Tiga, Lima! | 2 | Rayuan Pulau Kapuk
Halo, gaes!
Kemaleman gak ini?
Kan part 1 si Ayah, sekarang Mama, ya! Ehe.
Happy Reading!
Perasaan, baru saja beberapa menit yang lalu, ia selesai merapikan mainan-mainan yang bertebaran di lantai. Memasukkannya kembali, ke dalam boxnya. Tapi, lihat apa yang terjadi, sekarang! Semuanya, nampak kembali bertaburan di lantai, lagi!
Astagfirullah.
Nadhira menghela napasnya perlahan. Dibilang capek, sudah pasti. Mengurus tiga orang anak laki-laki, yang bisa dibilang, tengah berada dalam masa sedang aktif-aktifnya, ditambah harus mengurus pekerjaan rumah tangga, memang benar-benar menguras tenaganya.
Tapi kembali lagi pada kodratnya, sebagai seorang ibu, dan istri yang baik. Ini adalah kewajibannya.
Tiga bongkahan menggemaskan, tampak asyik dengan aneka mainan milik mereka, di ruang bermain khusus, yang memang Devan sediakan, untuk ketiga putranya itu. Untung, bukan ruang tamu yang dibuat berantakan.
Melihat ketiga putranya nampak anteng bermain, Nadhira memilih beranjak ke dapur. Membuatkan susu, untuk ketiga putranya.
Dengan tiga gelas susu, ukuran sedang, yang ditata di atas nampan, ia menghampiri ketiga putranya, yang masih asyik bermain.
Hal yang patut Nadhira syukuri adalah, ketiga putranya itu, tidak pernah berebut mainan. Tidak pernah bertengkar, atau pun adu mulut. Ya, paling hanya argumen-argumen kecil, yang tentu saja, motif awalnya adalah semua merasa paling benar, sudah menjadi hal biasa.
"Mamas, Abang, Adek. Minum dulu susunya, ya. Habis itu, main lagi."
Walaupun ketiga putranya itu, sangat suka meminum susu, tapi, tetap saja, kalau sudah asyik bermain, dunia jadi berasa milik sendiri. Yang lain, hanya boleh menumpang, dan tidak penting.
Makanya, ketiganya hanya diam, tidak mengindahkan seruan mama mereka, dan memilih terus bermain.
Nadhira berdecak pelan. "Mas Aksa!" panggilnya kepada si sulung. Membuat bocah dengan kaos merah, kombinasi putih itu, menoleh.
"Iya." jawabnya. Lantas, anak itu kembali serius, dengan mainannya.
Ck. Nadhira pikir, putra sulungnya itu akan bergerak, dan menjalankan perintahnya tadi. Tapi ternyata, tidak.
"Mas Aksa, sini, ih! Mama panggil, juga." gerutu Nadhira kesal.
Si sulung kemudian berdiri, sembari membawa mobil-mobilannya, menghampiri sang mama. "Kenapa, Mama?" tanya gemas. Ia sedang asyik bermain, kenapa mamanya ini tidak peka sekali, sih?
Nadhira mengusap pucuk kepala putranya, dengan lembut. Lantas meraih satu gelas berisi susu vanilla, yang ia letakkan di atas meja. "Ini, minum dulu susunya. Sambil duduk, ya?"untungnya, anak itu menerima gelas dari mamanya, dengan manis. Lalu duduk. "Jangan lupa baca apa dulu, sebelum minum?"
"Baca dongeng?" tanya Aksa, dengan polos.
Nadhira menghela napas pelan. "Masa lupa? Sebelum minum, harus baca do'a dulu." jelasnya. "Ingat enggak, do'anya apa?"
"Oh!" si sulung, ber-oh panjang. Lantas mengucap, "Bismillahir-rohmanir-rohim." dan segera meneguk susunya.
Nadhira tersenyum bangga, dibuatnya. "Bang Alden!" panggil Nadhira, kepada putra keduanya. Membuat anak yang tengah menyusun lego itu, menoleh.
"Apa, Ma?" tanyanya. Lantas berlari, menghampiri sang mama, juga kakaknya yang nampak tengah berusaha menandaskan susu dalam gelasnya.
"Ini, susu buat Abang." Nadhira menyerahkan gelas susu, kepada si nomer dua. "Minum ya? Sambil duduk, kaya Mamas."
Si nomer dua, menerima gelas pemberian mamanya, dan ikut duduk di samping kakak kembarnya. "Baca do'a dulu gak, Ma?" tanyanya.
Nadhira tersenyum, lantas mengangguk. "Iya, Bang."
Lantas dengan manisnya, anak itu meminum susunya.
Nadhira kemudian meraih gelas terakhir, lalu membawanya kepada di bungsu, yang asyik dengan buku gambar. Menelungkupkan tubuhnya, di atas lantai, sambil terus mencoret-coret permukaan buku gambar, dengan seribu gaya. Ia, enggak bisa diam, intinya.
"Dek, susunya minum dulu, nih!"
Bocah itu menoleh sejenak, lantas melanjutkan kegiatannya lagi. "Gak mau." jawabnya.
Nadhira kontan menaikkan kedua alisnya. "Lho, kok, gak mau?" tanya ibu muda itu, lantas ikut duduk di dekat putra bungsunya itu. "Mamas sama Abang juga udah minum susu, tuh."
Si bungsu memberengut sebal. "Nanti aja minum susunya."
Sebisa mungkin, ia harus sabar meladeni anaknya yang satu ini. Walaupun sebenarnya, dia capek, sih. Tempat tidur empuk sudah melambai-lambai memanggil dirinya untuk segera merebahkan diri. Tapi ya, bagaimana lagi? Nanti, kalau dia tidur, yang menjaga anak-anaknya, siapa?
"Gak boleh gitu, dong!" Nadhira mengusap pucuk kepala si bungsu. Usia bocah itu, memang baru saja menginjak tiga tahun. Tapi bicaranya, sudah lancar. Ya, mungkin ada beberapa kata yang keliru. Terlebih lagi, si kecil itu, belum bisa melafalkan huruf 'R', dengan baik.
"Mamas, Abang, susunya enak, gak?" tanya Nadhira, kepada kedua putranya yang lain.
"Enak!" jawab keduanya kompak. Membuat Nadhira mendesah lega, pasalnya, dua bocah itu, tumben sekali kompak begitu.
"Tuh, Dek. Kata mamas sama abang, susunya enak, tuh!"
Si bungsu, malah mengangkat bahunya cuek.
'Ini anak, kenapa, sih?' gerutu Nadhira dalam hati. "Adek, kenapa enggak mau minum susu?"
"Mau sama ayah!"
Eh.
"Kan ayahnya lagi kerja, Dek." Nadhira sekarang, malah ikut-ikutan duduk, di samping si bungsu, yang mulai meneruskan kegiatannya menggambar.
Kalau boleh jujur, sebenarnya Nadhira pun tidak mengerti, apa yang putranya itu gambar. Intinya hanya lingkaran-lingkaran abstrak yang tidak rapi. Lalu, diwarnai dengan warna-warna cerah, yang sukses membuat sakit mata.
"Suluh pulang!"
"Nanti juga pulang. Makanya Arsen minum susu dulu, baru bobok siang, ya? Nanti juga pas Adek bangun, Ayahnya juga udah ada di--"
"Mama udah!"
Dua buah gelas kosong, tiba-tiba saja terulur di depan wajahnya.
Nadhira tersenyum lembut. "Tuh, Dek! Liat mamas sama abang, susunya udah habis," ia kemudian mengusap pucuk kepala kedua putranya, bergantian. "Pinter Mamas sama Abang!"
Si bungsu tetap tidak peduli. Ia masih asyik menggambar. Membuat Nadhira, akhirnya menghela napasnya, sabar. "Mamas, Abang, cuci kaki, sama cuci tangan dulu, gih!" Suruh Nadhira, kepada kedua putra kembarnya. "Habis itu, bobok siang, ya?"
"Tapi Mamas mainnya di rumah aja, kok, Ma. Gak keluar-keluar,"
"Iya, Ma! Abang juga!"
Namanya juga anak-anak. Apa yang tidak mereka mengerti, dan apa yang mereka rasa, tidak pernah mereka lakukan, pastinya akan menjadi hal yang patut dipertanyakan. Kalau boleh bilang, rasanya Nadhira ingin tidur saja yang nyenyak, tanpa harus menjawab pertanyaan anak-anaknya, yang tidak pernah habis. Tapi, tidak! Jangan sampai begitu. Bukankah sejak awal, memiliki anak itu, tidak mudah, kan?
"Iya, tapi tetap harus cuci tangan sama cuci kaki, dong!" Jawab Nadhira, dengan nada suara lembut. "Kalo enggak cuci tangan sama kaki, nanti kena gigit semut, lho!"
"Hah?" Kedua bocah yang usianya sama, itu, terlihat bingung. "Kaki sama tangannya jadi manis? Makanya digigit semut, Ma?"
Nadhira mengerjap. Ya ampun. Sepertinya, dia salah bicara, ini.
"Woah!" Si bungsu yang awalnya asyik dengan kegiatan menggambarnya, kini teralihkan, oleh pernyataan kedua kakaknya. "Kakinya mamas sama abang jadi manis? Mau lasa-lasa!"
Duh! Bocah kecil itu, bahkan sudah menjulurkan lidahnya, ingin menjilat kaki dan tangan kakaknya--yang katanya manis--itu.
"EH!" Nadhira segera memeluk tubuh si bungsu, yang mulai nakal. "Enggak boleh, Sayang! Kan, kotor." katanya.
Mendadak, si bungsu cemberut. Begitu juga, dengan kedua kakaknya. "Katanya Mama, lasa kaki mamas sama abang, manis!"
"Bukan gitu, Sayang." Nadhira kemudian meraih ketiga putranya, sembari mengusap pucuk kepala ketiganya. "Kaki sama tangannya jorok, kalo enggak dicuci. Makanya, nanti digigit semut."
Bola mata bulat ketiganya, terlihat antusias. Berbinar, saat mendengar penjelasan sang mama. "Emangnya Mamas sama Abang mau, kakinya digigit semut? Adek juga mau?"
Tiga buntalan yang enggak gendut-gendut amat itu, menggeleng, lantas berkata dengan kompak. "Enggak!"
Nadhira tersenyum puas. "Nah, gitu dong, pinter! Makanya, sekarang, mamas sama abang cuci kaki sama tangannya dulu, oke?"
"OKE!"
Kaget, sih. Karena kembar itu, kalau sudah kompak, bawaannya pasti ngegas. Bikin kaget. Tapi, tak urung membuat Nadhira tersenyum senang.
Ia menatap si bungsu, yang kini memegangi daster yang ia kenakan. "Adek, tuh, emangnya gak takut, ditinggal mamas sama abang bobo?" tanyanya lembut. Si bungsu mendongak, lantas menggeleng. "Nah, makanya, susunya diminum dulu, ya? Nanti, ikut bobok sama mamas sama abang,"
Bocah itu kemudian menatap pintu ruang bermain yang terbuka. "Ayah belum pulang?"
"Sebentar lagi pulang," jawab Nadhira. Ia menggendong tubuh si bungsu, sembari menciumi pipinya dengan gemas. "Makanya, minum susu dulu, habis itu bobok. Nanti, pas Adek bangun, Ayah pasti udah pulang!"
Beruntung, si bungsu akhirnya menurut. Meneguk habis susu dalam gelasnya, membuat Nadhira tersenyum senang.
Setelah ini, tinggal menidurkan mereka, lalu ikut merebah, di pulau kapuk. Mungkin lho, ya. Kalau tiga putranya itu, enggak bertingkah tapi.
BTS
26.12.19
0
9.02.20
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top