Bagian 49
Pukul setengah satu malam, akhirnya Elga tiba di rumahnya. Lelaki itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas yang kini tampak remuk. Elga menatap kertas itu lamat-lamat. Terdapat tiga buah kertas koran yang berisi berita penting di sana.
Terjadi sebuah kecelakaan besar di gedung perusahaan Amanta's group. Dua pria ditemukan tewas secara bersamaan. Salah satu diantaranya, Revan Pramudya, selaku karyawan perusahaan, ditemukan tewas dalam keadaan tubuh yang hancur luluh dikarenakan jatuh dari ketinggian lantai empat. Sedangakan seorang lainnya merupakan pria asing yang tewas karena mendapat tembakan di bagian dada sebelah kiri. Satya Amanta selaku pemilik perusahaan ditahan oleh pihak polisi karena diduga menjadi dalang atas pembunuhan itu.
Elga lantas beralih pada potongan kertas koran yang kedua.
Sebuah fakta terungkap! Pria asing bernama lengkap Tirta Alano ternyata mengincar aset perusahaan milik Satya Amanta yang saat itu dikelola oleh rekan sekaligus sahabatnya, Revan Pramudya. Tak hanya itu, bahkan saat peristiwa itu berlangsung pun, putri kandung Revan Pramudya turut hadir dan menyaksikan langsung kejadian memilukan itu. Gadis berusia kisaran sepuluh tahun itu bernama lengkap Zafana Zarea Aisyah.
Isi berita itu memang tidak terlalu panjang, tapi Elga enggan melanjutkan bacaannya. Ia beralih pada potongan kertas koran yang ketiga. Oh, ternyata kertas ketiga itu bukanlah koran, melainkan kertas biasa yang berisi tulisan tangan seseorang. Tulisan yang dibubuhkan di atasnya tampak sedikit memudar. Jelas sekali bahwa tulisan itu dibuat bertahun-tahun yang lalu.
Dear Kakak kelasku, Harrel Abian.
Dari Adik kelasmu, Sesilia Agatha.
Bravo!!!
Elga tersenyum sangat puas. Tugasnya sudah selesai, dan ia yakin, Harrel pasti bangga padanya! Elga merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Si gadis siluman yang bodoh dan berpura-pura polos itu ternyata ada gunanya juga. Dulu, Elga memang sempat naik ke lantai tiga guna mencari bukti, namun ia sama sekali tak menemukan apapun. Dan barusan dia juga melakukan hal yang sama, dengan gadis itu. Dan ya, dia berhasil!
Baginya, Harrel adalah tipikal pria yang cuek, dan sangat cuek. Tapi, tunggu. Jika Elga ingin membuat pria itu terkagum-kagum padanya, mungkin ada baiknya dia memberikan sesuatu yang tak terduga-duga untuknya.
Senyum Elga kembali mengembang. Ya ... ya ... Sekarang, dia akan menjalankan misi di luar tugas. Yaitu mengungkap misteri kematian Sesilia Agatha!
***
Di ruangan kamar lainnya, pria berwajah tampan itu belum juga memejamkan matanya. Yang dilakukannya sedari tadi adalah menatap pemandangan luar dari jendela kamarnya yang sengaja dibuka lebar-lebar. Beberapa menit lalu, ia bahkan sempat melihat Elga yang baru saja pulang entah darimana. Harrel tak peduli.
Pandangannya beralih menatap langit-langit hitam berbintang. Ia dapat melihat dengan jelas, tiga bintang yang berkelip terang di atas sana. Itu pasti jelmaan orang-orang yang dia sayang. Harrel tak mampu tersenyum. Entahlah, akhir-akhir ini dia selalu teringat dengan sosok itu.
Sosok adik kelasnya yang telah tiada. Sesilia Agatha...
Harrel mengembuskan napas berat. Matanya belum juga mengantuk. Sementara pikirannya, kini berkelana ke masa lalu. Masa dimana ia dan gadis itu bertemu pertama kali.
Di koridor SMA Purnama, Harrel berjalan melintasi kelas sebelas, berniat hendak turun ke lantai bawah. Tepat di tangga keluar-masuk, seseorang malah menabraknya. Sebuah buku kecil yang ia pegang, kini terjatuh ke tangga bawah. Tanpa Harrel sadari, ternyata orang yang menabraknya tadi adalah seorang perempuan.
Gadis itu seolah mengerti dengan tatapan Harrel yang mengarah ke bawah tangga. Ia pun menuruni tangga guna mengambil benda itu. Lima menit kemudian, gadis itu kembali naik ke atas, lantas bersuara sembari menyodorkan tangan kanannya, "Hallo Kak. Kenalin namaku Sesilia Agatha, bisa dipanggil Sesil, kelas 11 IPS 1. Bentar. Aku tebak, nama kakak pasti Harrel Abian? Dari kelas 12 IPS 1 kan? Ah, salam kenal, Kak."
Harrel tak membalas uluran tangan gadis yang bernama lengkap Sesilia Agatha itu. Ia jelas tak asing dengan gadis itu, sebab Sesil kerap tampil di acara-acara sekolah. Maklum, Sesilia Agatha ini termasuk anggota OSIS. Namun Harrel tak peduli akan hal itu. Manik matanya menatap buku miliknya yang sedari tadi masih senantiasa digenggam oleh gadis itu.
Seolah peka, Sesilia kembali bersuara, "Oh. Ini buku Kak Bian ya? Tadi Sesil gak sengaja liat halaman pertama, dan Sesil langsung tertarik sama teka-tekinya. Kak Bian udah nemuin jawabannya gak?"
Sekali lagi, tanpa membalas ucapan gadis itu, Harrel merampas buku itu lantas menuruni tangga. Apa tadi? Gadis itu memanggilnya dengan sebutan Bian? Tak ada yang memanggilnya dengan sebutan itu kecuali keluarganya.
"Kak Bian, tunggu!" ucap gadis itu, sembari menuruni tangga, menyusul langkahnya. "Sesil bisa bantuin Kak Bian untuk mengungkap misteri teka-teki itu. Tapi ada syaratnya."
Harrel menghentikan langkahnya. Buku digenggamannya ini memang bukan miliknya. Namun sejak dulu, dia ingin sekali memecah permasalahan di balik makna dari tulisan di dalam buku itu.
"Apa?" balasnya akhirnya.
Sesilia tersenyum sumringah. Gadis itu benar-benar tampak ceria. "Syaratnya, kita harus pacaran," jawab gadis itu tanpa beban.
Harrel membulatkan matanya tak santai. Sungguh! Dia benar-benar kaget. Gadis itu mengajaknya untuk berpacaran? Oh, kesannya bukan mengajak, tapi memaksa. Harrel tampak menimang-nimang. Sebelum akhirnya menjawab,
"Oke."
Harrel memejamkan matanya. Ia dan Sesilia menjalin hubungan pacaran selama kurang lebih setahun. Bagi Harrel saat itu, pacaran hanya sekedar status. Ia tak mencintai gadis itu. Jangankan mencintai. Mengagumi atau sekedar rasa sukapun tak ia rasakan pada gadis itu. Sayang sekali cinta Sesilia hanya bertepuk sebelah tangan, namun gadis itu tak pantang menyerah untuk mengungkap misteri teka-teki itu.
Harrel membiarkan gadis itu berjuang sendirian. Dan itu yang membuatnya merasa bersalah hingga saat ini. Terlebih, saat sehari sebelum kematian gadis itu.
Waktu itu, Harrel sudah tamat dari SMA Purnama dan sedang melanjutkan pendidikan di salah satu Universitas negeri. Sesilia, selaku Adik kelasnya saat itu sedang duduk di kelas 12. Sesilia menghubunginya, dan memohon agar Harrel hadir di acara perpisahan sekolah. Dan hingga di hari H, Harrel benar-benar tak hadir, karena menurutnya, acara itu tak penting. Harrel ingat betul dengan kata-kata terakhir gadis itu.
"Besok Kak Bian sibuk gak? Soalnya, besok di sekolah, bakal ada acara perpisahan. Sesil pengen Kak Bian hadir. Sesil pengen foto berdua sama Kak Bian. Emang sih, yang kemarin kita udah pernah foto, tapi Sesil pengen foto sekali lagi sama Kak Bian. Ada sesuatu juga yang pengen Sesil kasih tau sama Kak Bian. Jadi ... Kak Bian bisa dateng kan?"
Lagi-lagi Harrel memejamkan matanya. Ada rasa sesak tersendiri di hatinya, terlebih saat mengingat momen itu. Momen dimana salah satu sahabat Sesil menghubunginya dan memberitahu bahwa gadis itu telah tiada.
Sesil ... meninggal di acara perpisahan sekolahnya.
***
Hari Minggu pagi, Timmy bangun pukul delapan. Tapi tenang saja, sebelum itu dia juga bangun di pukul 5.30 pagi, guna menjalankan rutinitas Sholat Subuh, sebelum akhirnya kembali tidur. Jelas saja dia mengantuk. Tadi malam dia baru saja berpetualang dan tidur di pukul dua belas malam.
Setelah menggosok gigi dan mencuci muka, Timmy meraih ponselnya dan berjalan gontai keluar kamar. Ia masih mengenakan piyama tidur, karena memang, dia belum mandi pagi. Gadis itu lantas duduk di samping Vano yang sedang membaca artikel di ponsel. Pria itu menatap putrinya. "Gih, sarapan dulu." Timmy hanya mengangguk lemas.
"Pi, bagi hotspot dong," sahutnya sembari menguap. Ia benar-benar masih mengantuk.
Vano berdehem pelan dan menggeser layar ponselnya. Akhir-akhir ini, putrinya memang sering meminta tebengan WiFi darinya. Vano hanya bisa maklum.
"Tadi pagi, si Sean dateng ngajak berangkat sekolah bareng. Emangnya hari ini ada acara apa sih?" tanyanya pada gadis itu.
"Hari libur lah, Pi. Masa gatau?" sahut Timmy yang mulai berkutat dengan ponselnya.
Vano mencebikkan bibirnya. "Loh? Tadi Sean pakai seragam sekolah gitu. Yakin, hari ini libur?"
Timmy memutar bola matanya ke atas, ia tampak berpikir. "Oh iya! Hari ini ada acara ulang tahun sekolah!" ucapnya sembari menepuk jidat.
"Trus gimana?"
"Ya gitu deh," sahut gadis itu tak acuh, lantas kembali memainkan ponselnya.
Sepuluh menit kemudian, Vano tak sengaja menoleh ke samping. Putrinya tampak senyam-senyum di hadapan ponselnya. Apa-apaan ini? Jangan bilang putri kecilnya ini sedang digombali oleh makhluk jantan? Vano tentu tak bisa tinggal diam.
"Lagi chatingan sama siapa?" tanyanya pada gadis itu.
Timmy yang masih senyam-senyum, akhirnya menjawab tanpa menoleh. "Gapapa."
Vano mengernyit heran. Jawaban melenceng dari putrinya, membuat Vano semakin penasaran, lantas mencondongkan tubuhnya, guna mengintip siapa agaknya makhluk jantan yang kurang kerjaan mengirimi pesan pada putrinya di pagi yang cerah ini.
"Ih, Papi ngintip," sahut gadis itu, mampu membuat Vano kembali ke posisinya semula.
"Siapa dia?" tanya Vano, dengan sorot dingin.
"Temen, Pi."
"Inget ya. Jangan mau diajak pacar-pacaran sama cowok bocah. Apaan dah. Uang jajan masih minta sama orang tua, sok-sokan ngajak anak orang pacaran. Dih!" ucap Vano, sembari memutar bola matanya malas.
Timmy terkekeh. "Tenang aja, Pi. Cowok yang satu ini beda kok. Gak bocah lagi. Soalnya dia udah tamat sekolah. Udah kerja malah."
Vano membulatkan matanya tak santai. "JADI KAMU BENERAN UDAH PUNYA PACAR?!!"
Timmy tersentak, lantas menggeleng. "Santai, Pi. Sabar..." ucapnya. Keduanya sama-sama terbungkam hingga beberapa saat. Timmy bergumam pelan, "Otw jadi mantu Papi sih..."
"APA?!" sahut Vano yang ternyata masih mendengar suaranya. "Siniin ponselnya! Papi mau liat." Timmy lantas memberikan ponselnya secara cuma-cuma pada Vano.
Yang dapat Vano lihat saat itu adalah sebuah DM Instagram dari sebuah akun dengan nama singkatan. Vano yang penasaran pun langsung saja menekan username akun itu, dan terpampang dengan jelas sebuah profil beserta foto postingannya.
Ketika membuka salah satu postingan foto, kedua bola mata Vano membulat sempurna. Ia meneguk saliva susah payah. Foto itu ... kenapa begitu mirip dengan-
"Gimana, Pi? Cakep kan?" tanya Timmy semangat empat-lima.
Vano yang tadinya sempat mematung, kini tersentak. Ia mengembalikan ponsel itu pada putrinya. Apa dia sedang bermimpi? Bagaimana mungkin! Foto itu begitu mirip dengan salah satu rivalnya ketika di masa SMA. Tapi ... tapi orang itu sudah tiada. Dia sudah meninggal! Demi apapun, rasanya sangat sulit dipercaya! Orang di foto itu begitu mirip dengan ... Zay.
Selang beberapa detik kemudian, Vano beranjak dari duduknya. Dia tidak bisa tinggal diam! Jika pria itu memang benar-benar masih hidup, maka suatu hari nanti, keluarganya akan berada di ambang kehancuran. Ya! Vano tidak bisa membiarkan hal itu terjadi!
Melihat kepergian Papinya, Timmy tentu saja heran. "Loh? Papi mau kemana? Hotspotnya jangan dimatiin ya, Pi!"
***
T B C!
Gimana-gimana? Sampai sini, paham?😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top