Tiga, Lima! | 19 | Curahan Hati di Kamar Mandi
Entah sudah kali ke berapa dalam tiga puluh menit, Devan menarik napas panjang lalu mengembuskannya kuat-kuat. Dalam hati, dia terus mengatakan jika dirinya harus memiliki hati yang besar. Tidak boleh marah-marah karena hal itu memicu diri menjadi cepat tua, tidak boleh juga menyimpan dendam yang akan menjadi penyakit hati berkepanjangan.
Intinya sih, Devan ingin jadi orang baik dulu. Hari ini saja ya Tuhan, enggak tahu kalau besok-besok.
Sekali lagi, lelaki itu menghela napas berat. Dia memperhatikan anak sulungnya yang entah sejak kapan berubah menjadi begitu menyebalkan di matanya. Dia bahkan tidak tahu persis alasan mengapa putranya itu bertingkah aneh---ada saja kelakuannya yang memancing kekesalan dia sebagai seorang ayah muda yang tampan dah baik hati ini.
Mari Devan berikan contoh apa saja yang sudah dilakukan si sulung hari ini.
Saat bangun tidur, tumben-tumbenan sekali sulung dari tiga bersaudara itu langsung minta dimandikan. Katanya, "Yayah, Yayah! Mau mandi sekarang, biar ganteng."
Sumpah ya, Devan enggak tahu dari mana Aksa mempelajari perihal sehabis mandi pasti jadi ganteng. Pokoknya, dia sih merasa tidak pernah mengajarkan Aksa seperti itu. Mungkin ... mungkin lho, ya, istrinya yang sering bilang begitu kalau anak-anaknya susah mandi.
Akhirnya, Devan memilih menuruti permintaan si sulung, sementara kedua adiknya masih tertidur pulas di kamar mereka. Karena takut membangunkan anaknya yang lain, Devan akhirnya membawa Aksa untuk dimandikan di kamar mandi yang berada belakang, dekat dengan dapur. Biasanya sih, memang digunakan untuk Nadhira mencuci sekaligus memandikan anak-anaknya dalam satu waktu. Biar ringkes, begitu.
"Mama, Mama, lihat!" Aksa memamerkan dirinya yang sedang menggunakan pelampung tangan di kedua tangannya. Dia sendiri yang minta dipakaikan itu kepada ayahnya, padahal, dia hanya akan berendam di bath up, lho. Memang lebay dasar sulungnya Devan ini.
"Lho, lho ...." Nadhira yang sedang memasak dibuat keheranan saat melihat putranya itu pagi-pagi sekali sudah memakai pelampung. Masa iya mau menumpang berenang di rumah kakeknya, sih? Ada-ada saja memang. "Mamas mau ke mana, Nak? Masih pagi, lho."
Ibu tiga anak itu masih sempat-sempatnya melihat jam dinding yang berada di dapur. Benar, kok, masih pukul tujuh. Biasanya, Aksa masih termasuk anak-anak mager yang bangunnya paling akhir daripada dua adiknya yang lain.
"Mau mandi, sama Yayah!" ujar Aksa sambil melompat-lompat. Bocah itu menoleh ke belakang, mencari keberadaan sang ayah. Merasa ayahnya itu lama sekali, tidak muncul-muncul, akhirnya Aksa memekik kuat-kuta memanggil sang ayah. "Yayah! Cepet-cepet."
Nadhira diam saja. Dia tidak tahu deh, harus memberikan reaksi seperti apa. Terutama saat sang suami berjalan dengan lesu menghampiri mereka. "Mamas, ayo cepat mandi," ujar Devan sambil mendorong punggung anaknya.
Aksa berteriak-teriak kegirangan, sambil terus melompat-lompat menuju kamar mandi belakang. Mengabaikan sang ayah yang masih terlihat lesu sekaligus tak percaya dengan ke-rajinan Aksa yang datang secara tiba-tiba.
Saat sampai di kamar mandi, Aksa langsung masuk ke bath up yang belum diisi air. Lantas, bocah itu berkata kepada ayahnya, "Yayah, isi air!" Persis seperti seorang bos yang menyuruh-nyuruh bawahan.
Sejauh ini, Devan sih menuruti saja. Sudah syukur anak sulungnya itu mau mandi tanpa harus bersusah payah disuruh seperti biasa sampai kepala sang ayah terasa hampir botak. Pokoknya, ini sebuah kemajuan besar dalam hidupnya setelah menjadi ayah selama hampir lima tahun!
"Mamas tumben mau mandi pagi-pagi?" Devan bertanya kepada Aksa yang sekarang sedang bermain bebek-bebek karet yang mengambang di atas air dalam bath up. Dia tampak anteng berendam dalam air, sebab Devan sudah menambahkan air hangat agar suhu airnya pas dan Aksa jadi semakin nyaman saat mandi.
"Mau aja." Aksa menjawab singkat. Ia terus memainkan bebek karet sambil mengoceh ini itu, ala anak-anak.
Mendengar jawaban sang putra, membuat Devan sedikit tidak percaya. Mana mungkin Aksa berubah seperti ini tanpa alasan. Jadi, sambil memakaikan sampo pada rambut putranya, Devan kembali bertanya. "Biasanya Mamas suka tungguin Abang sama Adek kalo mau mandi. Biar sama-sama mandinya."
Namun, perkataan sang ayah ternyata diabaikan begitu saja oleh Aksa. Semakin kebingunganlah Devan sekarang. "Mamas merem dulu, Nak. Ayah mau banjur kepala Mamas."
Aksa menurut dan membiarkan sang ayah membersihkan busa sampo di kepalanya. Setelah selesai, bocah itu kembali asyik berceloteh ini dan itu kepada bebek karet yang ia pegang. "Yayah, Yayah," panggil Aksa sembari mendongak. Memperhatikan wajah sang ayah yang terlihat kesulitan menyabuni tubuhnya.
"Iya, Mas." Devan menjawab singkat. Diam-diam dia membuka pelampung tangan yang dikenakan oleh Aksa, agar memudahkannya menyabuni tubuh sang putra.
"Nanti mau berenang," ujar bocah itu sambil menepuk-nepuk air. Hal itu membuat Devan sesekali memejamkan matanya karena kemasukan air. Iya, kemasukan air. Bukan hantu---astaga, semoga saja tidak diijabah Tuhan omongan melanturnya ini.
"Berenang?" Devan membeo. "Ke rumah Opa? Mau berenang sama Onty Raya, ya?"
Aksa menggeleng ribut. "Enggak," jawabnya. "Mau ke kolam renang yang luas banget!" Bocah itu mengucapkan kata 'luas' cukup panjang. Sampai kedua tangannya terbentang dan hampir menabok wajah sang ayah.
Sementara itu, Devan mengerenyit bingung. Kolam renang luas? Memangnya ada di mana? Perasaan dia tidak pernah mengajak Aksa pergi berenang ke tempat umum. Paling hanya menumpang berenang di rumah sang ayah---di kolam renang yang dibuatkan khusus untuk Raya yang suka berenang.
"Boleh 'kan, Yah?" Aksa bertanya dengan mata berbinar. "Yang luas banget kolamnya, Yah. Mamas liat di tv."
Mungkin karena belum sarapan, Devan jadi lemot seperti ini. Dia benar-benar tidak mengerti akan kolam yang putra sulungnya maksud, lho, sungguh. Jadi, dia langsung bertanya saja. "Di mana memangnya, Mas? Kolamnya yang kayak gimana?"
"Yang airnya gerak-gerak, Yah! Wusshh wushhh, gitu!" Aksa memekik senang, sambil menggerak-gerakkan air sampai membasahi sang ayah yang auto shock. Bukannya merasa bersalah, Aksa malah tertawa-tawa bahagia. "Yaaay ... Yayah basah!"
Sulung dari tiga bersaudara itu bahkan menunjuk-nunjuk sang ayah yang kaget karena ulahnya. "Mandi, mandi!" Aksa malah semakin nakal dengan mencipratkan air itu kepada ayahnya hingga lelaki itu semakin basah karena.
"Mamas, aduh!" Devan berusaha menangkap tangan nakal Aksa. "Jangan nakal dong, Mamas. Nggak boleh."
Aksa tidak peduli, dia tetap menepuk-nepuk air dengan bahagia. Devan hampir saja marah, tetapi kalimat yang dilontarkan Aksa selanjutnya, seketika membuat ayah tiga anak itu terdiam. "Yayah lucu," katanya. "Kalo ada Abang sama Adek, Yayah nggak mau main sama Mamas."
Setelah mengatakan itu, Aksa kembali bermain dengan bebek-bebek karetnya. Berhenti menjahili sang ayah yang kini diam, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Devan seketika merasa tersentil. "Mamas," panggil Devan. Ia mencoba mengajak putranya itu bicara empat mata.
Namun, bukannya menjawab panggilan sang ayah, Aksa malah berkata, "Nanti jadi ya, Yayah. Kita jalan-jalan ke kolam yang besar, yang luas! Yang ada pasirnya."
Oh, pantai toh. Devan menghela napas saat menyadari kolam luas yang Aksa maksud. "Itu namanya pantai, Mas," jawab Devan.
"Iya! Pantai!" Aksa memekik semangat. Bocah itu berdiri di atas bath up, kemudian memegang kedua bahu sang ayah. "Nanti kita pergi ya, Yah? Jangan ajak Abang sama Adek!"
Dahi Devan kembali berkerut. "Lho, kenapa jangan ajak?" tanyanya. Apakah perkataan Aksa yang tadi berdasarkan rasa cemburu sebagai seorang kakak yang mungkin saja merasa jika kasih sayang dari ayahnya tidak terbagi rata untuknya? Jika benar begitu, jujur saja Devan merasa bersalah. Rupanya, dia belum bisa menjadi ayah yang baik untuk anak-anaknya.
Namun, mendengar jawaban Aksa selanjutnya, seketika membuat Devan lagi-lagi terdiam dengan perasaan bangga yang hadir tiba-tiba.
Aksa bilang, "Abang nggak suka berenang. Adek nanti kedinginan kalo main lama-lama. Nanti 'kan Mamas mau main pasil eh---pasir sama Yayah." Bocah itu menatap ayahnya dengan serius. "Yayah mau 'kan, temenin Mamas main ke ... apa tadi namanya, Yah?"
"Pantai," jawab Devan sambil tersenyum hangat. "Iya, nanti kita pergi berdua ya."
"Siap!" Aksa memekik bahagia. "Ajak tante cerewet juga ya, Yayah, hihi."
Tanpa diduga-duga, orang yang barusan Aksa bilang 'cerewet' dan dihadiahi tawa dari Devan, datang tiba-tiba sambil berteriak protes. "Mamas Aksa nakal! Onty nggak cerewet, tahu!"
Setelah itu, Raya---yang baru saja berteriak kesal kepada Aksa, langsung berlari menghampiri kakak iparnya yang masih memasak di dapur untuk mengadu. "Kak Nad! Abang Devan sama Mamas Aksa nakal." Lalu, gadis kecil itu menangis sambil memeluk Nadhira dari belakang.
Selain menghela napas berat, memangnya apa yang bisa Nadhira lakukan sekarang? Nggak apa-apa sumpah, nggak apa-apa, ujar Nadhira dalam benak sambil terus memupuk kesabaran.
*****
11.05.21
Hi! Long time no see:'v
Semoga masih ada yang menanti book ini :v
Maaf banget gengs, akutu kehabisan ide banget-banget buat nulis ini. So, seperti biasa, lambat kali ya, gengs.
Maafin kalo misalnya garing:) gak tau, aku lambat banget pas ngetiknya, mana kebanyakan tipo dari tadi:( kesyal. Udah deh gitu aja wkwkwk. See u pan-kapan!
Btw, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442H, gengs! (Kamis, 13 Mei 2021)
Mohon maaf lahir dan batin!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top