Bagian 10
Timmy duduk termenung di kursi depan rumahnya. Terhitung lima belas menit semenjak pulang sekolah tadi ia melakukannya. Terlalu mager rasanya untuk beranjak, walau untuk sekedar mengganti pakaian, atau melangkah masuk ke kamar. Yang ingin ia lakukan saat ini hanyalah melanjutkan lamunannya.
Satu hal yang terbesit di benaknya. Gulungan kertas berpita merah!
Tanda Seru, Titik, Huruf, dan Tanda Koma...
Semua itu berkaitan dengan materi Bahasa Indonesia kan?
Apa-apaan ini?
Tiga kali ia mendapat gulungan kertas yang sama dengan isi yang jelas berbeda.
Apa dia sedang diteror?
Atau, apa mungkin pelakunya salah sasaran? Tapi, sepertinya tidak. Meski Timmy belum bisa memecahkan salah satu teka-teki di kertas itu, ia yakin, si Titik yang dimaksud di dalam kertas itu memanglah dirinya.
"Dua!" Timmy berteriak, memanggil Diga yang lewat di depan rumahnya. Lelaki itu sudah mengganti seragam sekolahnya. Ketika mendengar panggilan dari Timmy, Diga sontak menghentikan motornya secara mendadak. Jantungnya lumayan terkejut.
"Mau ke mana?" tanya gadis itu.
"Futsal."
Raut wajah Timmy mendadak gembira. Tanpa peduli apapun, gadis itu langsung berlari mendekati Diga.
"Ikut!!!"
***
Setelah tiba di arena futsal, Diga memarkirkan motornya. Timmy menuruni motor itu lantas berdiri di sisi Diga. Merasa heran, Diga menatap gadis itu.
"Buruan ganti seragam. Bentar lagi pertandingannya mau mulai."
Benar saja. Saat ini, Timmy masih menggunakan seragam sekolahnya plus dengan ransel yang masih bertengger di pundaknya.
"Gak bawa." Gadis itu cengengesan. Diga sedikit kesal, namun ia mencoba untuk bersikap biasa saja.
"Yaudah. Lo jadi penonton aja." Lelaki itu membimbing Timmy untuk menatap arena futsal dari jarak jauh, lantas menunjuk sesuatu. "Itu ... Lo duduk di sana. Gue cuma sebentar kok."
Timmy menggeleng.
"Apalagi?" tanya lelaki itu.
"Gue mau ikut main!"
"Terus seragam lo?"
Timmy tampak berpikir. Beberapa teman sekelasnya sudah datang. Mereka sempat melambaikan tangan kepadanya. Gadis itu hanya membalas dengan senyuman khasnya.
"Gue punya ide!" sahut Timmy tiba-tiba. Diga mengangkat sebelah alisnya, bertanya.
"Gue bisa ikutan main, kalau pakai seragam sama rambut palsu. Kalau gitu, ayo balik ke rumah," jawabnya.
"Bokap lo bukannya lagi ada di rumah? Kalau dia tahu, bisa panjang urusannya. Udahlah, lo jadi penonton aja. Besok-besok gue janji bakal ajak lo main lagi. Ayok!"
Kedua orang tua Timmy memang tidak tahu tentang kebiasaan Diga yang sering membawa gadis itu bermain futsal. Vano dan Rea melarang keras gadis itu melakukan olahraga berat. Tidak boleh terlalu sering berlari, apalagi bermain futsal. Lagipula Timmy itu perempuan. Tapi, Timmy tidak menghiraukan semuanya. Itu sebabnya gadis itu menjual ponselnya guna membeli seragam futsal, sepatu, dan tetek bengek lainnya secara diam-diam.
Diga menarik tangan gadis itu, mengajaknya untuk masuk ke ruangan futsal, namun Timmy bergeming. "Dua, lo tau tempat penyimpanan seragam futsal gue kan?"
"Tau. Di dalam lemari kan? Yang ada kotak hitam- Eh, tunggu!" Lelaki itu menghentikan ucapannya. Ia tahu persis maksud gadis licik di depannya ini. "Lo nyuruh gue nyelinep masuk ke kamar lo buat ngambil seragam kan?"
"Seratus!" Gadis itu cengengesan. Diga menatapnya semakin kesal. "Please, Dua! Udah lama gue gak main futsal. Please ya..."
Diga melepaskan pegangan tangan Timmy, lantas melangkah kembali ke parkiran. Lelaki itu menaiki kembali motornya, lantas menghidupkan mesinnya. Timmy masih bergeming di tempatnya.
"Tunggu di sini!" sahut Diga sebelum akhirnya melesat pergi. Diam-diam, Timmy mengulum senyumnya. Meski sering galak dan suka berkata kasar, Diga tetaplah manusia yang baik hati.
***
Tak butuh waktu lama, Diga akhirnya sampai di rumah Timmy. Motornya, ia parkirkan di pinggir jalan. Dengan mengendap-endap, lelaki itu berjalan mendekati jendela kamar gadis itu. Beruntungnya jendela itu sedang tidak dalam keadaan terkunci. Diga bergegas memasukinya.
Lemari kaca berukuran sedang itu, ia buka. Diga berjongkok, mengambil sebuah kotak hitam yang ditutupi dengan beberapa tumpukan kotak kosong di atasnya.
Cukup mudah bagi Diga untuk menjalankan misinya. Dia sudah terbiasa masuk ke kamar gadis itu. Begitu pula dengan Timmy. Mereka berdua sama saja.
Diga kembali berjalan menuju jendela. Satu langkah lagi, maka ia akan berhasil sepenuhnya.
"Tiga..."
Mampus!
Diga mematung. Itu suara Vano.
Pintu kamar tiba-tiba saja diketuk, hal itu mampu membuat jantung Diga berdetak lebih cepat. Bahkan sangat cepat.
"Tiga, Bunda kamu masakin cake tuh. Kamu mau gak? Kalau nggak, Papi abisin nih."
Keringat dingin mulai mengalir di sekitar wajah Diga. Dengan kaki gemetar, lelaki itu berusaha untuk melompati jendela, namun-
Ceklek!
Sebelah kaki Diga baru saja menapak, Vano membuka pintu dan menatapnya terkejut. Kedua bola mata pria itu membulat sempurna.
"NGAPAIN KAMU DI SINI? MANA TIGA?!"
"A-anu, Om..."
Vano melangkah mendekat, lantas menarik paksa lelaki itu agar menghadapnya. Tepat saat Diga berdiri, kotak hitam di tangannya terjatuh. Beberapa seragam futsal, sepatu, beserta wig tercecer ke lantai.
Melihat benda-benda itu, dada Vano bergerak naik-turun, emosi.
"DI MANA TIGA?!"
Jujur, ini kali pertama Diga melihat sosok Vano yang marah seperti ini.
"D-di arena futsal, Om."
Bugh!
***
Sepuluh menit berlalu, Diga belum juga kembali. Mungkin sebentar lagi pertandingan akan dimulai. Beberapa teman kelas lelakinya mengajak gadis itu untuk masuk ke ruangan, namun Timmy masih senantiasa menunggu Diga di luar.
Dua menit berlalu.
Timmy mendadak kebelet buang air kecil. Terpaksa, gadis itu masuk ke dalam untuk mencari bilik wc.
Untung saja keadaan toilet sedang kosong. Biasanya para lelaki menggunakannya untuk mengganti baju, dan lainnya.
Timmy sedikit lega. Setelah menuntaskan kegiatannya, gadis itu berniat membuka pintu bilik wc, namun terhenti. Bersamaan dengan itu, pintu toilet malah terbuka. Seseorang masuk, dan itu pasti laki-laki.
Timmy panik.
Bunyi suara aliran air yang jatuh mengenai lantai terdengar tak asing olehnya. Orang itu berada di bilik sebelah. Biar Timmy tebak, orang itu pasti sedang buang air kecil.
Ini kesempatan bagus untuk kabur!
Saat Timmy keluar dari bilik wc, tak sengaja ia menoleh pada bilik di sebelahnya.
"Kyaaaaaaa!!!" Gadis itu sontak berteriak, saat melihat keadaan pintu bilik wc yang ternyata tidak ditutup. Penampakan seorang lelaki yang sedang buang air kecil dengan membelakanginya pun terlihat oleh mata telanjangnya.
Lelaki itu tak kalah terkejutnya dengan Timmy.
"Bangsat! Kurang ajar lo!" Setelah mengumpat, lelaki itu menutup pintu bilik wc nya dengan kasar. Lantas menyiram sesuatu yang perlu disiram.
Timmy merutuki mulutnya di dalam hati. Gara-gara mulut sialannya, mata sucinya malah melihat apa yang seharusnya tidak dilihat.
Pintu bilik wc itu kembali terbuka dengan kasar. Timmy tampak kalang kabut. Ia mencoba untuk melarikan diri, namun terjatuh.
Sial!
Padahal ini bukan saat yang tepat.
Lelaki itu berjongkok di hadapannya. Timmy mendongak. Mereka saling menatap satu sama lain.
"Empat?"
Ya. Lelaki itu adalah Elga.
"Lo ... sengaja ngintipin gue?"
Timmy terkejut, lantas menggeleng. "Hah?! Enggak!"
"Jangan bohong! Lo pasti tukang cabul!"
"Sembarangan! Tadi gue kebelet pipis. Gue numpang di sini. Lagian mana gue tau kalau lo juga ikutan pipis!" elak Timmy.
Lelaki itu tampak kesal. "Terserah!" Kedua matanya menatap Timmy dengan tajam. "Apapun yang lo liat hari ini, lupakan! Gue harap lo gak liat-"
"Gue liat kok," balas Timmy, polos.
Kedua mata lelaki itu membulat sempurna. "APA YANG LO LIAT?!"
"Eh?" Timmy tampak grogi, terlebih saat Elga menatapnya semakin lekat. "G-gak jadi."
Elga bangkit. Sementara Timmy masih tertelungkup di lantai. Persetan dengan gadis siluman itu! Elga tidak punya banyak waktu untuk meladeninya. Sebentar lagi pertandingan akan dimulai. Lelaki itu berjalan, hendak keluar dari toilet, namun langkahnya terhenti.
Ia baru ingat satu hal. Lelaki itu berbalik, tepat saat Timmy baru bangkit.
"Woi! Ngapain lo ada di sini?!" ucapnya setengah teriak. Ia berjalan mendekati Timmy.
"G-gue ... m-mau-"
"Oh, jangan bilang lo mau ikut tanding?!" tebaknya, tepat sasaran.
Timmy meneguk salivanya dengan susah payah. Elga semakin berjalan mendekatinya. Timmy juga semakin memundurkan langkahnya, hingga punggungnya menabrak dinding.
Elga tertawa sebentar, lantas berdecih. "Heran gue sama cewek siluman kayak lo. Ini bukan tempat untuk main boneka! Tempat ini khusus buat cowok! Dan kalau lo datang cuma mau bikin rusuh, mending keluar sebelum gue patahin tulang-tulang lo!"
Bukannya takut, Timmy malah menatapnya dengan tatapan menantang. Mereka saling beradu tatapan tajam, hingga akhirnya Elga berdecih.
"Buang-buang waktu!" ucap lelaki itu, lantas berbalik dan melangkah. Teman-teman sekelas pasti sedang mencarinya.
"Jelek banget omongan lo! Tapi, bodoamat sih. Intinya gue tetep ikut!" sahut Timmy.
Elga menghentikan langkahnya. Kedua tangannya terkepal. Rahangnya mengeras. Lelaki itu berbalik dan mencengkram dagu Timmy kuat.
Kedua bola mata Timmy membulat sempurna. Lelaki itu ternyata tidak main-main. Dadanya bergerak turun-naik. Timmy berusaha menepis tangan sialan itu, namun tenaga lelaki itu terlalu kuat. Bagaimana jika lelaki gila ini macam-macam?
"Gue bisa aja patahin tulang-tulang lo sekarang, tapi-"
Bola mata Elga menatap Timmy intens. Tak lama setelah itu, kedua matanya turun, menatap bagian dada gadis itu.
Timmy yang melihat itu, semakin dilanda panik. Ia membulatkan matanya tak santai.
Elga menatap bagian itu lekat. Bukan! Bukan di bagian itu. Lebih tepatnya, ia sedang menatap name tag yang tersampir di sana.
TIMMY ZAZASYA.
Masih dengan pengelihatan yang terfokus di bagian dada gadis itu, Elga merasa seperti tak asing. Keningnya mengernyit.
Brakk!!!
Pintu toilet terbuka dengan kasar. Timmy dan Elga yang masih dalam keadaan tadi, ikut terkejut. Terlebih saat seorang pria dewasa datang, menatap mereka dengan tatapan perang. Bukan mereka. Lebih tepatnya pada Elga.
BUGH!!
***
TBC!
Fyi, karena kesibukanku yang lumayan padat di real life, untuk kedepannya TIGA bakal slow update. Mungkin sekali seminggu, atau dua kali, aku juga gak bisa janji. So, selamat menunggu :")
Okay, see you next part ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top