Bagian 29

Hari ini pertandingan futsal antar sekolah tetangga sedang berlangsung. Diga menatap lapangan dengan nanar. Harusnya dia juga ada di sana. Pikirannya berputar ke masa lalu. Masa dimana ia dan gadis itu menginjak masa SMP.

"Emangnya cowok kriteria lo gimana sih?" tanya Diga pada gadis di sampingnya. Waktu itu, mereka sedang duduk di atas pohon mangga milik tetangga.

Gadis itu tampak berpikir, "Pokoknya, yang penting dia laki-laki," jawabnya terlalu simple. Diga mendengkus pelan. Lelaki itu kembali bersuara,

"Gue laki-laki loh," sahutnya, mencuri kesempatan.

"Iya, tau kok."

"Kriteria lainnya?" tanyanya, cukup penasaran.

"Hmm..." Gadis itu kembali berpikir, ia mencabut satu daun mangga, lantas meremuknya. "Kalau bisa sih, dia jadi bapaknya bola."

"Hah?"

"Apa?" tanya gadis itu.

"Gimana-gimana? Bapaknya bola?"

"Masa lo gak tau sih! Itu loh, si Romi teman sekelas kita. Dia kan jadi bapaknya bola sejak kelas 8."

Diga tampak berpikir keras. Entah apa yang sedang dibicarakan gadis di sampingnya ini. "Maksud lo ketua tim futsal?"

"Iya!"

Diga kembali bersuara, "Kenapa harus jadi itu?"

"Biar bisa nyeludupin gue ke tim-nya pas tanding."

Diga terperangah. Dia tak menyangka dengan alasan gadis itu. Lelaki itu berdehem pelan, "Kalau gue jadi ketua tim futsal pas SMA, lo mau jadi pacar gue dong?

Gadis itu menatapnya, sembari berkerut heran. "Pasar?"

Diga tersadar dari lamunannya saat mendengar suara berisik dari lapangan. Anggota dari tim ekskulnya kini sedang berkumpul. Diga mau tak mau juga ikut menyusul.

Raihan - salah satu anggota tim futsal yang ikut tanding hari ini, sedang terkulai lemas di lantai. Tak lama setelah itu, beberapa anggota PMR datang. Penyakit asma lelaki itu kambuh. Guru pembimbing mereka bahkan tak menyangka akan hal itu. Beliau memarahi Elga karena tak becus memilih anggota tim yang handal.

Wajar saja, kejadian itu terjadi saat pertandingan sedang berlangsung. Dan sekarang, pertandingan terpaksa dijeda karena masalah ini.

Setelah memarahi Elga, guru pembimbing itu kini beralih pada anggota tim futsal yang sedang berkumpul.

"Diga, kamu gantikan Raihan!" ucap guru pembimbing to the point. Diga terkejut, sekaligus tidak menyangka. Namun ia juga senang luar biasa. Di sisi lain, Elga mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat.

"Siap, Pak!" jawab Diga, antusias.

***

Timmy ikut menonton pertandingan futsal itu di tepi lapangan. Gadis itu tampak excited. Ia bahkan mengeluarkan sebuah kursi dari kelas demi bisa menonton pertandingan dengan khusyuk. Sean dan laki-laki lainnya memilih untuk menonton sambil berdiri. Timmy tampak seperti ratu yang dikawal oleh prajurit saat ini. Gadis itu bahkan tak segan-segan meneriaki nama sahabatnya.

"DUA! SEMANGAT!!!"

"WOI DUA! BOLANYA DI BELAKANG LO ELAH!"

"BEGO LO, DUA!!!"

Ya, kira-kira seperti itulah bunyi teriakan gadis ajaib itu. Beberapa orang di sekitar Timmy menatap gadis itu aneh. Terlebih dengan kaum perempuan yang sedang membuat vlog. Suara Timmy benar-benar mengganggu.

Brukk!!!

Tanpa disadari, sebuah bola melesat dengan cepat, dan menabrak wajah Timmy hingga gadis itu terjatuh dari kursinya.

"TIGA!"

***

Lima menit sebelumnya...

Diga jelas merasa senang, karena akhirnya ia ikut andil dalam pertandingan ini. Dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk tim-nya. Apapun caranya mereka harus menang!

Namun semua tidaklah semudah yang ia bayangkan. Diga merasa kesulitan, karena minimnya kekompakan antar tim. Terlebih pada Elga. Lelaki itu kerap mengambil alih bola dari lawan, namun sayang ia tak berhasil mencetak gol.

Sebenarnya mudah saja, jika Elga memiliki solidaritas yang tinggi. Namun lelaki itu memilih untuk bersikap egois, dia enggan mengoper bola pada tim-nya sendiri.

Diga yang posisinya sangat strategis untuk mencetak gol, berteriak menyeru Elga agar mengoper bola itu padanya. Elga memang sempat meliriknya sebentar, namun ia malah bersikap seolah tak acuh. Elga kembali menendang bola ke gawang lawan, namun lagi-lagi gagal. Diga mengumpat di dalam hati. Ia jadi tak bersemangat untuk melanjutkan pertandingan ini.

Samar-samar, ia mendengar teriakan tak asing dari tepi lapangan.

"DUA! SEMANGAT!!!"

"WOI DUA! BOLANYA DI BELAKANG LO ELAH!"

"BEGO LO, DUA!!!"

Diga melirik orang itu. Bibirnya melengkungkan seulas senyum. Ya! Gadis itulah yang membuatnya terobsesi menjadi ketua tim futsal.

Diga kembali fokus pada pertandingannya. Tepat di hadapannya, Elga sekali lagi menendang bola, namun bukan ke arah gawang. Bola itu melesat dengan kecepatan tinggi, dan mengarah ke penonton.

Brukk!!!

Malang sekali, bola itu malah mendarat pada seorang gadis di tepi lapangan. Timmy, satu-satunya gadis yang menonton sambil bersantai di sebuah kursi itu kini terjungkal di atas lantai.

"TIGA!"

Diga yang melihat hal itu secara kasat mata, jelas tampak shock! Kedua tangannya terkepal. Pertandingan kembali dihentikan. Beberapa orang kini mengerubungi Timmy. Diga hendak menyusul gadis itu, namun ia beralih untuk menuntaskan urusannya lebih dulu.

Diga melangkah tergesa ke arah Elga, lantas-

Bugh!

"BAJINGAN!"

Bugh!!

Diga kembali melayangkan bogem mentah pada Elga. Bukan hanya sekali-dua kali, namun berkali-kali. Dan anehnya, Elga sama sekali tak membalas pukulannya.

Beberapa anggota, sempat menghentikan aksi brutal Diga, namun lelaki itu tak memedulikannya.

Priiitttt!!!

"DIGA! APA YANG KAMU LAKUKAN?!"

***

Sean yang berdiri di samping Timmy cukup terkejut saat melihat bola melesat dengan cepat dan menabrak sepupunya hingga terpental ke lantai. Semua orang terkejut akan hal itu.

Dengan gerak cepat, Sean lantas menyusul gadis itu dan membantunya untuk duduk. Beruntungnya Timmy tidak pingsan. Namun gadis itu hanya diam saja.

"Timmy? Hei..." Sean menepuk pipi gadis itu pelan. Namun gadis itu tak menyahut. Ia bahkan tak bergerak sama sekali. Kedua kelopak mata gadis itu kini sedikit terkatup. Sebuah cairan kental berwarna merah keluar dari lubang hidungnya. Sean yang panik langsung saja menggendong tubuh gadis itu ke UKS.

Setibanya di UKS, dua anggota PMR segera menangani Timmy. Mereka menggulung tisu, lantas menyumpalnya di bagian hidung yang mengeluarkan darah. Sedikit sulit dilakukan, mengingat gadis itu tidak bereaksi saat disuruh menengadahkan kepalanya. Timmy tampak seperti orang shock. Begitulah yang dipikirkan orang-orang. Padahal gadis itu masih sadar, namun ia tak bergerak, apalagi berbicara sedikitpun.

"U-udah selesai," ucap salah seorang anggota PMR pada Sean. Gadis itu sedikit grogi karena adanya lelaki tampan seperti Sean di tempat ini.

Sepeninggal anggota PMR itu, Sean beralih untuk berdiri di samping sepupunya. Mata gadis itu terlihat sayu. Sean menepuk pipinya pelan.

"Timmy? Ada yang sakit lagi?" tanyanya. Bibir gadis itu sedikit bergerak. Sean menatapnya heran. Timmy tampak aneh.

"T...." Gadis itu berusaha untuk bersuara.

"Iya? Lo mau apa?" tanya Sean sembari mendekatkan telinganya pada gadis itu.

"T-ttt..." Timmy tampak kesulitan bicara.

"Apa Timmy?"

"T-teh anget," ucap gadis itu lancar. Sean mematung. Apa gadis itu sedang bercanda?

Hening beberapa saat hingga akhirnya Sean kembali bersuara, "Bentar. Gue beliin dulu."

Sean beranjak keluar dari UKS. Tinggallah Timmy di ruang bernuansa putih ini sendirian. Pelan-pelan, gadis itu menggerakkan jari-jarinya. Ia bernapas lega. Sudah berkali-kali ia merasakan hal ini, dan Timmy sudah cukup terbiasa. Lagipula itu hanya terjadi selama beberapa menit saja.

Pintu UKS kembali terbuka. Diga datang dengan tergesa. Lelaki itu tampak panik luar biasa.

"Astaga! Hidung lo kenapa disumpel?!" Diga lantas mencabut gulungan tisu yang menyumbat sebelah hidung gadis itu dan membuangnya ke sembarang tempat. "Lo bisa mati karena gak bisa napas bego!"

Timmy menatap gulungan tisu yang kini tergelatak di lantai. Terdapat bercak darah juga di sana. "Itu ... obat gue," ucapnya.

"Hah?"

Timmy menyentuh hidungnya. Ia juga menengadah. "Alhamdulillah udah sembuh," ucapnya pelan. Hidungnya tidak lagi mengeluarkan darah.

Timmy merubah posisinya menjadi duduk. Diga kini ikut duduk di sampingnya. Berdua, di atas brankar. Ia menatap gadis itu lamat-lamat. Pangkal hidung Timmy tampak memerah.

"Masih sakit?" tanya Diga sembari menyentuh pangkal hidung gadis itu.

Timmy dengan cepat menepis tangan lelaki itu. "Jangan dipegang, Dua! Ntar darahnya keluar lagi."

"Darah? Lo mimisan?! Emang bener-bener bangsat tuh orang! Tapi lo tenang aja. Dia udah gue abisin tadi di lapangan."

"Si bangsat siapa?"

Diga menggeram kesal. "Ada lah. Gak sudi gue nyebutin namanya!"

Timmy memutar bola matanya malas. Tak sengaja ia menatap kepalan tangan Diga yang tampak memerah. Cukup kontras dengan kulit putihnya.

"Dua! Tangan lo berdarah?!" teriak gadis itu, heboh.

Diga beralih menatap tangannya. "Oh. Ini darah kotor," ucapnya lantas membersihkan bercak darah itu dengan tisu basah di atas nakas.

"Darah kotor? Lo pms?"

Diga berdecak pelan. "Ini darah si bangsat itu. Kalau aja Pak Arka gak dateng, mungkin dia udah mati di tangan gue."

Mendengar itu, Timmy bergedik ngeri. "Ntar lo masuk penjara loh. Kalau lo masuk penjara, gue sama Satu ogah jengukin kesana."

Diga menyandarkan punggungnya pada kepala brankar. Ia mengembuskan napas pelan, sebelum akhirnya kembali bersuara, "Kayaknya gue gak bakal bisa jadi ketua tim futsal."

Timmy menoleh padanya. Gadis itu tak merespon, namun ekspresinya seolah meminta penjelasan.

Diga menatap langit-langit UKS dengan nanar. Ia meneguk salivanya susah payah, sebelum akhirnya kembali bersuara, "Gue ... dikeluarin dari ekskul futsal."

***

TBC!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top