Bagian 25
Masih di acara party si kembar, Timmy yang tadinya ingin kembali bergabung bersama teman laki-laki lainnya, kini berpindah haluan saat melihat perkumpulan gadis-gadis di kelasnya.
Timmy berdiri, menatap mereka tak jauh dari sana. Setengah hatinya berniat, ingin mempunyai teman perempuan juga. Seperti Dinda yang tampak sangat akrab dengan seluruh anak perempuan di kelasnya.
Mereka sedang sibuk berselfie ria. Beberapa di antaranya ada yang mengobrol, sambil berjoget mengikuti irama musik. Kaki Timmy melangkah, mendekati mereka.
"Gue boleh gabung gak?" ucapnya, membuka suara.
Para gadis itu sontak menghentikan kegiatan mereka, lantas menoleh ke arah Timmy secara serentak.
Kening mereka bertaut. Timmy berdiri tak jauh dari mereka. Gadis itu menggenggam sebuah cangkir, bermotif boneka yang entah apa namanya. Itu memang cangkir miliknya. Dia sengaja menitipkan benda itu di dapur Diga, karena ia pun sering bermain ke rumah ini.
Para gadis itu menatap satu sama lain. Satu di antara mereka membisiki Dinda, lantas keduanya pun tersenyum penuh arti.
"Boleh kok," jawab salah satu di antara mereka. Timmy tersenyum sumringah. Gadis itu meletakkan cangkirnya yang telah kosong ke atas meja. Mungkin nantinya, dia akan diajak berjoget oleh mereka.
"Kalau gitu, lo fotoin kita dulu ya," ucap Fifi. Gadis itu memberikan sebuah kamera pada Timmy. Senyum Timmy memudar, namun ia tetap menerima kamera itu.
Fifi menepuk bahunya pelan. "Fotoin yang bagus ya."
Para gadis itu kini berbaris, dengan posisi Dinda di tengah-tengah. Salah satu di antara mereka, bersuara, "Eh, Fi. Kok lo malah nyuruh dia sih? Ntar hasilnya malah gak bagus. Lo kan tau, si Timmy itu kolot. Dia mana ngerti yang kayak begituan. Udahlah, cari PG yang lain aja!"
Timmy kini terfokus pada kamera di tangannya. Sesekali dia mengarahkan lensanya ke arah mereka.
"Timmy, lo tau cara pakainya kan?" sorak Fifi. Apa yang dikatakan teman sekelasnya tadi ada benarnya juga. Bisa-bisa, kameranya malah rusak jika Timmy mengacak-acaknya.
Timmy mengacungkan jempolnya. Fifi akhirnya bisa bernapas lega. Dinda mendekati gadis itu, lantas membisikkan sesuatu padanya. Fifi pun tersenyum penuh arti.
"Timmy, entar lo hitung sampai tiga yah?" sorak Fifi. Timmy mengangguk. Gadis itu berusaha untuk mencari posisi bidik yang pas.
"Timmy, mundur dong. Entar gak keliatan semuanya lagi."
Timmy memundurkan langkahnya pelan. Sebenarnya dia malas diperintah seperti itu, namun demi mendapatkan teman perempuan, dia harus berkorban.
"Lagi dong. Mundur lagi."
Timmy kembali mundur, tanpa menoleh ke belakang.
"Iya, lagi-lagi."
Tanpa Timmy sadari, di belakangnya terdapat sebuah kabel yang terlentang di lantai. Dinda dan yang lainnya menunggu-nunggu moment selanjutnya.
Di langkah yang ke sekian, sebelah kaki Timmy tersandung kabel, hingga tubuhnya oleng dan-
Tidak!
Timmy tidak terjatuh! Seseorang dengan sigap menahan tangannya lebih dulu. Dinda yang melihat hal itu, mengepalkan kedua tangannya geram.
"S-satu?"
"Ikut gue!" Sean membawa gadis itu untuk menjauh dari Dinda dan yang lainnya. Jika tidak ada Sean, mungkin Timmy sudah terjatuh dan akan jadi bahan olok-olokan oleh mereka.
"Eh? Kamera gue balikin dulu woi!" Fifi berteriak mengejar mereka.
***
"Jangan mau disuruh-suruh sama mereka lagi."
"M-makasih ya, Satu. Tadinya, Tiga pikir, mereka bakal nganggep Tiga sebagai teman. Tapi, ternyata-"
Ucapan Timmy berhenti saat Sean menarik kedua bahu gadis itu untuk menghadapnya.
"Gue, Diga, dan laki-laki lainnya. Kami semua teman lo!"
Timmy menunduk. Dia hampir saja lupa akan hal itu. "Makasih ya, Satu," ucapnya sendu. Sebelah tangan Sean bergerak mengusap rambut gadis itu pelan.
"Diga nyariin lo. Ayo ke sana."
Timmy mendongak. Gadis itu tersenyum kembali. "Ayo!" Ia bahkan menarik tangan Sean untuk melangkah secepatnya. Namun, langkahnya mendadak berhenti. Sean menoleh padanya.
"Kenapa?"
Timmy melepaskan tautannya pada tangan Sean. "Duh, kebelet pipis." Gadis itu bahkan menyilangkan kedua kakinya. Sean tertawa kecil melihatnya. "Tiga ke toilet dulu ya."
"Mau dianterin?" tawar lelaki itu.
Timmy menggeleng. "Gausah. Satu duluan aja. Nanti Tiga susul."
***
Setelah menuntaskan urusannya di kamar mandi, Timmy akhirnya bisa bernapas lega. Gadis itu merapikan gaunnya yang sedikit berantakan, sambil terus melangkah.
Kakinya yang berbalut high heels, tak sengaja menginjak sebuah kulit pisang hingga-
Bruk!!!
Kali ini, Timmy terjatuh karena alasan. Gadis itu terpleset dan jatuh secara tertelungkup. Ia mendengkus kesal tentunya.
Tapi, tunggu!
Gadis itu menoleh ke arah kakinya. Dan benar saja, ada sebuah kulit pisang di sana. Tapi, setahu Timmy, Diga dan keluarganya tidak suka dengan buah itu. Terlebih, di acara party ini juga tidak menyediakan buah pisang seperti acara sunatan. Lalu, darimana asal buah pisang ini sebenarnya?
Timmy tampak berpikir keras. Ini seperti sebuah kesengajaan. Tepat saat ia hendak bangkit, sebuah benda menggelinding ke arahnya.
Yap! Itu sebuah gulungan kertas berpita merah!
Timmy merubah posisinya menjadi duduk. Kepalanya menoleh ke kanan-kiri. Tidak ada siapa-siapa selain dirinya di sini. Gadis itu mengusap dengkulnya pelan. Terasa sedikit nyeri di sana. Ia beralih untuk meraih gulungan kertas berpita merah. Perlahan, Timmy membuka gulungan kertas itu, dan mulai membacanya.
Huruf itu milikku. Aku adalah miliknya. Namun, saat aku lengah sedikit saja, dia malah berpaling pada yang lain. Kau tentu tau siapa orang itu.
Nikmati pestanya, Titik. Bersenang-senanglah selagi kau bisa. Aku ada di sekitarmu.
Timmy meremas kertas itu. Matanya dengan sigap menatap ke segala arah. Sudah lama ia tak mendapatkan gulungan kertas berpita merah itu lagi. Dan sekarang, si Tanda Seru itu bilang bahwa dia ada di sekitar Timmy. Itu artinya-
"Tiga?"
Timmy tersentak. Gadis itu mendongak, dan mendapati Diga yang sudah berada di hadapannya.
"Lo jatuh lagi?" Lelaki itu geleng-geleng kepala, lantas membantu Timmy untuk bangkit. "Apa kata gue tadi. Mending lo pake sepatu boots."
Timmy menatap Diga lekat. Ia tentu curiga, lelaki itu tiba-tiba saja ada di hadapannya.
"Heh, Dua! Kenapa lo tiba-tiba ada di sini?"
Kening Diga mengernyit. "Lo lupa, ini rumah siapa?"
Benar saja. Tapi, tetap saja Timmy masih curiga dengan teman dekatnya ini.
"Dahlah. Yang lain pada nungguin lo tuh. Skuy lah main game!"
***
Diga merangkul bahu Timmy untuk kembali ke ruang tengah. Wajah Timmy sama sekali tidak ceria seperti sebelumnya. Ia merasa seperti dipermainkan. Entah oleh siapa.
"Si Edo belum pernah main ABC lima dasar katanya. Bego banget tuh bocah. Tapi tenang aja, gue udah pro main begituan. Ya nggak?" ucap Diga sembari melangkah. Timmy hanya bungkam.
"Guys, mohon perhatiannya sebentar."
Suara musik yang tadinya mendominasi ruangan ini, kini berhenti, digantikan dengan suara Dinda yang menggunakan mikrofon.
Orang-orang kini beralih untuk berkumpul dan mengelilingi gadis itu. Begitu pula dengan Timmy dan Diga.
"Sebelumnya gue mau ngucapin terimakasih buat kalian yang udah hadir di sini," gadis itu tersenyum hangat. Dinda benar-benar tampak cantik. "Di hari yang spesial ini, gue berharap satu-persatu impian gue bakal terwujud. Oh iya, kegiatan selama di party ini udah gue rekam dan bakal gue tayangin di channel YouTube gue, coming soon. Jangan lupa tonton ya."
Orang-orang bersorak gembira. Maklum saja, Dinda ini kan seorang YouTuber. Berteman dengan gadis itu adalah sebuah keberuntungan bagi mereka.
"Sebenarnya, ada hal penting lainnya yang mau gue sampein. Dan ini, khusus buat orang yang punya tempat spesial di sini." Dinda menunjuk dada sebelah kanannya. Para gadis berteriak histeris.
Dinda menarik napasnya lebih dulu. "Dia ... orang asing yang berharga buat gue. Dia, lebih dari sekedar teman curhat, rekan belajar, ataupun sahabat. Cuma dia yang ada disaat gue lagi dalam keadaan rapuh. Bagi gue, dia jauh lebih berarti dari keluarga gue sendiri. Perasaan ini, sebenarnya udah ada sejak lama. Jauh, sebelum gue beranjak remaja. Dan sekarang, gue mau ngungkapin semuanya. Dia ... orang itu adalah-"
***
TBC!
Yuhu!!! Double up lagi:v
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top