Tiga, Lima! | 3 | Bad Word?

"Fak! Fak!"

Devan kontan dibuat menoleh, saat mendengar salah satu putranya, mengucapkan kata-kata terlarang, yang berhasil tertangkap telinganya.

"Fak! Fak!"

Ia segera bangkit dari duduknya, lantas menghampiri si sulung, yang nampak asyik dengan globe di depannya. "Mamas!" panggilnya, membuat bocah itu menoleh. "Tadi Mamas ngomong apa?" tanyanya.

Si sulung itu, menoleh kebingungan. Diiringi kernyitan di dahinya. "Apa, Yah?" ia malah balik bertanya.

Devan memilih duduk, di hadapan putranya, melipat kedua kaki, bersila. Memegang kedua bahu putranya, dengan lembut. Menatapnya intens. "Mamas tadi ngomong apa?"

Kernyitan di dahi bocah itu, semakin dalam saja. "Mamas gak ada ngomong apa-apa," jawabnya dengan kepala mendongak, menatap sang ayah.

Devan menghela napas pelan. Butuh kesabaran ekstra, memang, untuk meladeni anak-anak seusia putranya ini. "Ya udah." Ujarnya, lelah. Ia kemudian beranjak, berniat menghampiri kedua putranya yang lain.

Keduanya sama-sama sibuk, dengan robot-robotan, yang merupakan oleh-oleh dari Zona, yang pulang berlibur ke Singapura, beberapa bulan lalu.

"Abang, Adek. Asyik banget, mainannya?" Tanya Devan, basa-basi. Jelas saja, kedua putranya itu tidak menjawab. Hanya menoleh ayah mereka itu, sejenak. Lantas kembali asyik dengan robot-robotan di tangan mereka masing-masing.

Omong-omong, mereka tengah bermain di ruang keluarga. Berhubung Devan sedang meliburkan diri, dari kesibukan kantornya, makanya mereka memilih bermain. Eh, tidak, deh. Devan memilih menemani ketiga putranya bermain. Itu, baru benar.

Bosan, ia kemudian memilih berdiri. Ingin menyusul istri tercintanya ke dapur.

Tapi sayangnya, baru saja beberapa langkah, kata-kata aneh itu, lagi-lagi terdengar.

"Fak! Fak!"

Benar, kan? Dia tidak salah dengar? Sontak saja, Devan menoleh, menatap si sulung. "Mamas!" Panggilnya.

Si sulung keluarga Zildhan itu, menoleh, menatap ayahnya. "Um?" bergumam layaknya orang dewasa, untuk menjawab panggilan sang ayah.

"Mamas tadi bilang apa?"

"Bilang apa?"

Stress. Devan ingin berguling-guling di tanah saja rasanya.

"Mamas gak bilang apa-apa. Mamas gak panggil Ayah, kok."

Aish!

Devan tau, di mana masalahnya kali ini. Ia berdeham pelan, kemudian. "Mamas tadi baca apa?" tanyanya.

Aksa, putra sulungnya itu, mengerjap. "Fak, fak!" Jawabnya, dengan tatapan polos.

"Gak boleh, ya, Mas!" Ujarnya, saat si sulung, mengulang kembali kata-katanya.

Aksa, menatap ayahnya dengan tatapan bingung. "Kok gak boleh?" Tanyanya.

Devan mengusap pucuk kepala Aksa, pelan. "Iya, gak boleh. Itu namanya Bad words, nak."

"Bet--apa?"

"Bad words." jawab Devan, dengan tenang. "Bad words itu, kata-kata yang enggak boleh diucapkan, sama anak-anak. Orang dewasa juga gak boleh,"

"Tapi di sini, ada, Yah. Masa gak boleh baca?"

Devan mengernyitkan dahinya, saat melihat Aksa, si sulung, menunjuk globe yang ada di hadapannya, pada satu titik. Oh iya. Omong-omong, kembar memang sudah bisa membaca, walaupun masih berupa kata-kata sederhana. Memangnya di globe ada kata f*ck, ya? Batin Devan, keheranan.

"Mana coba, Ayah lihat?"

"Ini, Yah!"

Setelah melihat apa yang ditunjuk putranya, seketika Devan ingin mengumpat. Astaga, kenapa dia dari tadi bertindak bodoh, sih?

"Yayah! Memangnya ini bet-wod ya, Yah?"

Devan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, kemudian mengusap pucuk kepala Aksa, dengan saya. "Bukan." jawabnya. "Tapi, Mamas gak boleh bacanya sepotong-sepotong."

"Hah? Es potong?"

Aih!

"Maksud Ayah, bacanya gini lho, Nak," ia bersiap menjelaskan, dengan satu tarikan napas. Ya ampun, lebay sekali, ya? Seperti akan ijab kabul saja. "Fakfak. Bacanya langsung, satu kali. Fakfak. Bisa, gak?"

Si sulung menatap ayahnya, lantas kembali memperhatikan barisan tulisan kecil-kecil pada globe, di hadapannya. Menujuknya, lalu membaca dengan saksama. "Fakfak. Gitu, ya, Yah?"

"Nice! Pinter anak Ayah!"

Aksa lalu berdiri dari duduknya, dan segera melompat-lompat, meninggalkan sang ayah. Ya ampun, Devan seolah-olah baru saja melihat pocong.

"Al! Al!" Panggil Aksa semangat.

Devan mengernyitkan dahinya, namun kemudian lebih memilih merapikan mainan yang berserakan, di hadapannya. Memasukkannya kembali, ke dalam kotak.

"Al! Al!" panggil Aksa lagi. "Abang Al! Dengerin Mamas!"

Alden, yang awalnya tengah asyik dengan mainannya, dipaksa menoleh, dengan wajah super cemberut, menatap saudara kembarnya. "Apa sih, Mamas?!" tanyanya sewot.
"Abang lagi main, tau!"

Sekarang, giliran Aksa yang cemberut. "Kok marah-marah?!" tanyanya. "Mamas kan, panggilnya baik-baik!"

"Abang gak marah!"

"Kok suaranya naik?!"

"Enggak! Suaranya gak naik!"

"Itu, suaranya naik!"

"Mamas juga suaranya naik, kok!"

"Kan gara-gara Abang!"

"Jangan blantem!" si bungsu yang awalnya diam, menyaksikan kedua kakaknya saling berteriak, kini ikut-ikutan berteriak. Dia mau main dengan tenang saja, tidak bisa karenanya.

Sementara itu, awalnya Devan ingin menyaksikan pertengkaran sengit, antara si kembar. Sementara belum adu fisik, boleh-boleh saja bagi Devan. Makanya dia diam saja. Tapi, si bungsu yang pintar, sudah menegur kedua kakaknya. Baiklah. Setidaknya, Devan enggak perlu capek, melerai keduanya.

"Mainnya diem-diem! Jangan blantem! Nanti mama malah!"

Devan bangga. Sungguh. Makanya, ia melipat kedua tangannya dengan santai, sembari tetap mengawasi ketiga putranya.

"Mamas gak berantem, kok!" sahut Aksa. Suaranya perlahan menurun. "Abang Al tuh, yang teriak-teriak!"

"Enggak, kok! Abang enggak teriak-teriak! Mamas tuh, yang teriak-teriak! Nuduh, aja!" Alden bahkan tidak mau kalah, dari kakaknya. Dia tidak suka dituduh-tuduh begitu, padahal memang benar, dia juga terlibat dalam aksi 'teriak-teriak' tadi, tapi tidak mau mengaku. Intinya, tidak mau disalah-salahkan.

"Mamas gak nuduh!"

"Itu, tadi nuduh-nuduh Abang!"

"Enggak!"

"Iya!"

Arsen enggak tahan lagi! Bocah tiga tahun itu, segera berlari menghampiri sang ayah, yang malah berdiri menyaksikan pertengkaran kedua putranya, dengan santai. "Yayah! Yayah!" panggilnya. Bocah itu kemudian menarik-narik ujung kaos, yang ayahnya kenakan. "Yayah! Mamas sama Abang blantem! Pisahin!"

Astaga, lucu sekali. Devan kemudian membawa si bungsu, ke dalam gendongannya. Mendaratkan kecupan-kecupan kecil, di pipi bulat Arsen, yang segera dihapus dengan tangan, oleh anak itu. "Biarin aja, Dek." ujar Devan, santai. Ia tergelak, melihat Arsen, yang terus saja mengusap pipinya, yang tadi diciumi sang ayah. "Mamas sama abangnya, gak berantem, kok."

"Tapi itu teliak-teliak!"

Devan terbahak. "Enggak, kok. Mamas sama abang lagi lomba paduan suara,"

"Bohong!"

Aduh, gemas. Devan enggak tahan.

"Bener, kok. Ayah gak bohong."

Baiklah. Arsen memilih mengiyakan saja. Yang penting, dia sekarang berada dalam gendongan ayahnya, yang nyaman. Biarkan saja mamas sama abangnya itu, terus berteriak.

Tapi tak lama, aksi saling teriak itu, berganti dengan suara tangisan membahana. Sontak membuat Devan kalang kabut, karena kaget, dan Nadhira yang berlarian dari dapur, menghampiri kedua putranya yang menangis.

"Lho, ini kenapa? Mamas sama Abang kenapa?" tanya Nadhira, sembari mengecek kedua putranya, satu persatu. Takutnya terdapat luka, atau apa. Pasalnya, sejak tadi, ia sudah mendengar teriakan-teriakan dari keduanya. Hanya saja, ia memilih diam, karena di rasa, Devan mengawasi mereka.

Tapi, lihat apa yang terjadi sekarang!

Nadhira menatap Devan yang tengah menggendong si bungsu, dengan tatapan penuh tanda tanya. Hingga dengan santainya, Devan menjawab. "Gak apa-apa." ujarnya. Ia kemudian mendaratkan kecupan di pipi Arsen, yang memperhatikan kedua kakaknya yang menangis, dengan tatapan iba. "Mereka lagi paduan suara, kok."

Astaga. Nadhira ingin tobat saja, deh, kalau begini.

▶▶▶
220120
220220

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top