Tiga, Lima! | 4 | Ayah & Trio A
"Siapa yang mau ikut Ayah? Ayah mau ke supermarket, lho!"
Awalnya, tiga buntalan manis itu, nampak bermain dengan bosan di ruang tengah. Iya. Ketiganya sama-sama memegang mainan mereka, sambil berbaring. Dibilang mengantuk, sepertinya tidak. Pasalnya, ketiganya belum lama bangun tidur. Mungkin satu jam yang lalu.
Tapi, setelah Devan mengajak pergi ke supermarket, ketiganya langsung bangkit dengan semangat. Kemudian berjalan cepat, mendekati sang ayah. Melompat-lompat kegirangan, sembari mengangkat tangan di udara.
"Mamas! Mamas! Mamas ikut, Yah!"
"Abang, Yah! Abang ikut!"
Si bungsu juga enggak mau kalah, dari kedua kakaknya. Ia turut menarik-narik kaos yang dipakai ayahnya, sambil melompat pelan. "Adek! Ikut!"
Devan tertawa-tawa bahagia, melihatnya. Akhirnya, usaha membuat ketiga putranya aktif kembali, tidak sia-sia. "Tapi, harus janji dulu!" ujar Devan, membuat ketiga putranya diam. "Gak boleh nakal, dan harus nurut sama Ayah, oke?!"
"Siap, Yayah!" seru ketiganya kompak.
Nadhira yang baru saja kembali dari dapur, membawa sebuah kertas, berisi daftar barang apa-apa saja, yang akan dibeli, oleh Devan. "Mamas, Abang, Adek. Jangan nakal, ya? Nurut sama ayah, oke?"
"Oke!"
"Pinter, anak Mama!"
Setelah berpamitan dengan mama, Devan membawa ketiga putranya menuju mobil. Menggendong mereka satu persatu, untuk dimasukkan ke dalam mobil. Ketiganya langsung anteng, di kursi belakang.
Devan dan Nadhira, sudah mengajarkan ketiganya, untuk bersikap baik, saat berada di dalam mobil. Terlebih lagi, saat mama tidak ikut, dan ayah yang harus fokus menyetir.
Tapi ternyata, hal yang mulanya dirasa sulit dan mustahil dilakukan, rupanya sangat mudah. Ketiganya itu, akan duduk anteng, kalau diberi makanan. Sudah. Begitu, saja.
Seperti saat ini, ketiganya duduk dengan tenang, sembari menikmati satu kotak susu cair, untuk masing-masing.
Aksa duduk di dekat jendela, tepat di belakang kursi kemudi. Arsen si bungsu, duduk di tengah, sementara Alden, duduk di sisi kiri. Devan juga sudah mengunci pintu, dan jendela mobil. Menghindari kejadian-kejadian tak terduga, yang bisa saja terjadi, kalau tiba-tiba dia lengah. Dan oh iya, jangan lupakan seat belt yang melindungi tubuh ketiganya.
Lagu anak-anak mengalun, dari pemutar musik. Membuat ketiga putranya, menggerak-gerakkan kaki mereka, dengan riang, mengikuti irama musik. Devan memperhatikan ketiganya, lewat kaca depan. Senyum lega, terukir di wajahnya.
"Yayah, Yayah!"
Devan bergumam pelan, menjawab panggilan dari si sulung.
"Nanti beli jajan ya, Yah?"
"Iya, nanti kita beli, ya."
"Beli pelmen juga gak, Yah?" kali ini, si bungsu yang bertanya. Menghisap kembali, susu kotaknya, dengan semangat. Menanti jawaban sang ayah.
"Iya. Nanti beli juga, ya." Jawabnya, sembari tetap fokus ke jalanan.
Tinggal Alden yang belum membuka mulutnya, untuk bertanya. Devan masih menunggu, sebab biasanya, tiga putranya itu, selalu kompak bertanya kepadanya.
"Yayah!"
Tuh, kan. Baru saja diomongkan. Devan bergumam, untuk menjawab. "Kenapa, Bang?"
Alden menatap kaca mobil, lalu mengetuk-ketuknya, pelan. "Nanti kalo pulang, beli jajan ya, Yah?"
"Jajan apa? Kenapa kok nunggu pulang?" tanya Devan. Matanya masih fokus memperhatikan jalanan. Sesekali melirik ketiga putranya, di kursi belakang.
Alden kemudian menyandarkan tubuhnya, di kursi mobil. Menggoyang-goyangkan kakinya, yang sekarang, menggunakan sepatu yang sama, dengan adik dan masnya. "Jajannya udah lewat." jelas Alden. "Tadi, Yayah gak mau berhenti."
Devan mengernyitkan dahinya, kebingungan. "Memangnya, Abang mau jajan apa?"
"Abang Al mau beli apa? Beli ciki, ya? Gak boleh kata mama, nanti batuk!"
Padahal, Alden belum menjawab, dia mau membeli apa. Tapi si sulung, sudah mengeluarkan nasehatnya.
Alden mengangkat bahunya, sok dewasa. "Abang gak mau beli ciki, kok!" katanya sewot. "Nuduh-nuduh, aja!"
"Enggak! Mamas gak nuduh!"
Si bungsu, hanya bisa memperhatikan kedua kakaknya, dengan diam. Lebih menyenangkan duduk diam, minum susu, sambil mendengarkan lagu anak-anak kesukannya, yang diputar. Tidak mau ikut campur, dengan apa yang kedua kakaknya lakukan. Malas. Ujung-ujungnya, pasti berakhir dengan saling teriak.
Devan berdecak, sebab kedua putranya itu, malah memulai pertengkaran tidak masuk akal. "Sudah, sudah! Inget gak, mama tadi bilang apa?" tanya Devan. "Gak boleh nakal, lho? Tapi ini kenapa Mamas sama Abang malah nakal? Ayah tinggal di sini, ya?!"
"Abang gak nakal! Mamas tuh, yang nakal!" Alden cemberut, sembari melipat tangannya, di depan dada. Kotak susu yang sudah habis isinya, ia buang ke dalam tempat sampah kecil, yang berada di dalam mobil.
"Abang Al yang nakal! Mamas baik, kok! Anteng juga dari tadi!"
Aduh! Tidak bisa begini terus.
Devan akhirnya memilih menghentikan mobilnya, di pinggir jalan. Memperhatikan spion sebentar, lalu menoleh kepada ketiga anaknya, saat dirasa sudah lebih aman. "Ayah gak mau lagi ya, ajak Mamas sama Abang, kalo kalian berdua berantem terus!"
"Mamas--"
"Mas ...." Devan berusaha, menegur putranya itu, dengan lembut. "Nanti, kalo sampe supermarket kalian anteng, Ayah beliin eskrim, deh! Ada yang mau?"
"Mau! Mau!" seru ketiganya kompak.
"Adek anteng, Yayah! Adek mau!!" seru si bungsu, dengan semangat.
Devan tersenyum lega, lantas berujar, "Pinter! Makanya, yang anteng, ya?"
"Oke!"
Oke, lagi. Devan berharap, semoga kata 'oke' yang kali ini, benar-benar serius.
▶▶▶
"Woah, keren!"
Aksa berteriak takjub, saat melihat boneka Doraemon besar, yang bisa berjalan. Ia beberapa pernah melihat yang seperti ini, tapi jenisnya berbeda. Ia tidak tau, apa namanya. Yang jelas, itu terlihat keren baginya.
"Itu, namanya maskot." ujar Devan, saat melihat manik mata ketiga putranya, berbinar. Entahlah, dia benar, atau tidak. Yang jelas, setahunya, manusia yang memakai kostum seperti itu, disebut maskot.
"Mas Kot?" tanya Alden, bingung. "Nama bonekanya Kot? Terus, karena udah gede kaya mamas Aksa, dipanggilnya Mas Kot?"
Devan tertawa kecil. "Bukan gitu. Itu, boneka yang jalan-jalan itu, namanya Maskot. Itu di dalamnya, ada orang."
"Eh?" Aksa memperhatikan boneka, yang dibilang 'Maskot' oleh sang ayah, dengan saksama. "Masuknya lewat mana, Yah? Masa ada orangnya?"
"Iya, itu ada orangnya. Masuknya lewat mana, ya? Ayah juga gak tau," jawabnya asal.
Mau dijelaskan berulang kali pun, sepertinya akan sulit. Makanya, Devan memilih meraih si bungsu yang masih memperhatikan 'maskot' tadi, ke dalam keranjang dorong. Sementara Aksa dan Alden, ia perintahkan untuk saling berpegangan tangan, agar tidak terpisah.
"Jangan lari-larian, ya?!" pesan Devan, yang langsung diangguki dengan manis, oleh si kembar.
Kedua bocah itu, memang manis sekali. Pasalnya, mereka tidak iri, saat si bungsu, yang dinaikkan ke keranjang belanjaan. Sebab mama bilang, takut adek hilang, karena si kembar, memang terlalu sering bergandengan berdua. Terlebih lagi, mama tidak ikut.
Lagi pula, mereka berdua sudah besar. Dan ayah berjanji, akan memberi mereka permen, dan es krim, kalau menjadi anak baik.
Devan tersenyum senang, saat memperhatikan kedua putra kembarnya, bergandengan tangan, melewati stan-stan supermarket. "Mamas sama Abang jajan apa?" tanya Devan, sebagai hadiah, atas sikap manis kedua putranya.
"Adek, enggak, Yah?" tanya Arsen yang anteng di dalam keranjang dorong, dengan wajah cemberut.
Devan tertawa, sembari mengusap pucuk kepala si bungsu, dengan saya. "Adek, mau jajan apa? Ayo, bilang. Nanti Ayah beliin,"
"Tapi kalo beli jajan, tetap diberikan es krim juga, kan, Yayah?" tanya si kembar, kompak.
"Tentu saja!" jawab Devan, dibuat semanis mungkin.
Orang-orang yang berada di stan camilan, memperhatikan keempatnya. Mungkin, mereka mengira jika Devan adalah seorang kakak, yang tengah menjaga ketiga adiknya, sebelum ketiga bocah itu, memanggilnya dengan sebutan 'yayah' yang berarti 'ayah'. Manis, sekali.
"Boleh beli permen juga?" tanya Aksa, semangat.
"Iya, boleh."
"Yay!" seru ketiganya, semangat. Aksa dan Alden, yang sudah melompat kegirangan, juga Arsen tertawa-tawa karena melihat kedua kakaknya, yang bahagia.
Ya ampun. Devan jadi gemas. Ini benar anak-anaknya, kan?
▶▶▶
220120
290220
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top