengan Bi Siti yang sudah puluhan tahun ikut orang tua putra.

"Kalo saya yakin mama Tuan Putra pasti ngijinkan, Non Tika ini cobaannya berat Tuan, kalo hanya tinggal di sini nggak akan ganggu, kok saya yakin juga peninggalan orang tuanya pasti banyak hanya dikuasai mama tirinya." Bi Siti menambahkan.

"Yo pasti Mbak Yu, wong papanya Non Tika ini kaya, dia pasti punya bagian tapi gimana caranya wong rumah dan isinya dikuasai Bu Julia." Bi Minah yang tau bagaimana kondisi rumah Atikah semakin menguatkan pendapat Bi Siti.

"Ya sudah itu pikir nanti, Bibi istirahat lagi aja."

"Biar saya nungguin Non Tika, Tuan."

"Nggak usah Bi, sudah tidur saja, biar saya di sofa sini, setelah subuh kalo dia bangun baru pindahan lagi ke kamar belakang."

"Baik Tuan."

.
.
.

Ya ada apa?

...

Suru tunggu aku

...

Putra meletakkan ponselnya, ternyata betul perkiraannya bahwa Angkasa pasti akan datang lagi ke rumah makan miliknya. Rencana ingin menuju perusahaannya yang lain terpaksa ia urungkan demi sebuah kejelasan yang ingin ia ketahui.

Setengah jam kemudian Putra sampai di restoran yang ia kelola selama tiga tahun ini setelah mamanya memutuskan beristirahat dari semua kegiatan bisnisnya. Ia melangkah masuk dan bagian keamanan memberi tahu jika tamunya telah menunggu di depan ruang kerja Putra.

Dari jauh Putra melihat laki-laki itu bangkit dari duduknya menatap dengan penuh harap padanya.

"Mari silakan masuk ke ruangan saya, karena pembicaraan kita nanti yang tak layak didengar orang banyak."

Angkasa tak menyahut ia hanya mengekor di belakang Putra dan duduk di sofa menunggu Putra meletakkan tas yang ia bawa tadi.

"Jadi apa keperluan Anda? Setelah kemarin membuat keonaran di tempat ini?"

Putra menatap wajah Angkasa yang terlihat gugup. Betul apa kata Bi Minah, rasanya tak mungkin orang dengan wajah sabar dan terlihat canggung mampu melakukan hal kotor pada Atikah, tapi jaman seperti ini, semua serba tipu-tipu apa saja bisa terjadi di luar dugaan.

"Saya minta maaf, dan saya mencari adik saya, kemarin itu adik saya yang sudah lama saya cari tapi dia sepertinya lupa."

"Adik? Rasanya tidak mungkin seorang adik lupa pada Kakaknya, atau mungkin Anda yang keliru."

"Tidak, saya tidak akan keliru, dia Atikah, adik saya."

"Tapi saya tanya padanya, dia katakan Anda bukan apa-apanya."

"Tak mungkin dia bilang begitu."

Angkasa menggeleng dengan wajah cemas dan semakin terlihat sedih.

"Bantu saya, kembalian dia pada saya."

"Dia merasa lebih aman di tempat saya, dia tak ingin bertemu siapapun, itu yang dia katakan pada saya."

"Tak mungkin."

"Anda ini bagaimana, dia punya mulut makanya dia bilang seperti itu pada saya."

"Anda orang asing baginya, tak mungkin ia merasa aman bersama Anda."

Putra memajukan badannya. Menatap tajam wajah Angkasa yang semakin gugup.

"Apa Anda merasa telah membuat dia aman sehingga kemarin dia sampai histeris melihat Anda?"

"Dia salah duga, dia salah menilai saya, akan saya jelaskan semuanya jika bukan saya yang salah."

Putra terkekeh. Ia tersenyum mengejek.

"Anda merasa sebagai kakaknya tapi anda tak bisa membuatnya nyaman, lalu Anda menimpakan pada yang lain kesalahan Anda."

"Lebih baik Anda tidak berkomentar karena Anda tak tahu kisah sebenarnya di keluarga saya."

"Lalu saya harus bagaimana?"

"Serahkan Atikah pada saya, dia adik saya, dia akan lebih nyaman tinggal bersama keluarganya."

"Atikah merasa aman bersama saya karena meski saya orang baru tak akan mencelakakannya."

"Apa yang dia ceritakan pada Anda?"

"Anda telah memperkosanya, menyiksanya semalaman hingga trauma dan tadi malam menangis histeris saat hujan akan reda! Apa itu yang Anda katakan Atikah akan aman bersama Anda?"

💖💖

4 Agustus 2021 (17.29)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top