Bagian 5
Tidak terasa, sudah terhitung delapan hari Timmy duduk di bangku SMA. Semua berjalan normal, kecuali satu hal.
Beberapa menit yang lalu, jam pelajaran olahraga baru saja usai. Timmy puas dapat bermain bola kaki bersama teman laki-laki lainnya. Guru olahraganya pun senang melihat gadis hiperaktif seperti Timmy.
Saat ini, gadis itu sedang mengganti pakaian di toilet bersama teman perempuan kelasnya. Mereka tampak kompak, apalagi saat membicarakan video yang sedang trending di YouTube beberapa hari terakhir ini.
Timmy yang sedang mengganti pakaian di sudut toilet pun tidak mampu berkutik.
Ini kelemahannya.
Timmy mudah bergaul dengan laki-laki, tapi sukar bergaul dengan perempuan. Padahal dia sendiri perempuan.
Tak butuh waktu lama, Timmy sudah selesai mengganti pakaiannya. Para betina yang lainnya masih sibuk bersolek sambil mengobrol ria.
Timmy berdiri, memerhatikan mereka satu-persatu. Ia akan menunggu para betina itu, untuk masuk ke kelas bersama. Namun, tiba-tiba saja ia kebelet buang air kecil.
Sambil menunggu mereka, Timmy akan menuntaskan urusannya di bilik wc lebih dulu.
Lima menit kemudian, Timmy keluar dari bilik wc dengan perasaan lega.
Manik matanya menatap sekeliling. Kosong. Para betina itu sudah pergi.
Dia ... ditinggal.
***
Saat pulang sekolah, Timmy jalan beriringan dengan teman laki-laki kelasnya. Mereka mengobrol sembari diselingi dengan candaan yang tidak terlalu garing.
Hingga akhirnya mereka tiba di parkiran. Sepeda listrik milik Timmy, diapit oleh motor sport milik Sean dan Diga.
Gadis itu meletakkan ranselnya di keranjang depan. Namun, sebuah gulungan kertas berpita merah, mencuri perhatian Timmy. Ia merasa tak asing.
Sean dan Diga sibuk menghidupkan mesin motor mereka. Timmy yang dilanda penasaran pun dengan cepat membuka gulungan kertas itu.
Hai, Titik. Masih ingat denganku?
Aku si Tanda Seru. Aku membenci Huruf. Parasnya indah dan elok. Orang-orang menyukainya. Tapi, aku membencinya!
Bisakah kau membantuku untuk menyeret Huruf itu ke hadapanku?
Kening Timmy bertaut. Sudah dua kali ia berjumpa dengan gulungan kertas seperti ini. Dan isinya, tidak jauh-jauh dari materi pembahasan Bahasa Indonesia. Apa orang itu tidak tahu, jika Timmy tidak pintar?
"Woi, Tiga! Ngelamun mulu. Pulang woi!" suara bariton khas Diga membuyarkan lamunannya. Timmy langsung memasukkan kertas itu ke saku roknya.
Gadis itu memakai helm-nya, dan segera menghidupkan mesin sepeda listriknya. Mereka bertiga pulang beriringan lagi.
***
Sesampainya di rumah, tepat di teras rumah Timmy, Rea - Bundanya, Anna - Mama Sean, dan Kaira - Mama Diga, sudah duduk santai sambil mengobrol. Ketiga Ibu-ibu itu memang tidak kenal waktu jika sudah berkumpul.
Timmy memarkirkan sepeda listriknya di garasi. Gadis itu berlari ke rumah Sean. Selagi Bundanya sibuk merumpi, Timmy juga tidak akan menyia-nyiakan waktu begitu saja.
"Satu, jangan masuk dulu..." ucapnya pada Sean. "Dua!!!" Gadis itu juga memanggil Diga. Padahal lelaki itu baru saja hendak masuk ke rumah.
"Main yuk!!" ajaknya.
***
"Nama-nama hewan, ABC lima dasar!" ucap Timmy. Gadis itu meletakkan tiga jarinya di atas lantai. Sean kali ini juga ikut bermain, ia meletakkan lima jari kirinya. Sementara Diga, meletakkan sepuluh jarinya.
Ya, kali ini mereka sedang memainkan permainan tradisional, 'ABC lima dasar'. Di zaman milenial seperti ini, permainan tradisional seperti itu sudah jarang dimainkan, apalagi oleh remaja. Timmy, Sean dan Diga lumayan sering memainkannya.
Masih mengenakan seragam sekolah, ketiga remaja itu duduk bersila di lantai teras rumah Sean. Tak jauh dari mereka, tersedia sesendok cream kue.
"A-B-C ... D-E-F-G-H ... I-J-K-L-M-N-O-P-Q-R!" Timmy berhenti menghitung. "R! Nama hewan dari R!"
"Rusa," jawab Sean, cepat.
"R ... Rubah!!!" jawab Timmy pula.
Kini giliran Diga. Keduanya menatap lelaki itu, menunggu jawaban. Sementara Diga, tampak berpikir keras.
"R? Hmm ... raksasa?" jawab Diga, polos.
Timmy dan Sean kompak tertawa. Diga memang lemah jika disuruh berpikir, sama seperti Timmy. Dan permainan ini, berguna untuk mengasah pikiran mereka.
Masih dalam keadaan tertawa, Timmy meraih gelas plastik berisi sesendok cream, lantas menyodorkannya pada Sean. Lelaki itu mencolek cream itu dengan telunjuknya.
"Tunggu! Kenapa harus cream sih? Muka gue bisa jerawatan ntar!" elak Diga.
"Kan ada masker lumpur Dinda," jawab Timmy enteng.
Diga mengumpat di dalam hati. Timmy dan cream itu benar-benar sialan!
Sean sudah mengolesi wajah Diga dengan sekali olesan cream di pipi kirinya. Kini, giliran Timmy. Gadis itu sibuk mencolek semua jarinya dengan cream.
"Woi setan! Mau ngapain lo?!" tanya Diga, wanti-wanti.
Timmy tidak menjawab. Seluruh jarinya sudah dipenuhi dengan cream. Gadis itu mendekatkan jarinya ke wajah Diga. Dengan capat, lelaki itu menepisnya.
"Ingat ya! Cuma satu colekan!" ucap Diga memperingati.
"Lebih juga gapapa," jawab Timmy santai. Ia kembali mendekatkan jari-jarinya. Diga meneguk salivanya susah payah.
"L-lo ngerti satu colekan gak sih? Itu kenapa semua jari lo ada creamnya?!"
Timmy terkekeh. "Satu colekan, dengan sepuluh jari."
"SINTING!"
Belum sempat Diga melarikan diri, Timmy sudah lebih dulu menginjak punggung kaki lelaki itu, dan mengoleskan cream itu ke wajahnya.
Timmy tertawa puas, begitu pula Sean. Wajah Diga benar-benar tampak buruk. Lelaki itu menatapnya dengan tatapan datar. Tangan kirinya mengusap cream itu dengan kasar menggunakan tisu. Timmy memang suka melihatnya menderita.
"Gak ada akhlak!" desis Diga pelan.
Timmy berhenti tertawa. Gadis itu merogoh saku roknya. Akibatnya, noda bekas cream itu menempel di sekitar sana. Jika Bundanya tahu, habislah dia.
"Untuk Satu." Gadis itu memberikan sebuah gulungan kertas pada Sean. Itu adalah gulungan kertas yang ia temukan di keranjang sepeda listriknya tadi.
Sean menerima, lantas membacanya.
Beberapa detik selesai membaca, kening lelaki itu mengernyit. "Maksudnya?"
Meski masih terlihat kesal, Diga tetap saja penasaran. Lelaki itu berusaha mengintip kertas yang dibaca oleh Sean.
"Heh, Dua! Gak usah ngintip!" sahut Timmy.
"Kenapa?" Diga menatapnya penuh tanya. Wajahnya kini tidak separah yang tadi. "Si Sean dikasih surat, kok gue enggak? Oh, jangan-jangan ... Itu surat cin-"
Timmy dengan cepat memotong ucapan Diga. Cerewet sekali dia! "Itu surat khusus tau! Cuma orang-orang jenius yang paham maksudnya. Lo mana ngerti, soalnya lo kan bego."
"Gak sadar diri!" ketus lelaki itu.
"Diga!"
Panggilan dari seseorang itu mampu membuat ketiganya menoleh ke belakang. Tepat di halaman rumah Diga, Abdi - Papanya sudah berdiri sambil berkacak pinggang.
"Panggilin Mama kamu sana!" ucap Abdi. Kaira yang tadinya sedang tertawa pelan dengan kedua sahabatnya, kini tersentak, saat Anna menyenggol lengannya. Wanita itu menoleh, dan mendapati suaminya yang ternyata sudah pulang kerja.
Sedetik kemudian, Kaira bangkit dan menepuk jidatnya. "Gue lupa matiin kompor!"
***
TBC!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top