Bagian 38

Setelah tiba di halaman rumah mewah Elga, lelaki itu lantas keluar dari mobilnya. Timmy mengikutinya dari belakang. Gadis itu celingak-celinguk, mencari keberadaan seseorang. Elga menghentikan langkahnya secara mendadak, dan Timmy yang belum siap akan hal itu, tak sengaja pula menabrak punggungnya. Elga mendengkus kasar, sebelum akhirnya berbalik menghadap Timmy.

"Tunggu di sini!" tegasnya. Lelaki itu hendak berbalik, namun ia urungkan. "Jangan sentuh apapun yang ada di sini. Dan jangan bertanya apapun!" lanjutnya. Timmy mengangguk patuh. Detik selanjutnya, Elga melangkah menaiki tangga.

Elga memasuki kamarnya, lantas meraih tisu basah di meja rias. Dengan kasar, ia menghapus jejak liptint yang sengaja ia oleskan sebelum berkunjung ke rumah si gadis siluman tadi. Jangan tanya dimana Elga mendapatkannya! Elga malu mengingatnya. Dan sialnya, si gadis siluman itu sempat terpana dengan wajah perempuannya, dan mengatakan bahwa ia cantik. Tentu saja itu sebuah penghinaan besar. Elga jelas-jelas seorang lelaki tulen! Ini kali pertama ia mengenakan baju perempuan dan berdandan layaknya perempuan. Elga pastikan, ini adalah momen pertama dan terakhir kalinya. Ia tak akan sudi merubah diri menjadi gadis perawan lagi!

Sementara di lantai bawah, Timmy mengedarkan pandangannya. Gadis itu melangkah menuju meja buffet di sudut ruangan. Tentu saja dia tak akan menuruti ucapan si singa jantan. Timmy akan melakukan apapun yang dia suka di sini. Termasuk melihat-lihat foto yang terpampang di figura kecil yang terpajang di atas meja buffet itu.

Beberapa foto Harrel terpajang apik di sana. Wajah tampan itu benar-benar tampak memikat. Ada pula foto balita yang baru berumur lima tahunan. Timmy tebak, balita di foto itu pasti adalah Harrel di masa kecil. Lagipula, tidak mungkin itu Elga. Wajah balita itu terlihat sangat tampan, dan tak ada mirip-miripnya sama sekali dengan Elga.

Timmy beralih pada foto lainnya. Terdapat sebuah foto Harrel dengan seorang perempuan. Tampaknya itu adalah foto lama. Pasalnya, Harrel dan perempuan itu sedang mengenakan seragam SMA.

Jika diperhatikan lamat-lamat, seragam yang dikenakan Harrel dan perempuan itu tampak tak asing oleh Timmy. Bukankah itu seragam khas SMA Purnama?

"Shit!" umpat seseorang, sembari menarik tangan Timmy sedikit lebih jauh dari sana. Timmy benar-benar dibuat kaget. Orang itu kembali bersuara, "Jangan.sentuh.apapun!"

Sudah bisa ditebak jika orang itu adalah Elga. Lelaki itu bahkan sudah mengganti pakaiannya dengan baju futsal. Alih-alih berbalik marah seperti perempuan kebanyakan, Timmy malah tampak tenang. "Mana Om Harrel?"

Kening Elga berkerut tak suka. Sempat-sempatnya gadis itu menanyakan keberadaaan Harrel padanya. Masih dengan sorot murka, Elga kembali bersuara, "Jangan.tanya.apapun!"

Setelah mengucapkan kalimat penuh penekanan itu, Elga melangkah meninggalkan Timmy. Namun Timmy tentu tak tinggal diam. Gadis itu kembali bersuara,

"Kenapa di ruangan ini gak ada satupun foto lo?"

Kalimat sialan itu mampu membuat batin Elga tersentil. Ia menghentikan langkahnya. Napasnya tampak memburu. Berani-beraninya gadis itu menanyakan hal yang begitu sensitif seperti itu! Kedua tangan Elga terkepal sempurna. Tanpa menjawab pertanyaan dari siluman itu, Elga kembali melanjutkan langkahnya.

***

Pukul 2 siang.

Sudah satu jam Diga gunakan untuk duduk di bawah jendela kamar Timmy. Dan terhitung lima kali, ia bolak-balik ke tempat ini, guna mengintip ke kamar gadis itu. Namun hasilnya nihil. Timmy tidak ada di kamarnya sejak pukul sembilan tadi.

Kemana perginya gadis itu?

Apa dia sedang pergi bersama orang tuanya?

Rasanya tak mungkin. Mobil Vano dan Rea bahkan terpampang apik di halaman rumah.

Diga kembali mengintip di balik celah jendela. Terhitung ke-enam kalinya, dan tak ada tanda-tanda keberadaan gadis itu di sana.

Diga mendengkus pasrah. Kakinya melangkah, meninggalkan tempat itu. Sepertinya, gadis itu benar-benar lupa dengan janjinya.

***

Timmy terbangun sekejap, lantas kembali menutup matanya. Kakinya terasa sangat pegal. Berjam-jam ia gunakan untuk berlatih futsal dengan Elga dan ia baru pulang ketika Ashar tadi. Setibanya di rumah, Timmy langsung mengerjakan kewajiban sholat Ashar, dan langsung terkapar di kasur empuknya.

Timmy kembali membuka mata saat mendengar suara azan Maghrib. Gadis itu merubah posisinya menjadi duduk. Sejujurnya Timmy masih sangat lelah. Namun, ia urungkan, untuk beberapa jam ke depan. Orang tuanya jelas akan marah jika melihat Timmy tidur saat Maghrib.

***

Selesai makan malam dan sholat Isya, Timmy kembali ke kamarnya. Jam kecil di atas nakas menunjukkan pukul delapan tepat. Timmy akan melanjutkan tidurnya.

Ketika Timmy hendak mematikan lampu kamarnya, manik matanya tak sengaja menangkap sebuah kardus berisi tumpukan mainannya. Sudah lama Timmy tak memainkan benda-benda itu. Melihat aneka permainan di sana, mampu mengingatkan Timmy pada teman sepermainannya. Diga.

Ketika Timmy hendak menekan saklar lampu kamarnya, kedua matanya membulat sempurna. Gadis itu berjalan tergesa menuju kardus itu, dan mengambil satu permainan secara acak di sana.

Janji!

Timmy nyaris lupa dengan janjinya untuk bermain bersama Diga di hari minggu!

Sial! Semoga saja dia tidak terlambat. Atau Diga akan benar-benar memutuskan pertemanan dengannya!

Setelah melompati jendela kamarnya, Timmy berjalan dengan tergesa. Beberapa langkah lagi menuju rumah Diga, sebelah kaki Timmy malah tersandung oleh selang air. Naas, gadis itu terjatuh. Dan mainan yang dibawanya ikut tercecer di tanah.

Selang air itu milik Abdi-Papa Diga. Entah kenapa pria itu meletakkannya di sembarang tempat hingga membuat Timmy terjatuh seperti ini!

Timmy merubah posisinya menjadi duduk, lantas mengusap dengkulnya, menyingkirkan butiran tanah yang menempel di sana. Timmy baru sadar, sudah lama juga ia tak terjatuh.

Gadis itu beralih untuk memungut mainannya. Tadinya Timmy membawa congklak beserta sekantung batu kerikil, dan sekarang benda itu tercecer di lantai akibat terjatuh tadi.

Setelah semuanya terkumpul, Timmy kembali melanjutkan langkahnya dengan terseok-seok. Sungguh! Kakinya dua kali lipat terasa lebih pegal dari sebelumnya.

Kini ia tiba di jendela kamar Diga. Ia mengetuk jendela kaca itu pelan.

"Dua..."

Tak ada sahutan. Dan Timmy belum menyerah. Ia mengetuk jendela itu lagi.

"Dua ... Ini gue."

Ia kembali mengetuk jendela. Kali ini, sedikit lebih keras. Namun lagi-lagi, tak ada sahutan.

Timmy menyandarkan tubuhnya pada dinding, hingga tubuhnya merosot ke lantai. Hari ini ia begitu lelah. Dan ia akan merasa sangat lelah, jika Diga benar-benar marah padanya. Timmy memeluk lututnya, sembari bertopang dagu. Kedua matanya terbuka sayu.

Seberkas cahaya, yang kian melebar, sontak membuat Timmy mendongak. Dan ya, Diga akhirnya membuka jendela itu. Timmy menampilkan senyum cerianya, yang dibalas tatapan datar oleh lelaki itu.

"Dua, ayo kita main," ucapnya.

Diga sama sekali tak menatapnya. Lelaki itu sengaja mengarahkan pandangannya ke depan. Tatapannya tampak datar. Dia sedang marah!

Melihat tak ada respon apapun dari teman sepermainannya, Timmy lantas bangkit. Senyum di bibirnya tak pernah luntur. Manik matanya selalu menyorot kebahagiaan. "Dua ... maafin gue ya?"

Timmy menopang kedua tangannya pada pembatas jendela, hingga wajahnya dan Diga kini terpaut sangat dekat. Diga membuang pandangannya ke sisi kiri. Sial! Ini kelemahannya! Terlebih saat ini, Timmy sengaja menampilkan wajah memelas andalannya. Kalau begini terus, Diga bisa luluh!

Timmy meniup wajah Diga, hingga membuat lelaki itu spontan berkedip. Semerbak bau coklat, tercium olehnya. Ia bisa menebak bahwa gadis itu pasti habis meminum susu coklat.

Diga mati-matian untuk bertahan pada sikap tak acuhnya. Hingga wajah Timmy muncul di hadapannya secara tiba-tiba. Sial! Sial! Sial! Diga tak tahan lagi!

Ia berdehem pelan, sembari menyentil kening gadis itu agar sedikit lebih menjauh dari wajahnya. "Kemana aja?"

Kalimat terkutuk itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Hei! Seharusnya dia marah kan? Kemana lontaran kata-kata kasar yang sedari tadi Diga rutuki di dalam hati?

"Seharian ini, Papi lagi di rumah. Dia ngajak nonton siaran bola di tv. Sebagai permintaan maaf, ayo kita main sekarang!" ucap Timmy, sedikit berbohong. Gadis itu menunduk dan mengambil congklak miliknya, serta melambaikan benda itu di hadapan Diga.

Tanpa pikir panjang, Diga langsung melompati jendelanya. Baginya, apa yang diucapkan gadis itu selalu benar. Dia percaya, Timmy tak akan membohonginya. Lagipula dia tahu, bahwa seharian ini Vano sedang cuti kerja, mengingat mobil pria itu terparkir manis di halaman rumah.

Keduanya kini sibuk mengisi lubang dengan biji congklak. Beberapa dari biji congklak itu, terdapat kerikil asli, hasil curian Timmy di belakang sekolah beberapa bulan lalu.

Permainan dimulai. Tentu saja Timmy yang lebih dulu memainkannya. Timmy mengambil biji congklak, lantas menjatuhkannya di setiap lubang dengan semangat. Tanpa sadar, Diga tersenyum. Bukan! Dia bukan tersenyum karena melihat gerakan tangan Timmy yang terampil dalam bermain congklak. Tapi ia tersenyum saat melihat wajah ceria gadis itu.

Diga sadar, bahwa Timmy adalah gadis yang berbeda. Gadis itu spesial dan langka. Seumur-umur, Diga tak pernah berjumpa dengan perempuan seperti Timmy. Seorang perempuan, yang bahkan tak tertarik dengan dunia anak remaja pada umumnya. Timmy berbeda dengan saudari kembarnya, Dinda. Timmy tidak butuh filter untuk mempercantik wajahnya di ponsel. Timmy juga tak perlu menari seperti cacing kepanasan di depan ponsel, karena pada dasarnya, gadis itu memang bar-bar dan liar.

Gadis langka seperti Timmy, tak boleh jatuh ke tangan laki-laki sialan. Diga tak akan membiarkan laki-laki jenis apapun, mendekati Timmy, apalagi sampai berhasil meluluhkan hati polos gadis itu. Tidak! Diga tak akan membiarkan hal itu!

Manik mata Timmy, menatapnya sebentar, lantas gadis itu terkekeh jahil. Diga tersadar dari lamunannya. Tangannya bergerak untuk menyentil kening gadis itu.

"Gak usah curang! Gue tau," ucapnya. Timmy kembali terkekeh. Ia menggeser benda segi panjang itu agar lebih dekat pada Diga.

Diga menundukkan kepalanya, lantas dengan cekatan menjatuhkan biji-biji congklak itu di setiap lubang. Tiga menit berlalu, Diga memasukkan biji congklak terakhirnya pada lubang yang kosong. Itu artinya, dia kalah dan Timmy yang akan melanjutkan permainan itu lagi.

Masih dengan kepala yang menunduk, Diga menghela napas pelan. "Gue ... kangen main beginian. Apalagi kalau mainnya sama lo." Diga menggaruk tengkuknya yang terasa sedikit gatal. Mungkin setelah ini, gadis di depannya akan menertawainya habis-habisan. Itupun, kalau dia tahu, maksud dari ucapan Diga.

Tiga detik berlalu. Tak ada suara apapun. Diga mengangkat kepalanya dan cukup terkejut saat melihat Timmy tertidur dalam posisi duduk.

Entahlah itu sebuah keberuntungan atau tidak. Yang penting, Diga tak pernah menyesal mengungkapkan sesuatu yang mengganjal di hatinya, sekalipun gadis itu tak mendengarnya.

Diga merapikan permainan milik gadis itu. Langkah selanjutnya, ia menepuk pipi Timmy beberapa kali, hingga membuat kedua mata gadis itu terbuka.

"Udah pagi ya?" tanyanya dengan kedua mata yang teramat sayu.

"Ayo pulang!" Diga membantu gadis itu berdiri dan membopongnya hingga tiba di depan jendela kamar. Sebenarnya Diga bisa saja menggendong tubuh gadis itu ke kamar tanpa membangunkannya. Namun Diga masih ingin hidup lebih lama. Jika Vano mengetahui hal itu, mungkin pria itu akan membuatnya wafat di tempat. Diga juga membantu gadis itu untuk masuk ke kamarnya, lantas memberikan papan congklak itu padanya.

Diga baru berbalik meninggalkan Timmy ketika gadis itu sudah menutup jendelanya dengan rapat, dan menutup tirainya.

Bunyi jendela yang dibuka secara tergesa serta suara serak Timmy tiba-tiba saja terdengar, "Dua!"

Diga tentu saja langsung berbalik badan.

Timmy menatapnya dengan tatapan sayu yang benar-benar menahan kantuk. "Lo udah sholat subuh belum?"

Diga sedikit tersentak. Apa gadis itu benar-benar mengira bahwa hari sudah pagi?

"B-belum," jawabnya jujur.

Terdengar hembusan napas pasrah dari gadis itu. "Padahal tadi gue mau bilang kalau hari ini, wajah lo sedikit tampan. Tapi, yaudahlah. Gak jadi." Timmy lantas kembali menutup jendelanya beserta tirai.

Sementara Diga mematung di tempat. Ada desiran berbeda di dadanya. Barusan Diga sedang tidak bermimpi kan? Atau Timmy sedang kerasukan jin tomang? Entahlah. Apapun yang terjadi, Diga tetap menyimpan kalimat langka itu di dalam hati.

***

TBC!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top