Bagian 45

Beberapa hari kemudian, Timmy sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Tentunya dengan pengawasan obat-obatan. Vano dan Rea selalu menemaninya bahkan ketika gadis itu hendak tidur. Padahal Timmy pikir, tadinya Vano akan memarahinya habis-habisan karena dia ketahuan bermain futsal. Nyatanya tidak sama sekali.

Kelopak mata Timmy terbuka. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Timmy gerah terus-terusan berada di tempat tidur. Ia beranjak, lantas mendekati jendela. Sebelum itu, ia menyempatkan untuk mengambil buah apel pemberian Elga yang terletak di atas nakas. Pergerakannya tak selincah seperti sebelum-sebelumnya, namun Timmy tetap melompati jendelanya dan berjalan mengendap-endap ke kamar Diga. Dari kemarin, pikirannya selalu terpusat pada lelaki itu. Pasalnya, semenjak Timmy sadar dari pingsan, ia sama sekali belum pernah melihat Diga hingga saat ini. Elga selaku orang asing saja bahkan ikut menjenguk Timmy tadi pagi. Ya, meskipun menyamar sebagai Elisa.

Timmy mengetuk jendela itu pelan, "Dua..." ucapnya sedikit berbisik.

Merasa belum ada sahutan, Timmy kembali mengetuk jendela itu, kali ini ketukannya sedikit lebih keras. Ia yakin, di jam segini lelaki itu pasti belum tidur.

Diga memang berada di dalam kamar, dan dia juga belum tidur. Lelaki itu sedang bermain game online, bersama teman-temannya. Beberapa hari ini, dia sengaja tidak masuk sekolah dengan alasan kepalanya masih sakit. Padahal, itu bukan alasan utama.

Ketukan serta bisikan halus yang tak asing, terdengar di balik jendela kamarnya. Diga mematung. Ia meneguk salivanya susah payah. Itu ... suara Timmy! Ia lantas menaruh benda pipih itu di atas ranjang.

Nah kan. Diga sudah yakin, jika gadis itu akan datang ke kamarnya, dan membujuknya lagi. Diga yakin, Timmy pasti tak bisa jauh-jauh darinya.

Ketukan tadi, kini berubah menjadi gebukan. Tentu saja. Timmy memukul jendela kaca itu dengan bantuan buah apel di tangannya.

Diga bergerak mendekati jendelanya. Namun ia tak akan membukanya. Ingat! Kali ini, Diga benar-benar marah!

"Dua ... Lo pasti ada di dalem kan?"

Diga bungkam. Dia tidak boleh bersuara. Bagaimanapun juga, luka di kepalanya disebabkan oleh gadis itu. Begitu pula pada hatinya. Gadis itu telah mengkhianatinya.

"Yah ... jangan ngambek lagi dong, Dua. Gue kangen tau!"

Diga tersentak. Apa tadi? Timmy merindukannya? Ah, sudah ia duga. Si bajingan Elga itu tak akan mampu menggantikan kedudukannya di hati gadis itu.

"Gue kangen main paper doll sama lo. Kapan kita main itu lagi?"

Hati Diga mencelos. Sialan! Gadis itu merindukannya hanya karena dia bisa diajak bermain boneka-bonekaan kertas!

Timmy menempelkan kepalanya pada kaca jendela, ia berharap pengelihatannya bisa menembus ke dalam sana. Namun ternyata nihil. Timmy mengembuskan napas pasrah. Ia beralih untuk menyandarkan tubuhnya pada kaca jendela. Timmy akui, dia memang bersalah. Tim-nya kalah dalam pertandingan futsal, dan ia tentu gagal memberi surprise pada Diga. Semua rencananya melesat. Timmy memejamkan kedua matanya. Tentu saja dia sedih.

"Gue ... kangen main futsal sama lo," ucapnya lirih. Bermain futsal dengan Diga dan Elga jelas berbeda. Diga tak terlalu menuntutnya, bahkan lelaki itu tak pernah marah meskipun keberadaannya di dalam tim hanyalah sebagai anak bawang. Timmy senang bermain futsal dengannya.

Timmy menoleh ke samping. Jendela itu belum juga dibuka. Ia benar-benar merasa sedih. Rasanya dia ingin menangis, tapi air matanya tak kunjung keluar. Menahan tangis, jauh lebih sesak. Dan itulah yang dirasakannya saat ini.

"Dua ... kalau lo mau marah, gapapa. Tapi jangan lama-lama ya. Abis itu, kita harus temenan lagi." Timmy menunduk, menatap kedua kakinya yang tak terbungkus sendal apapun. Gadis itu memejamkan kedua matanya. "Selama kita belum baikan, gue mau ngingetin satu hal sama lo. Dua, jangan lupa sholat lima waktu ya. Soalnya, kalau gak diingetin, lo suka lupa diri."

Hening. Masih belum ada sahutan. Timmy menghela napas pasrah. "Gue capek tau! Hari ini, gue terlalu banyak bicara," ucapnya jujur. Semenjak sadar dari pingsan, Timmy jadi jarang berbicara. Rasanya dia sulit untuk menggerakkan rahangnya. Sebenarnya, saat ini pun masih begitu, namun dia melakukan ini demi Diga. "Yaudah deh. Gue pulang dulu ya. Ini, gue bawain apel untuk lo. Sebenarnya apel ini dari Empat. Tadi pagi dia dateng jengukin gue. Tadinya sih, gue mau makan berdua sama lo. Tapi karena lo lagi ngambek, yaudah, buat lo aja. Gue taruh di sini ya." Timmy meletakkan buah itu di lantai. Ia lantas melangkah pulang ke rumahnya.

Brukk!!!

Ia terjatuh, karena tak sengaja tersandung selang air milik papanya Diga. Gadis itu kembali bangkit, dan melanjutkan langkahnya.

Sementara Diga, dia masih stay di balik jendela kamarnya. Kedua matanya terasa panas. Apa tadi? Timmy mengatakan bahwa Elga berkunjung ke rumahnya? Sialan! Diga saja tak berani berkunjung secara terang-terangan ke rumah gadis itu, karena ia tahu, Vano tak pernah suka jika laki-laki lain mendekati putrinya. Tapi apa yang didengarnya barusan?! Apa Vano membiarkan si bajingan Elga berkunjung ke rumahnya secara cuma-cuma?! Sialan! Ini benar-benar tidak adil!

Emosi! Itu yang Diga rasakan! Bayangkan saja, dia dan Timmy sudah dekat sejak dulu. Tinggal sedikit langkah lagi, maka mungkin dia bisa mendapatkan hati gadis itu. Langkah selanjutnya mungkin dia akan berpikir keras untuk mencuri perhatian Vano. Ya! Semua akan berjalan lancar jika saja si bajingan Elga itu tidak hadir dan mengacaukan segalanya!

Diga menarik rambutnya frustasi. Sebulir air keluar dari sudut matanya. Perkara hati ternyata semenyakitkan ini! Rasanya dia ingin sekali melampiaskan rasa sakit di hatinya ini dengan menghancurkan semua barang-barang yang ada di kamarnya. Namun ia sadar, bahwa itu semua percuma.

Mungkin, jalan satu-satunya adalah menghilang.

Ya. Dia akan pergi. Mungkin dia butuh suasana baru untuk menenangkan pikirannya.

***

Di kamar bagian atas, Dinda menatap layar komputernya dengan hampa. Semenjak dia menyatakan cintanya pada Sean, esoknya lelaki itu tidak hadir ke sekolah. Hal itu berlangsung selama beberapa hari, bahkan hingga detik ini. Di pagi hari pun ia tak melihat lelaki itu. Biasanya Sean kerap memanaskan motornya di depan rumah. Namun kali ini tidak. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan lelaki itu? Apa dia sakit?

Lihatlah, bahkan ketika sudah ditolak secara mentah-mentah pun, Dinda masih sempat-sempatnya memikirkan lelaki itu.

Apa benar, Sean tak memiliki secuil rasapun padanya?

Jadi, kenapa selama ini lelaki itu kerap bersikap baik? Maksudnya, Sean selalu mendengarkan keluh kesahnya via ponsel. Ya, meskipun mereka bertetangga, namun keduanya tidak sedekat Timmy dan Diga. Sean dan Dinda kerap bertukar obrolan lewat ponsel. Bahkan Dinda sering mengajak lelaki itu video call, mendiskusikan materi pelajaran yang kurang ia mengerti di sekolah.

Jika Sean tidak memiliki perasaan apapun padanya, lantas siapa gadis yang disukai lelaki itu?

Tipe gadis seperti apa yang Sean sukai?

Apa dia tak cukup menarik di mata lelaki itu?

Jika Sean tak ingin diperjuangkan, maka apa lelaki itu akan berjuang demi gadis yang ia cintai?

Sungguh! Dinda tak akan kuat jika melihat lelaki itu memperjuangkan gadis selain dirinya.

Beberapa hari ini, Dinda sudah jarang mengisi perutnya. Rasa lapar itu seakan hilang, didominasi oleh rasa patah hati. Dia ingin mencurahkan rasa sakitnya. Tapi, pada siapa? Dinda tak bisa memercayai teman-teman sekolahnya. Selama ini dia hanya mencurahkan perasaannya pada Sean.

Dia enggan bercerita pada Mamanya, apalagi pada Papanya. Dia juga tak terbiasa bercerita pada Diga. Lantas, apa yang harus ia lakukan? Memendam rasa patah hatinya begitu saja?

Ngomong-ngomong tentang Diga, Dinda jadi teringat, bagaimana perkembangan hubungan kembarannya dengan si gadis kolot itu?

Ia beranjak keluar kamar, lantas menuruni tangga. Ia tahu, pada siapa ia akan mencurahkan isi hatinya.

***

Setelah mengetuk pintu kamar kembarannya beberapa kali, Dinda membuka pintu itu. Ia sontak terkejut dengan apa yang dilihatnya saat ini.

"Lo mau kemana?!" tanyanya saat melihat Diga memasukkan pakaiannya ke dalam ransel. Diga sama sekali tak menggubrisnya.

Dinda lantas mendekati Diga. "Lo kenapa sih?!"

Diga menarik resleting ranselnya, dan menyandang benda itu di pundaknya. Selanjutnya, lelaki itu berjalan keluar kamar. Dinda benar-benar tak habis pikir. Apa yang terjadi pada kembarannya? Ya, dia akui hubungannya dengan Diga memang tidak dekat, namun ia tentu masih peduli dengan lelaki itu.

Diga melangkah hingga melewati ruang keluarga, kebetulan Kaira sedang duduk sembari bermain ponsel di sana. Wanita itu tak sengaja menatapnya, ia cukup heran saat melihat penampilan putranya. "Mau kemana, Dig?"

"Minggat," jawab Diga, jujur.

"Oh," sahut Kaira tak acuh.

Tanpa peduli, Diga melanjutkan langkahnya untuk keluar rumah. Tepat ketika dia hendak mengambil motornya di garasi, manik matanya tak sengaja menatap sebuah apel.

Diga mendekat, lantas mengambil apel itu. Itu adalah pemberian Timmy. Seharusnya mereka memakannya berdua saat ini. Tapi-

Diga membuang apel itu ke sembarang arah. Buah itu pemberian Elga. Dan dia benci dengan si bajingan itu!

Tanpa pikir panjang lagi, Diga menyalakan motornya dan melesat dengan kecepatan tinggi. Dinda yang masih berada di kamar Diga bahkan bisa mendengar deru motor kembarannya. Ia lantas mengintip di balik jendela. Kembarannya benar-benar pergi. Bunyi notifikasi ponsel di ruangan itu, membuat Dinda celingak-celinguk. Tepat di atas ranjang, layar ponsel Diga menyala. Ternyata lelaki itu lupa membawa ponselnya.

Dinda meraih benda itu. Ada sebuah notifikasi chat dari kontak yang diberi nama 'ily TIGA ribu'. Orang itu mengirimkan sebuah voice note. Tanpa sungkan, Dinda membuka pesan itu.

"DUAAA!!!"

Dinda menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Sialan! Itu suara si gadis kolot! Tapi, dia penasaran. Dia kembali mendengarkan pesan suara itu.

"Gimana? Apelnya udah dimakan belum? Semoga lo sudi dengerin pesan suara ini. Gue janji, setelah ini gue gak bakal ganggu lo lagi. Gue cuma mau bales pertanyaan lo yang waktu itu..."

Terdengar bunyi kasak-kusuk. Dinda menatap layar ponsel Diga. Durasi voice note itu belum berakhir. Entah apa yang sedang dilakukan si gadis kolot itu saat merekam suaranya di sana.

"Dua ... maaf. Tiga gak bisa nerima Dua sebagai pacar. Satu bilang, kita masih anak-anak. Dan anak-anak, belum boleh pacaran, sampai nanti mereka udah gede. Dua tau gak? Tiga seneng loh, temenan sama Dua. Tiga udah anggap Dua sebagai Abang kandung Tiga sendiri. Dua ... ngambeknya jangan lama-lama ya. Tiga gak suka didiemin gini tau!"

Pesan suara itu berhenti. Dinda menatap layar ponsel Diga dengan tatapan yang ... entahlah. Detik selanjutnya, ia berlari dari kamar Diga dan menemui Mamanya di ruang keluarga.

"Ma! Diga kemana?"

Kaira masih terfokus pada layar ponselnya. Dia sedang melihat-lihat video terbaru Bias kesayangannya. "Minggat katanya."

Dinda melongo tak percaya mendengar jawaban sang ibu. Bagaimana Kaira bisa menjawab sesantai itu?!

"Minggat?! Kenapa Mama biarin?"

Kaira mematikan ponselnya, lantas beralih menatap putrinya. "Yaelah, paling bentar lagi juga balik."

Dinda menepuk jidatnya frustasi. Gara-gara si kolot itu, Diga malah pergi dari rumah. Dinda jelas tahu bagaimana rasanya patah hati. Karena diapun sedang merasakannya saat ini. Lihat saja! Dia akan memberi perhitungan pada si gadis kolot itu! Dinda tak akan membiarkan hidupnya tenang begitu saja!

"Ma ... Diga benar-benar minggat. Dia bawa semua baju-bajunya juga," sahutnya lirih. Semoga saja Mamanya bisa mengerti.

Hening selama beberapa detik, hingga akhirnya Kaira tersadar, "WHAT?!!"

***

T B C!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top