Bagian 35

Setelah jam istirahat berbunyi, Timmy memutuskan untuk duduk di depan kelas. Di pangkuannya terdapat sebuah lembaran kertas pemberian Sean semalam. Timmy sedang berusaha menghapalkannya.

Sean baru saja keluar kelas. Lelaki itu sempat celingak-celinguk mencari keberadaan Timmy, hingga akhirnya ia menemukan gadis itu tak jauh dari sana. Sean lantas ikut duduk di samping Timmy. Gadis itu tampak memejamkan matanya, dengan keadaan mulut yang berkomat-kamit. Sean melengkungkan senyumnya. Gadis itu ternyata benar-benar berniat untuk berubah.

Sean sempat mengira bahwa Timmy keluar kelas dalam keadaan menangis, pasca diomeli oleh guru Fisikanya tadi. Namun ternyata dia salah. Sean lupa bahwa sepupunya ini adalah gadis yang tegar.

Satu hal yang membuat Sean kagum pada Timmy. Gadis itu terlalu pandai menyembunyikan rasa sedihnya.

Gadis itu masih juga belum sadar akan kehadirannya. Sean menatap sekeliling, hingga manik matanya terfokus pada sebuah objek. Sean lantas membuka suara, "Rumput di taman sekolah itu sering diinjak, tapi gapernah mati."

Timmy yang tadinya sedang khusyuk menghapal, kini tersentak kaget, karena tiba-tiba mendapati sepupunya yang sudah duduk di sampingnya.

"Satu ngomong apa tadi?" tanyanya, dengan lugu.

Sean beralih menatap Timmy. "Orang yang pergi ke taman, rata-rata cuma fokus sama bunga-bungaan. Bagi mereka, bunga itu spesial. Sementara rumput liar, sekalipun dia keliatan indah, tapi dia gak akan bisa menandingi bunga," ucapnya. Sean hanya ingin menghibur sepupunya. Ia kembali melanjutkan ucapannya,  "Rumput liar selalu diinjak, sementara bunga selalu disanjung. Orang-orang jelas gak tega untuk nginjak bunga. Karena semua orang tau, bunga itu rapuh. Sebenarnya rumput liar itu istimewa. Dia tegar. Ketika dia diinjak, mungkin fisiknya akan layu, tapi gak lama setelah itu, dia akan kembali normal, seolah gak terjadi apa-apa."

Sean beralih menatap taman kecil yang tak jauh dari tempatnya. "Meskipun orang-orang lebih memilih bunga. Tapi gue lebih suka sama rumput liar," ucapnya kembali menatap Timmy, sambil tersenyum.

Timmy mengerjap beberapa kali. "Satu ... herbivora ya?"

***

Sepulang sekolah, Timmy masih stay di sekolah bersama murid-murid lainnya untuk mengikuti kegiatan ekskul. Saat ini, ia sedang berpisah dari kerumunan karena sedang diberi waktu istirahat. Diga lantas menghampirinya. Mereka berdua duduk di bawah pohon, menonton kegiatan murid-murid di ekskul lain. Semenjak dikeluarkan dari ekskul futsal, Diga memilih untuk bergabung di ekskul Pramuka.

"Belakangan ini, lo jadi beda. Lo kenapa sih?" tanya Diga, memulai obrolan. Lelaki itu sama sekali tak menatap Timmy. Begitu pula dengan Timmy. Mereka fokus menatap lurus ke depan, dengan isi pikiran yang jelas berbeda.

"Gapapa," balas Timmy singkat. Diga mengernyit heran. Ini bukan Timmy yang dia kenal!

"Gapapa apanya? Lo malah sering main sama Sean. Pas jam istirahat juga lo malah belajar, bukannya ke kantin. Gimana gak aneh coba."

"Gapapa."

"Astaga, lo kesurupan, apa gimana sih?! Dari tadi jawabnya gapapa mulu!"

"Gamama."

"Bodo lah! Heran gue sama perempuan!" Diga lantas bangkit dari duduknya, dan memilih untuk bergabung dengan kelompok ekskulnya.

***

Di sebuah ruangan kelas, khusus English club, para anggotanya kini bersiap-siap hendak pulang, karena jam ekskul telah usai. Begitu pula dengan Sean. Saat lelaki itu hendak melangkah, seseorang tiba-tiba saja memanggilnya.

"Sean, tunggu!" Orang yang memanggilnya adalah Dinda. Gadis itu duduk di belakangnya. "G-gue mau bicara bentar."

Sean melirik jam dinding sekilas, lantas mengangguk.

"Din, pulang yuk," sahut seorang perempuan, sekelas dengan mereka.

"Iya, duluan aja," balas Dinda. Teman perempuannya berlalu, dan tinggallah mereka berdua di ruangan ini. Dinda meneguk salivanya lebih dulu. "Minggu ini, gue mau ngajak lo diskusiin materi Kimia. Lo keberatan gak?"

"Kayaknya gak bisa. Sorry," jawab Sean enteng. Lelaki itu lantas melanjutkan langkahnya. Dinda sempat terperangah beberapa saat. Sean benar-benar berubah menjadi dingin tak tersentuh semenjak beberapa bulan yang lalu.

Dinda berusaha mensejajarkan langkahnya dengan lelaki itu. "Boleh gue tau alasannya?"

"Gue ada janji sama yang lain."

Kedua bola mata Dinda membulat sempurna. "Yang lain? Siapa?"

"Timmy."

Dinda sontak terkejut. "Gak mungkin." Sementara Sean, tak merespon ucapannya. "Orang kayak dia gak mungkin punya niat belajar! Lagipula-" Ucapan Dinda spontan berhenti, kala Sean menoleh dan menatapnya dengan sorot datar. Lelaki itu menghentikan langkahnya.

"Setinggi apapun ilmu yang lo punya, gak akan ada gunanya kalau lo gak berbagi ilmu ke orang lain!" tegas Sean. Hal itu mampu membuat Dinda terkesiap.

***

Selepas pulang sekolah, Timmy lantas segera membersihkan dirinya dan langsung menunaikan sholat Ashar. Belakangan ini, dia lebih sering dibonceng oleh Sean karena Vano kerap pulang pukul 6 sore. Sepeda listrik milik Timmy, kini sudah tak digunakan lagi. Benda itu dibiarkan begitu saja di garasi. Lagipula, Timmy tidak terlalu membutuhkan benda itu, selagi ada Sean yang berbaik hati menawarkan tumpangan untuknya.

Timmy mendaratkan bokongnya pada sisi ranjang, lantas melipat kedua kakinya. Tangannya sudah menggenggam sebuah tabel periodik unsur Kimia. Sean bilang, jika ia ingin mudah mempelajari Kimia, sebaiknya dia menghapal hal-hal dasar lebih dulu. Seperti unsur-unsur Kimia pada tabel periodik misalnya.

Sean menyuruh gadis itu untuk mendalami pelajaran Kimia daripada pelajaran lainnya karena di sekolah mereka, Pak Ali selaku guru killer itu sering memberikan kuis dadakan. Belum lagi dengan ulangan harian serta remedial rutin yang diadakan sebelum pergantian BAB. Sementara guru lainnya, mereka hanya terfokus pada keaktifan siswa saat proses belajar mengajar berlangsung serta nilai tugas yang diberikan. Lagipula guru-guru lain tidak terlalu sering mengadakan ulangan.

"Golongan 3A. B, Boron. Al, Aluminium."

Timmy memejamkan matanya, berusaha mengulang tulisan yang ia baca sebelumnya. "B, Boron. Al ... Hmm ... Aluminium."

Ceklek!

Pintu kamarnya terbuka. Rea, Bundanya datang menampilkan senyum hangat. Timmy tebak, pasti Bundanya merasa kesepian karena Papinya belum pulang. Wanita itu beralih untuk duduk di samping putrinya.

Rea senang, melihat perubahan putrinya. Cukup mendadak memang. Rea sendiri belum tahu, apa alasan putrinya melakukan semua ini.

"Timmy lagi belajar apa?"

"Tiga lagi ngafalin ini, Bun." Timmy menunjukkan selembar kertas berisi tabel periodik unsur. Rea melirik benda itu. Tentu saja ia merasa tak asing. Ketika SMA, pelajaran Kimia termasuk pelajaran favoritnya, begitu pula dengan Vano. Keduanya cukup unggul di bidang yang satu itu. Mereka juga cukup dekat dan sering berinteraksi dengan Pak Ali di luar jam pelajaran. Rea rindu mengingat moment-moment belajarnya dulu.

"Guru Kimia Timmy, namanya siapa?"

"Pak Ali, Bun."

Rea cukup terkejut, kala mendengar guru favoritnya masih aktif mengajar hingga saat ini. Sayang sekali, Rea tidak pernah berjumpa dengan beliau saat ia berkunjung ke sekolah Timmy.

"Pak Ali itu, gurunya Bunda ya? Soalnya, dari sekian banyak guru, cuma Pak Ali yang paling tua di sana," imbuh Timmy. Rea hanya membalas dengan anggukan sembari tersenyum hangat.

"Timmy mau ngafalin tabel periodik ya? Sini, Bunda bantuin."

Timmy mengangguk antusias. "Bunda, tolong bantuin cek di bagian golongan 3A aja ya. Tiga baru ngafalin yang itu." Rea membalas dengan anggukan kecil. Sementara Timmy, kembali memejamkan matanya.

"Golongan 3A. B..." Gadis itu kembali mengetukkan jarinya di dahi. Hal yang paling membuat Timmy kesal dengan dirinya sendiri, karena ia tak mampu mengingat pelajaran dalam waktu singkat. "B ... Hmm..."

Lima menit kemudian, Timmy masih belum mengingat hapalannya. Rea jadi tidak tega melihat putrinya. "Bunda kasih spoiler ya. Nama unsurnya terdiri dari lima huruf."

Timmy mulai menghitung jarinya. Berusaha mengingat-ingat nama unsur itu. "Lima huruf ... B ...Hmm..."

Gadis itu kembali berkomat-kamit, sembari menghitung jarinya. "B ... b-bakso?"

Rea terkesiap. Detik selanjutnya, wanita itu terkekeh. "Timmy laper ya?"

Timmy membuka matanya, cukup heran melihat Bundanya yang tiba-tiba saja tertawa. Gadis itu lantas menggaruk tengkuknya pelan.

"Ayo makan dulu. Hapalannya dilanjutin setelah makan ya. Nanti Bunda bantuin lagi."

Rea merangkul putrinya untuk berjalan keluar kamar. "Oh, atau Timmy beneran pengen bakso? Bunda telponin Papi ya, suruh beliin bakso sebelum pulang nanti."

Timmy menatap Bundanya sembari menyipitkan kedua matanya. "Bunda pasti lagi modus ya? Bilang aja Bunda lagi kangen denger suara Papi."

Mendengar tuduhan fakta itu, Rea lagi-lagi hanya bisa terkekeh. Rea terlalu malu untuk mengakuinya terlebih di hadapan putri polosnya ini.

***

TBC!

Sean Ferelio

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top