Tiga, Lima! | 8 | Lompat, Hup!
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Cuaca di luar juga sedang mendung, membuat suasana menjadi sangat-sangat pas, untuk tidur. Hal itu tentu saja dimanfaatkan oleh Devan-- yang hari ini sedang meliburkan diri dari kantor--untuk rebahan. Mengistirahatkan tubuh dan pikiran yang lelah, mumpung anak-anaknya yang sangat anteng itu masih tidur.
Nadhira baru saja selesai memasak untuk makan malam. Rencananya, ia ingin membangunkan ketiga putranya, lalu memandikan mereka. Ah iya, mungkin kalau mereka lapar, ia akan menyuapi ketiganya setelah mandi nanti.
Tetapi, niatnya yang sudah tersusun rapi itu, mendadak buyar kala melihat Devan-sang suami yang tertidur dengan pulas di atas sofa. Pokoknya kalau malam nanti lelaki itu mengeluh minta dipijat karena badannya pegal-pegal, Nadhira tidak mau.
Ia akhirnya memilih membangunkan suaminya lebih dulu. Pasalnya, setelah ini anak-anaknya akan bangun, dan pastinya membuat kekacauan. Kalau pun lelaki itu tidak mau bangun, setidaknya dia mau berpindah tempat untuk tidur di kamar.
"Mas, bangun." Ia mengguncangkan pelan tubuh suaminya. Tetapi sayangnya, Devan tidak mau bangun.
Mendadak, Nadhira jadi teringat bagaimana suaminya itu dulu-saat mereka belum menikah. Masa-masa sekolah di mana suaminya itu sangat-sangat manja. Tetapi ya, apa harus dimanja-manja dulu, supaya bangun?
"Mas, bangun dulu. Nanti anak-anak pada bangun, kamu-nya susah sendiri." Nadhira masih berusaha membangunkan suaminya itu. Tetapi sayang, Devan enggak mau bangun. Ia hanya bergumam malas, dengan suara serak yang terdengar tak jelas.
Lama-lama, Nadhira jadi kesal.
"Aku gak tanggung jawab ya, kalo anak-anak bar-bar ke kamu!"
Hanya terdengar gumaman tidak jelas saja dari suaminya. Membuat Nadhira pada akhirnya menghela napas lelah.
Segera ia memilih membangunkan ketiga putranya, lalu kemudian memandikan mereka.
▶▶▶
"Seru tahu, kata onty," ujar Aksa dengan mata berbinar. Bercerita kepada kedua adiknya, tentang film yang baru saja ditonton oleh Raya, tantenya.
"Memangnya kayak apa?" tanya Alden. "Biasanya onty suka bo'ong."
Kali ini, Arsen mengangguk membenarkan apa yang abangnya katakan. "Iya. Kemalen aja, bilang selu, tapi telnyata film belbi."
Aksa mengibaskan tangannya ke udara. "Enggak! Nggak bohong," ujar Aksa. "Ada tembak-tembaknya, dor! Dor!"
"Woah? Benelin---eh benelan?" tanya Arsen, yang langsung diangguki oleh Aksa.
"Iya. Ada naik kudanya juga. Yihaaa, yihaa, gitu! Seru deh, pokoknya."
"Memangnya film apa, sih? Nanti kalo film orang gede, kita nggak boleh nonton sama Yayah," ujar Alden, membuat kedua saudaranya terdiam. Benar juga. Mereka masih kecil, pasti tidak boleh menonton film orang yang sudah besar.
"Tapi kata onty seru, tahu!" ujar Aksa lagi. "Ada tembak-tembak, naik kuda, sama lompat-lompatnya!"
"Woah, kelen!" Si bungsu tetap saja selalu merasa apa pun yang Aksa ucapkan, adalah sebuah kebenaran yang wah!
"Iya, nanti kita nonton ya, Dek. Sama Onty!"
"Mau-mau! Bilang mama dulu, ya," ujar Arsen, yang langsung diangguki oleh Aksa.
"Abang mau ikut?"
Alden diam. Dia tidak mau ikut, kalau kepala sukunya itu, tante Raya. Sebab, sudah beberapa kali dia ikut, pasti ujung-ujungnya ayah akan marah. Waktu itu saja, tantenya itu mengajak tiga keponakannya, untuk mengambil jambu milik pak RT yang berada di ujung kompleks. Pulang-pulang, keempatnya langsung dimarahi ayah Devan, karena mencuri jambu air, di mana pak RT dan keluarganya, sedang berlibur ke Bali.
"Nanti, mau bilang Yayah dulu," ujar Alden realistis.
Nadhira awalnya hanya mendengarkan saja. Ia tak mau turut mengganggu aktivitas anak-anaknya. Walaupun namanya sempat disebut-sebut, tetapi ia tetap diam. Sibuk merapikan meja yang berada di depan pintu kamar.
Setelah perbincangan anak-anaknya selesai, ia kemudian memilih masuk. Mengajak ketiga anaknya turun ke bawah, untuk makan. Soalnya tadi sebelum mandi, ketiganya mengeluh lapar, dan Nadhira menjanjikan mereka untuk makan setelah mandi.
Ketiganya sekarang sudah tampan. Wangi bedak bayi bercampur minyak telon, melumuri seluruh tubuh anak-anaknya. Ketiganya juga memakai baju dengan warna dan model serupa, yang Nadhira pesan via online beberapa waktu lalu.
Kaos dengan gambar kerro-kerroppi itu, nampak pas di tubuh ketiga anaknya. Terlebih lagi, dengan warna hijau muda berpadu celana katun pendek selutut hitam yang ketiganya kenakan, menyajikan kesan segar.
"Mama ambil nasinya dulu, ya. Anak-anak gantengnya Mama, tunggu di sini, oke?"
"Oke, Mama!" jawab ketiga anaknya kompak, membuat Nadhira tersenyum senang.
"Jangan gangguin ayah, ya? Ayah capek, mau bobok, oke?" ujar Nadhira sekali lagi, untuk mengingatkan ketiga putranya itu.
Trio A diam sebentar, kemudian mengangguk. Membuat Nadhira akhirnya bergegas menuju dapur, untuk mengambil nasi untuk kemudian menyuapkan ketiga anaknya.
Anak-anaknya itu memang sudah besar. Bukan berarti Nadhira dan Devan terlalu memanjakan mereka, hingga sampai sebesar ini, anak-anaknya masih disuapi. Ketiganya juga memang sudah pintar makan sendiri. Hanya saja, hal ini dipilih oleh Nadhira supaya anaknya itu tidak susah makan. Ya, tahu sendiri bagaimana susahnya anak-anak yang disuruh makan, saat sedang asyik bermain, bukan?
Kembali ke Trio A, ketiganya kini nampak asyik menceritakan bagaimana kisah perang yang dicertakan oleh Raya. Bagaimana saat menembak-nembak, saat menunggangi kuda, dan lain sebagainya. Oh, jangan lupakan tambahan yang amat berlebihan dari Aksa, yang sebenarnya tidak diceritakan oleh Raya.
Sementara itu, Devan sendiri masih nyenyak dalam tidurnya. Walaupun hidungnya sempat mencium aroma segar bedak dan minyak telon, tetapi rasa lelahnya lebih terasa mendominasi. Matanya bahkan berat sekali, walaupun hanya untuk memastikan apakah wewangian itu memang berasal dari anak-anaknya atau bukan. Ah, sudahlah, Devan tidak mau ambil pusing. Ia memilih tetap tidur, dengan posisi telentang di atas sofa—walaupun dengan kaki yang menjuntai ke lantai, tak kebagian tempat.
"Naik kuda rasanya gimana, ya? Jadi pengin, deh!" seru Aksa sok dewasa, sembari menatap kedua adiknya.
Alden dan Arsen mengangguk membenarkan. "Iya, pengin tahu rasanya kayak apa. Nanti, kita ajak Yayah ke TK-nya abang Zello."
Aksa manggut-manggut, sembari mengingat, siapa itu Zello. Setelah ia ingat jika Zello itu adalah anak dari om Zona bahaya, yang sekarang sudah bersekolah di salah satu taman kanak-kanak.
Awalnya, semua nampak baik-baik saja, sembari menunggu mama datang membawa makanan. Namun, sayangnya Aksa melihat sang ayah yang masih tertidur, dengan dengkuran halus di atas sofa. Membuat Aksa meminta kedua saudaranya untuk mendekat, lantas berbisik, "Yayah kayak kuda, ya. Boboknya ada suara-suara aneh."
Alden dan Arsen menatap ayahnya yang berada di sofa, yak jauh dari posisi mereka. "Iya, ya." Alden mengangguk mengiyakan.
"Mamas punya adi!" seru Aksa, membuat Alden mengernyitkan dahinya, dalam sekali.
"Adi itu siapa?" tanya Alden.
"Itu lho, yang kalau di film kartun, yang suka ada lampu-lampunya di kepala," ujar Aksa. Bukannya membuat Alden mengerti, adik kembarnya itu malah semakin kebingungan.
"Ide, Mamas! Bukan adi!"
Oh, Aksa baru tahu.
Alden telmi. Sudah didului oleh Arsen, yang sekarang sudah berjalan mendekat kepada sang ayah. Awalnya, ia ingin menutup hidung ayahnya, supaya berhenti mendengkur. Sayangnya, ia segera ditegahkan oleh Aksa.
"Jangan!" seru Aksa pelan. Arsen menatap sang kakak, dengan tatapan bertanya. "Katanya mau main kuda-kudaan," ujarnya.
Lalu, terjadilah hal yang sudah diwanti-wanti oleh Nadhira sebelum trio krucil bangun.
Aksa, memberi komando kedua adiknya, untuk bersama-sama menaiki tubuh sang ayah. Si sulung dari keluarga Zildhan itu, kemudian mulai menghitung. "Satu, dua, tiga. Lompat, hup!"
Ketiganya kompak melompat, tepat pada tubuh sang ayah. Sontak saja, hal itu membuat Devan seketika kaget, sesak napas, dan merasa tulangnya remuk semua.
Aksa berada di atas perut bagian bawah, lantas Arsen di tengah, dan Alden menduduki dada ayahnya yang malang itu. Sekali lagi, Aksa memberi komando. "Lompat, lompat, hup! Hup!"
Untuk kali ini, seketika Devan tidak bisa bicara. Ingin marah, tapi tak bisa karena napasnya keburu sesak. Beruntung Nadhira segera datang dan bergegas menghampiri mereka.
"Astagfirullah Mamas, Abang, Adek! Ayahnya jangan dinaikin begitu dong, Nak! Ayah bukan kuda, sayang!"
Lain kali, Devan mau tobat saja.
▶▶▶
BTS!
Ngaco, nggak jelas. Apaan sih ini, astaga:(
Nggak jelas banget isinya maapkeun gais:(
Dahlah ya, mau off lagi:(
14.04.20
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top