Tiga, Lima! | 18 | Perkara Jajan

Devan baru saja pulang dari kantor sore ini. Ya, belum terlalu sore, sih. Masih sekitar pukul setengah empat dan keadaan rumah terlihat sepi sekarang. Istrinya tengah memasak di dapur, sementara anak-anaknya, Devan tebak masih tidur siang hingga sekarang. Lelaki itu memutuskan untuk merebahkan tubuhnya sebentar di atas sofa, sebelum melanjutkan langkah ke kamar. Rasanya, kalau sudah mendapatkan posisi enak---paling nyaman di sofa---seperti ini, ia jadi enggan beranjak. Ingin langsung tidur saja kalau bisa.

"Mas, mandi dulu sana," pekik istrinya dari dapur, tetapi Devan indahkan. Ia sudah sangat-sangat capek dan mengantuk sekarang. Lelaki itu mulai memejamkan mata, sesaat setelah melepaskan belenggu dasi yang melingkar di kerah kemejanya. Omong-omong, jas yang ia kenakan sudah dilepas, juga lengan kemeja yang digulung hingga siku. Pokoknya, Devan ingin tidur dulu sebelum nantinya mandi dan membangunkan anak-anaknya.

Akan tetapi, baru saja lelaki itu hendak terlelap, suara-suara kecil terdengar. Mengusiknya dan membuat Devan seketika membuka matanya begitu saja. "Bukannya masih pada tidur ya?" Ia bergumam pelan, kemudian mengangkat bahunya acuh. Hingga dalam beberapa detik setelahnya, lelaki itu sudah masuk ke alam mimpinya.

Sementara itu, sambil memegang spatula di tangannya, Nadhira berjalan untuk melihat sang suami. Dipanggil-panggil tak dijawab. Kemungkinan yang ada hanya dua. Pertama, suaminya itu menurut dan langsung mandi. Lalu yang kedua, suaminya itu tertidur. Benar saja, saat ia sampai di ruang keluarga, ibu dari tiga anak itu langsung berkacak pinggang. "Malah tidur di sini," gerutunya. "Mas, pindah. Nanti malah kayak waktu itu kamu, dijadiin kuda sama anak-anak."

Reaksi yang diberikan suaminya itu hanyalah gumaman, membuat Nadhira menghela napas panjang. Ia menyingkap celana bahan panjang yang suaminya itu kenakan, lantas mencabut bulu kaki suaminya itu, membuat Devan refleks memegang betisnya yang terasa pedas, sambil meringis kesakitan. Akan tetapi, hal itu tak membuat lelaki itu membuka matanya. Seolah-olah, kelopak matanya itu sudah direkatkan dengan lem super.

"Mas!" panggil Nadhira lagi. "Aku ini bangunin kamu, bukan karena tega. Aku tau kamu capek, makanya kusuruh bangun, mandi, habis itu kalo kamu mau tidur ya sana, di kamar. Jangan di sini." Ibu muda itu menghela napas pendek, kemudian melanjutkan ceramahnya, "Bentar lagi ini jamnya mereka bangun, lho."

Devan lagi-lagi bergumam dengan maksud mengiyakan ucapan sang istri. Ia sempat bangun sebentar, duduk seraya bersandar pada sandaran sofa. Akan tetapi, baru saja Nadhira hendak menghela napas lega, suaminya itu malah kembali merebahkan tubuhnya lengkap dengan kelopak mata yang tertutup rapat. Melihatnya, seketika membuat Nadhira ingin berteriak kesal karena frustrasi.

"Mas, bangun! Nanti kalo anak-anak bar-bar ke kamu, aku nggak tanggung jawab, ya!" ucap Nadhira dengan nada tinggi.

Di luar perkiraan. Awalnya, Nadhira pikir sang suami akan segera bangun, karena merasa takut kejadian yang lalu-lalu kembali terjadi---di mana ketika anaknya dengan bar-bar menindih tubuhnya dan menjadikan dirinya sebagai kuda. Namun, kenyataannya adalah, Devan hanya mengulurkan kedua tangannya ke depan, membuat Nadhira mengernyit kebingungan. Lalu setelahnya, Sang Suami bergumam pelan, "Gendong ...."

"Sinting." Nadhira rasanya ingin tobat saat itu juga. Kalau bertingkah kasar kepada suami itu bukanlah sebuah dosa, ibu tiga anak itu ingin sekali memukulkan spatula yang dibawanya ke kepala Devan. Untungnya, ia masih mencoba untuk sabar. "Bangun cepat, Mas!"

"Iya-iya!" Devan akhirnya menggerutu sebal, sambil bangkit dari posisinya.

"Awas kalo tidur lagi. Nggak kukasih jatah sebulan!" ancam Nadhira, seraya beranjak meninggalkan Sang Suami, untuk memeriksa ayam yang tengah ia ungkep dengan bumbu di dapur.

Devan akhirnya terpaksa untuk meninggalkan sofa dan bergerak menuju kamar. Kalau tidak dilakukan, ia takut istrinya akan marah dan berujung dirinya akan berpuasa selama sebulan. Itu sungguh menakutkan! Biar saja jika dirinya dianggap seperti suami takut istri, karena kenyataannya memanglah seperti itu. Penjelasan singkatnya begini, istri adalah ratu di rumah. Tanpa ratu, raja hanya bisa memimpin rakyatnya, tetapi tidak dengan anak-anaknya.

Melawati kamar anak-anak, Devan dibuat mengernyit saat lagi-lagi mendengar secara samar-samar, suara tiga anaknya yang tampak tengah adu mulut. Praktis saja, lelaki itu segera mendekat ke arah pintu, lalu membukanya perlahan. Bola mata Devan nyaris saja keluar saat melihat apa yang terjadi depan matanya saat ini, antara percaya dan tidak.

Karena terkejut, lelaki itu langsung berteriak kencang dan mengagetkan anak-anaknya, "Mamas, Abang! Itu adeknya diapain?!"

Dua bocah yang sedang adu mulut, saling dorong dan saling menyalahkan---siapa lagi kalau bukan si kembar, otomatis kaget dan menangis tiba-tiba. Sementara Devan langsung berlari ke arah si bungsu yang sedang menangis di atas lemari yang letaknya cukup tinggi.

Dengan perasaan was-was ala orang tua pada umumnya, Devan mengulurkan tangan ke atas lemari, lalu dengan hati-hati meraih tubuh si bungsu yang masih saja menangis ke dalam gendongannya. Menepuk-nepuk bokongnya perlahan untuk menenangkan, sembari menatap kedua anaknya yang lain, meminta penjelasan. Hilang sudah rasa kantuk dan lelahnya tadi, entah ke mana.

"Udahan nangisnya," ujar Devan dengan nada yang jauh lebih lembut daripada yang tadi. "Mamas, Abang ...."

Si kembar seolah enggan mendengarkan sang ayah. Keduanya masih menangis sesenggukan sambil menunduk. Intinya sih, tidak mau melihat ayah. Takut kalau ayah tiba-tiba marah dan menyalahkan mereka nanti. Ya, walaupun memang sebagian besar adalah kesalahan mereka, sih, tetapi kan ... ah sudahlah. Pokoknya, baik Aksa maupun Alden, tidak berani menatap apalagi menjawab pertanyaan ayah.

"Ayahnya di sini, lho, bukan di bawah." Devan menyindir kedua anaknya yang masih menangis sambil menunduk. Pun juga dengan Arsen yang belum mau berhenti menangis di bahunya itu. "Mamas, Abang, sini. Ayah peluk sini."

Mendengar apa yang ayahnya tawarkan, tak membuat si kembar tergerak hatinya untuk beranjak. Namun, dalam hitungan ketiga---versi keduanya---mereka langsung berlari kencang meninggalkan sang ayah dan adiknya keluar kamar sembari berteriak, "Mama ...!"

Devan hanya bisa menghela napas panjang, melihat apa yang kedua putranya lakukan. Ia melirik si bungsu yang masih sesenggukan di bahunya, sembari mengusap punggung putranya itu dengan lembut. "Adek," panggilnya pelan. "Kenapa tadi Adek mainan di atas lemari, hm?"

Arsen diam saja. Sejatinya, ia pun tak tahu harus menjawab apa, karena tadinya dia dan kedua abangnya sedang bermain---memanjat-manjat kursi, lalu entah mengapa tiba-tiba saja dia sudah berada di atas lemari. Namanya juga anak kecil. Ada beberapa bagian yang tidak mereka ingat dengan baik, karena terlalu asyik bermain. Ya, bisa jadi, sih.

"Adek nggak jawab ayah?" tanya Devan lagi.

"T-tadi ma-in ...," jawab Arsen sesenggukan. "Telus manjat-manjat sana." Telunjuk bocah tiga tahun itu bergerak, menunjuk ke atas lemari.

Jawaban tak jelas dari si bungsu, membuat Devan menghela napas panjang. Alhasil, ia membawa putra bungsunya itu ke bawah. Sekaligus menyaksikan, kira-kira apa yang terjadi dengan Aksa dan Alden di bawah sana.

"Ayah, ini anak-anaknya pada kenapa, sih?" tanya Nadhira dengan nada cemas bercampur kesal, terlebih lagi saat si kembar memeluk kedua kakinya satu-persatu. "Itu Adeknya juga kenapa?"

Devan mengangkat bahu, tanda tak tahu. "Biasalah," ujarnya clueless. "Pas lewat depan pintu kamar, mereka udah gelut."

Dahi Nadhira mengernyit tak mengerti. "Terus?"

"Ya ... itu ...." Devan tak tahu harus menjawab seperti apa sebenarnya. Jadi, dia memilih diam saja, lantas mengalihkan pembicaraan, "Buatin susu aja deh, Ma. Kayaknya mereka ngantuk."

Kali ini, giliran Nadhira yang menghela napas lelah. Perasaan, sewaktu ia sedang memasak tadi, ketiga putranya masih tertidur pulas, deh. Akan tetapi, kenapa datang-datang ketiganya kompak menangis, sih? Pusing sudah kepalanya. Ia kemudian mengarahkan si kembar untuk menuju ke ayahnya dulu. Sayangnya, dua bocah itu tidak mau menurut, membuat kepala Nadhira rasanya ingin meledak saat itu juga.

"Nan-ti ya-yah ma-rah ...," ujar Aksa dengan sesenggukan.

Duh, itu ternyata masalahnya. "Enggak, Ayah nggak akan marah," ujar Nadhira menenangkan. "Gih sana ke ayah dulu. Mama bikinkan susu, habis itu bobok lagi, ya?"

"Ng-gak m-au!" Aksa dan Alden menjawab kompak, membuat Nadhira mengernyit heran.

"Lho, terus maunya gimana? Udah nggak ngantuk?" tanyanya lagi.

Si kembar menggeleng, kemudian dengan polos menyahut, "Mau jajan."

Astaga. Tolong kutuk Nadhira menjadi anak remaja lagi!

▶▶▶
270121

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top