Bagian 41

Minggu ke-3. Dan ini, merupakan minggu terakhir bagi Timmy untuk belajar futsal bersama Elga. Besok, mereka akan tanding. Dengan terpaksa, Elga menuruti keinginan gadis itu untuk menjemputnya di rumah. Tapi, tenang saja. Elga tak perlu repot menyamar menjadi perempuan, karena tugasnya hanya menjemput, bukan meminta izin pada orang tua gadis itu seperti di minggu pertama.

Saat di dalam mobil, Timmy menggenggam ponsel di pangkuannya. Dia melirik ke arah lelaki itu sekilas. Elga tampak fokus menyetir. Timmy berdehem, lantas membuka suara, "Boleh gue minta hotspot?"

Kening Elga berkerut tak suka. Lelaki itu dengan cepat menjawab, "Enggak!"

Timmy manggut-manggut. Gadis itu tak lagi bersuara. Ia menoleh ke jalanan. "Turunin gue di depan sana."

"Apa?!" Elga melirik gadis itu sekilas. Entahlah! Ia benar-benar tak habis pikir. Kenapa gadis siluman ini malah semakin melunjak?

"Gue mau beli kuota. Turunin gue di depan sana," lanjut Timmy.

Elga merogoh sakunya, lantas dengan terpaksa melemparkan ponselnya ke samping tanpa menoleh. Untung saja Timmy bisa dengan sigap menangkap benda itu. Gadis itu tersenyum sumringah karena berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan. Sementara Elga, sebisa mungkin tidak mengumpat. Ia hanya ingin segera sampai di rumahnya, itu saja.

Setelah jaringan WiFi-nya tersambung, Timmy dengan cepat membuka aplikasi Instagram, lantas membuka roomchat-nya dengan seseorang.

Anda
Hai Om Harrel, hari ini Timmy
mau main ke rumah Om Harrel loh.
Om lagi ada di rumah kan?
10.05am


Ya! Timmy baru saja mengirimkan pesan untuk Harrel, si Om tampan yang pernah ia jumpai ketika berkunjung ke rumah Elga beberapa bulan yang lalu. Tak ada yang tahu, jika Timmy dan Harrel sering berkirim pesan via Instagram. Hal itu terjadi semenjak beberapa bulan yang lalu pula, saat Timmy dibelikan ponsel baru oleh Papinya. Perjumpaan Timmy dan Harrel hanya terjadi sekali. Dari perjumpaan pertama itu, Timmy memutuskan, bahwa dia memiliki ketertarikan khusus pada Om tampan itu. Katakanlah keputusan Timmy menjatuhkan hati pada Om-om itu adalah hal yang konyol dan tak masuk akal. Namun mau bagaimana lagi? Bukankah cinta itu buta?

Ponsel di pangkuannya bergetar, Timmy dengan cepat mengangkat benda itu, dan menatapnya lamat-lamat.

hrrl
Saya tunggu
10.10am

Kedua sudut bibir Timmy terangkat. Hatinya terasa bahagia. Dia benar-benar tak sabar ingin berjumpa dengan Om tampan itu lagi! Tanpa Timmy sadari, Elga menatapnya dengan tatapan aneh. Elga hanya berpikir, mungkin urat malu gadis itu kembali putus. Buktinya, dia malah cengar-cengir memalukan seperti itu.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di kediaman Elga. Lelaki itu merasa heran, karena mobil Harrel masih terparkir di halaman rumah. Apa pria itu tidak berangkat bekerja?

Baru saja Elga mematikan mesin mobilnya, gadis siluman di sampingnya sudah lebih dulu membuka pintu mobil dan keluar begitu saja. Elga semakin tak suka melihat kelakuan gadis itu.

Saat Elga telah keluar dari mobilnya, ia terkejut melihat pemandangan di hadapannya. Si gadis siluman itu sedang berbincang dengan Harrel di depan rumah.

Apa-apaan ini?

Tunggu! Sejak kapan Harrel bersikap ramah kepada orang lain?

"Assalamualaikum, Om," sapa Timmy lebih dulu. Kedua sudut bibirnya terangkat, menampilkan senyum ceria khasnya. Sorot bola matanya menunjukkan kekaguman yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Wa'alaikumussalam."

Timmy benar-benar tak menyangka akan bertemu dengan pangeran tampan ini lagi. Gadis itu mendadak salah tingkah ketika Harrel juga ikut membalas tatapannya. Astaga! Tanpa sadar, Timmy menggigit bibir bawahnya. Terhitung satu menit mereka melakukan aksi tatap-tatapan satu sama lain. Banyak hal yang ingin Timmy utarakan, namun semua mendadak hilang ketika menatap wajah Om tampan itu!

"Timmy nyesel ketemu sama Om Harrel," ucapnya, sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain. Senyum cerianya pudar, diganti dengan bibir mengerucut yang tampak dibuat-buat.

"Kenapa?" tanya Harrel, cukup bingung.

"Abisnya, Om Harrel ganteng sih!" jawab Timmy menundukkan pandangannya, menatap pergerakan sebelah kakinya yang iseng mengukir ubin. Gadis itu kembali mendongak, "Nanti malem Timmy pasti bakal tidur lebih cepat dari biasanya."

Harrel menaikkan sebelah alisnya, seolah bertanya 'Kenapa' tanpa bersuara.

"Soalnya Timmy gak sabar mau ketemu Om Harrel di alam mimpi," jawab gadis itu tanpa sungkan.

Harrel terkesiap. Barusan, dia sedang digombali dengan seorang bocah kan?

Tanpa mereka sadari, seseorang mengintip di celah gerbang. Orang itu adalah Diga. Tadinya dia berniat ingin mengajak gadis itu bermain, namun sayang, ketika gadis itu keluar dari rumah, Timmy lantas memasuki mobil yang ia duga adalah milik Elga. Kedua tangan Diga kini terkepal. Sial! Elga benar-benar gerak cepat! Diga lantas kembali menaiki motornya, dan melesat dengan kecepatan tinggi.

Sebelah tangan Timmy, tiba-tiba saja ditarik paksa. Gadis itu diseret hingga masuk ke dalam rumah. Cengraman di tangannya begitu kuat, hingga membuat Timmy meringis dan menghentaknya dengan kuat pula.

"Gak usah tarik-tarik!"

Elga, si pelaku yang sudah menyeret Timmy, kini menatap gadis itu dengan sorot tajam, "Tolong jaga sopan santun lo sebagai tamu di rumah ini!"

Timmy mencebikkan bibirnya, seolah berkata 'Nye-nye-nye' tanpa bersuara. Hal itu tentu membuat Elga semakin emosi, dan ingin sekali mendaratkan bogem mentah pada gadis itu. Namun, Timmy lebih dulu melarikan diri.

Timmy berlari ke depan rumah. Namun sayang, Harrel sudah tak ada lagi di sana. Pria itu sudah pergi.

***

Di sisi lain, Harrel menghentikan mobilnya ketika lampu lalu lintas menyala merah. Pikirannya berkelana pada satu titik. Bocah tadi, mengingatkannya pada seseorang. Bukan! Bukan wajahnya! Tapi tingkahnya!

Seseorang itu adalah ... Sesilia Agatha.

Kekasih yang tak pernah ia cintai. Dan sialnya, cinta itu tumbuh ketika gadis itu dinyatakan tiada.

Harrel memejamkan kedua matanya. Andai waktu bisa diulang, maka dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan.

Kini, sosok Sesilia Agatha seolah bereinkarnasi menjadi Timmy Zazasya.

TIN!

Bunyi klakson kendaraan di belakangnya, membuat Harrel tersentak. Ternyata lampu lalu lintas sudah menyala hijau. Pria itu lantas kembali menjalankan kendaraannya.

***

Timmy dan Elga kini berlatih di halaman belakang. Tak ada yang lain, selain mereka di sini. Hanya berdua. Di tempat yang sepi. Oke, abaikan.

Di hadapan Timmy terdapat beberapa botol berisi air yang disusun secara horizontal. Sebelum latihan bermain bola, Elga menyuruh gadis itu untuk melakukan pemanasan. Timmy harus menendang bola secara zig-zag, mengitari botol-botol itu hingga di botol terakhir, dengan syarat tidak boleh menyenggol botol hingga jatuh. Jika botol itu terjatuh, maka Timmy harus mengulangnya dari awal. Begitu seterusnya.

Sudah beberapa kali percobaan, dan Timmy terus saja menjatuhkan salah satu botol. Elga si manusia setengah singa itu terus saja menyuruhnya untuk kembali mengulang dari awal. Sementara dirinya, sedang duduk santai di tempat yang teduh sembari mengawasi Timmy.

"Gue boleh duduk gak?" Timmy menatap Elga dengan tatapan memelas. Wajahnya mulai berkeringat, ditambah pula dengan terik matahari pagi.

"Enggak!"

"Oke!" Tanpa peduli dengan cuaca yang lumayan panas, Timmy mendaratkan bokongnya di atas tanah.

Elga berdiri dengan tak santai. "Gak ada yang nyuruh lo duduk!"

Timmy mengangkat sebelah tangannya guna mengipasi wajahnya, "Emang," sahutnya tak acuh.

"Trus kenapa lo duduk?!"

"Karena capek." Ya, Timmy memang sesantai itu.

Elga berjalan tergesa mendekati gadis siluman itu. "Push-up dua puluh kali!"

"Hah?" Timmy mendongak, dengan mata yang menyipit. Jika dilihat dari bawah sini, wajah Elga tampak seperti malaikat. Ya! Malaikat pencabut nyawa. "Lo niat jadi pelatih bola gak sih? Kenapa gue malah disuruh push-up?!"

"Itu hukuman karena minggu lalu, lo bolos. Plus karena daritadi lo gagal nendang bola," tegas Elga, dengan nada suara yang tak pernah santai. "Kalau lo gak suka, silakan keluar. Dan kalau lo keluar, itu artinya lo kalah!"

"Oke-oke!" Timmy mau tak mau harus menurut. Ikut serta dalam pertandingan futsal sekolah memang impian Timmy sejak kecil. Dan jika dia menang, maka dia tak perlu repot memecahkan teka-teki sialan itu, dan Diga juga bisa kembali masuk ke ekskul futsal. Ibarat sekali dayung, dua-tiga pula terlampaui. "Push-up nya mesti dua puluh kali ya? Gak bisa diskon gitu?"

"Bisa aja. Push-up sepuluh kali, plus squat-jump sepuluh kali. Gimana?"

"Lo niat ngasih diskon gak sih? Itu kenapa ada plus-plusnya?"

"Bisa gak, sekali aja lo gak ngebantah?" Elga tak tahu lagi bagaimana cara menjinakkan siluman aneh di hadapannya ini.

"Bisa," balas Timmy enteng. Gadis itu lantas segera berdiri, dan menepuk pakaian belakangnya yang sedikit berpasir.

Masih di bawah terik matahari pagi, Timmy belum juga melakukan perintah Elga. Dia malah tampak berpikir. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Elga yang jengah, lantas meniup peluit dengan kencang hingga gadis itu tersentak.

"Gak ada yang nyuruh lo bengong!"

"Ya, memang!" sahut Timmy dengan ketus pula.

"Buruan push-up, bego!"

Timmy kembali terdiam. Otak di dalam kepalanya sedang bekerja ekstra. "Push-up itu ... gimana sih?"

***

"Lima..." Elga menghitung setiap pergerakan naik-turun gadis itu. Meski terbilang sangat lambat, namun kali ini Elga tak bosan. Sebab ia senang melihat gadis itu menderita. Jika bisa, dia ingin melihat gadis itu menyerah sebelum pertandingan besok. Sebelah sudut bibirnya terangkat, sinis.

"Enam..."

Timmy benar-benar kehabisan tenaga. Push-up di tengah cuaca terik seperti ini, benar-benar siksaan berat baginya. Dadanya terasa sangat sesak. Napasnya juga terengah-engah. Mungkin itu efek karena dia jarang berolahraga. Satu-satunya olahraga yang Timmy gemari adalah berlari. Dan itu ada pada permainan futsal.

Timmy menjatuhkan tubuhnya di atas tanah begitu saja, lantas menoleh ke arah Elga. Mulut lelaki itu tampak berkomat-kamit. Timmy yakin, lelaki singa itu pasti sedang mengumpat. Namun Timmy sama sekali tak dapat mendengar suaranya. Sebelah tangan Timmy bergerak, seolah menyuruh Elga untuk mendekat. "Elisa..."

Dengan kesal, Elga lantas mendekatinya. Timmy kembali bersuara, "G-gue ... haus. T-tolong bikinin teh anget..." Setelah mengatakan itu, kedua mata Timmy terpejam sempurna. Tak ada lagi suara, tak ada lagi pergerakan.

Elga mengira bahwa gadis siluman itu hanya berpura-pura. Apa katanya tadi? Gadis itu menyuruhnya untuk membuatkan teh hangat? Apa-apaan ini? Apa dia kira Elga itu babu? Dan, jangan lupa jika dia selalu memanggil Elga dengan sebutan Elisa! Benar-benar minta dihajar!

"Heh! Bangun lo!" Elga menendang kaki gadis itu pelan. Tak ada pergerakan sama sekali. Ia beralih pada wajah gadis itu. Elga menunduk, menatap wajah itu lamat-lamat. Apa gadis siluman ini tertidur? Elga mendekatkan wajahnya pada telinga gadis itu, "WOII!!!" Namun lagi-lagi tak ada sahutan.

Elga menjauhkan dirinya dari gadis itu. Apa dia sudah keterlaluan? Gadis itu jelas bukan sekedar tidur. Apa dia pingsan? Atau jangan-jangan, dia ... mati?!

Elga berbalik badan, enggan menatap gadis itu. Dia panik. Astaga, apa yang harus dia lakukan? Memanggil dokter? Yang benar saja! Jika siluman itu benar-benar mati, maka dia akan dituduh sebagai pembunuh!

Lengkingan suara Azan Zuhur dari masjid kompleksnya kini terdengar syahdu. Namun hal itu tak serta-merta membuat hati Elga tenang.

"Elisa..."

Elga terperanjat ketika mendengar suara tak asing itu. Badannya sontak berbalik ke belakang. Dan lagi-lagi, Elga shock saat mendapati si gadis siluman yang kini sudah terbangun dan merubah posisinya menjadi duduk. Otak Elga kini berusaha mencerna kejadian beberapa saat yang lalu. Apa gadis itu tidak benar-benar pingsan? Atau dia sedang tidur mati? Atau apa? Entahlah, semua tampak memusingkan.

Timmy yang masih merasa lemas, terpaksa mendongak, menatap Elga. Bibirnya perlahan terbuka, "Lo ... ada mukena gak?"

***

TBC!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top