Tiga, Lima! | 17 | Jalan-ja(j)lan Sore
Biasanya, Devan lebih memilih menghabiskan waktu di rumah seharian saat sedang libur seperti ini. Namun, karena anak-anaknya juga tampak bosan hingga tidak menikmati tayangan kartun anak-anak di televisi, Devan akhirnya memutuskan untuk mengajak ketiganya jalan-jalan. Lagi pula, sore ini rencananya Nadhira akan membuat kue, sehingga akan repot sekali rasanya jika anak-anak ada di rumah.
Raya juga diajak. Jadilah sekarang, Devan dikacangi oleh keempat bocah yang asyik berceloteh ini dan itu. Terdengar tidak penting dan banyak mengada-adanya, sih, sebab kali ini ada Raya yang menjadi kepala suku-nya. Devan sebenarnya tidak masalah akan itu, karena Raya walaupun sering membual dan mengajari hal tidak-tidak kepada tiga keponakannya, tetapi bocah tujuh tahun itu tak pernah membuat masalah dengan cara menjahili Trio A. Dia tipe anak baik yang akan berdiri paling depan untuk membimbing ketiga keponakannya, bak seorang pemimpin.
"Kemarin, temennya onty bawa telur goreng, loh!" cerita Raya dengan semangat, kepada kaki-kaki kecil yang mengikuti langkahnya itu. Sementara Devan hanya bisa diam, sambil sesekali menyapa para tetangga yang sedang duduk-duduk santai di teras rumah mereka. Intinya sih, tidak mau ikut campur dengan apa yang Raya dan ketiga putranya bincangkan.
"Telul apa?" tanya Arsen dengan dahi berkerut-kerut. "Onty telul apa? Telul gajah, ya?"
"Bukan, telor." Aksa tampak percaya diri dengan jawabannya. "Telor goreng, kayak yang mama buat."
"Bukan!" Raya mengibaskan tangannya beberapa kali. "Telurnya lucu deh, panjang-panjang, terus kalo dimakan tuh kayak ada tali-talinya."
"Heh?" Arsen tampak tak percaya dengan apa yang tantenya itu katakan. Sejak kapan telur memiliki tali? Apakah seperti tali tambang atau bagaimana? "Kayak jaling-jaling ya, onty?"
"Jaling-jaling?" Raya mengerutkan dahinya tak mengerti dengan maksud keponakannya itu. "Oh, jaring-jaring," ujarnya ketika mulai paham. "Iya-iya, kayak jaring-jaring laba-laba."
"Wah!" Trio A kompak berkata 'wah', lengkap dengan wajah antusias dari ketiganya.
"Ada laba-labanya juga nggak, Onty?" tanya Alden dengan wajah penasaran. "Memangnya bisa dimakan?"
Raya mengangguk-angguk dengan semangat. "Bisa banget!" ujarnya. "Rasanya enak. Jadi pengin beli."
"Nanti beli," ucap Aksa. Bocah itu kemudian mendekati sang ayah, lalu menarik-narik celana pendek yang ayahnya kenakan. "Yayah, nanti beli ya?"
Dahi Devan mengerenyit seketika, atas ucapan putra sulungnya itu. Dia tidak terlalu menyimak apa yang Raya dan anak-anaknya bicarakan, jadinya ia tak tahu menahu maksud Aksa. "Beli apa?" tanya Devan. Ia melirik adiknya yang malah cengar-cengir sambil menatapnya.
"Telul kayak yang Onty bilang, Yayah." Arsen melompat-lompat kecil. "Yang ada jaling-jalingnya. 'Kan Onty?"
"Iya," jawab Raya seraya tersenyum sok imut.
"Telur apa?" tanya Devan lagi.
"Telur ... apa, ya?" Raya mengetukkan jari telunjuknya ke dagu, beberapa kali. "Nggak tau namanya," ucap gadis kecil itu kemudian, lengkap dengan cengirannya yang khas.
Devan menghela napas pendek. "Nanti di rumah minta buatin telur dadar sama Mama---"
"Bukan!" Raya dan Trio A kompak berteriak, hingga membuat seekor anjing penjaga yang diikat dan berada di salah satu rumah yang mereka lewati, menggonggong dengan nyaring. Membuat Trio A praktis kaget, lalu kompak berlari karena takut. Meninggalkan Raya dan Devan yang masih bengong di tempat.
"Yayah! Cepet-cepet, nanti dimakan Hiro!" pekik Aksa histeris. Omong-omong, Hiro adalah nama dari anjing penjaga---yang entah Devan tak tahu apa jenisnya---milik Pak Jonathan, salah satu tetangga satu kompleks dengan mereka. Akibat teriakan dari Aksa pulalah yang membuat Hiro semakin menggonggong keras, hingga Devan dan Raya segera berlari mengikuti jejak Trio A.
▶▶▶
"Yayah, ayo beli ...."
Kepala Devan rasa-rasanya ingin pecah saat itu juga, kala Trio A terus-menerus merengek untuk minta dibelikan telur, seperti apa yang Raya ceritakan. Sementara, bocah perempuan dengan pita merah muda di rambutnya itu, masih tampak anteng. Pura-pura tidak bersalah sama sekali. Duh, kalau begini terus, kepala Devan bisa-bisa meledak!
"Memangnya apa nama telurnya, Aunty?" tanya Devan kepada sang adik.
Raya menggeleng, "Nggak tahu, lupa." Gadis kecil itu, lagi-lagi hanya memberikan cengirannya.
"Belinya di mana?" Devan bertanya lagi. Sebenarnya, hal ini kadang yang membuatnya malas mengajak anak-anaknya jalan-jalan. Karena pasti ujung-ujungnya meminta jajan. Akan tetapi, kalau tidak diajak jalan-jalan, kasihan juga Trio A. Takutnya, mereka jadi bersikap anti terhadap lingkungan luar. Intinya sih, menjadi Devan itu serba salah.
"Kata Nando---"
"Nando siapa, lagi?" Devan bertanya dengan nada sewot.
"Teman sekolah Raya, Abang!" ujar Raya greget.
"Apa?" Alden menyahut. "Onty, apa?"
Ya, seperti kasus biasanya, Alden selalu mengira jika panggilan 'abang' yang Raya tujukan itu untuknya.
"Enggak apa-apa." Raya cengar-cengir. "Katanya Nando, dia belinya di Abang-abang."
"Kok Abang?" tanya Alden dengan dahi berkerut. "Abang nggak jualan terul, kok."
"Telur, Bang," koreksi Devan. Akan tetapi, Alden tidak mempedulikannya.
"Iya, bukan Abang Al, kok," ujar Raya. Bocah itu mendekati keponakannya, lalu mencubit pipi tembam Alden. "Mamang-mamang yang jualan."
"Oh ...." Devan ber-oh panjang. "Telur gulung, bukan?" tanya lelaki itu yang langsung diangguki oleh Raya dengan semangat.
"Iya, itu! Telur gulung. Ayo kita beli ... Abang Devan," ajak Raya sambil mendekat kepada sang abang dan memeluk tangannya.
Devan mendengkus kasar, apalagi saat ketiga anaknya pun ikut-ikutan cara Raya untuk membujuknya. Trio A dan Raya, kini memeluknya hingga ia sekarang berada di tengah-tengah.
"Wah, Mas Devan, Raya sama Trio A lagi ngapain, nih?" sapa salah seorang penghuni kompleks di mana mereka tinggal. Bu Saskia, namanya. Seorang guru SD yang begitu ramah. Suaminya sendiri adalah kepala sekolah di tempat yang sama di mana sang istri mengajar.
Devan membalas senyum Bu Saskia dan menjawab dengan ramah, "Ini nemenin anak-anak jalan-jalan sore." Bapak-bapak tiga anak itu memperhatikan Bu Saskia yang terlihat sudah begitu rapih, seraya bertanya, "Sudah rapi, mau ke mana Bu?"
"Oalah, ini." Bu Saskia menoleh ke belakang, mengecek apakah sang suami sudah keluar apa belum, tetapi ternyata, belum ada tanda-tanda dari suaminya itu. "Mau undangan ke nikahan anak temannya bapak," jawab perempuan itu. 'Bapak' yang ia maksud, tentunya adalah sang suami---Pak Ibrahim.
"Oh iya," gumam Devan ramah. Sementara itu, Trio A semakin menarik-narik kaus yang ia kenakan dan sibuk mengajaknya untuk segera pergi membeli telur gulung yang mereka inginkan. "Salim dulu sama Oma Saskia," titah Devan.
Awalnya, Trio A tidak mau bergerak. Melihat Bu Saskia yang tersenyum hangat melihat mereka, malah membuat Trio A semakin diam. Mencengkeram kuat-kuat kaus yang ayahnya kenakan. Baru setelah Raya memulai dengan cara menyalami tangan Bu Saskia, Trio A mau tak mau ikut serta. Bagaimana tidak? Soalnya, Devan sudah berkata, kalau mereka tidak mau 'salim', ia tak akan membawa mereka untuk membeli telur gulung. Ancaman itu sukses membuat Trio A menurut.
"Wah, pada mau jajan telur gulung, ya?" tanya Bu Saskia lembut. Perempuan itu mengusap pucuk kepala Raya dengan sayang, pun juga Trio A yang tentunya tidak boleh ketinggalan.
"Iya!" jawab keempatnya kompak, membuat Bu Saskia tertawa kecil melihatnya.
"Di sini mana ada yang jual," ujar Bu Saskia lembut. "Di dekat sekolah tempat ibu mengajar, biasanya ada mamang-mamang yang jualan telur gulung, Mas Devan."
Devan manggut-manggut, "Terima kasih informasinya ya, Bu. Ini juga kalo nggak dikasih tau sama Raya, anak-anak nggak bakal tau telur gulung itu apa."
Bu Saskia tertawa lagi. "Nanti minta Mbak Nadhira belajar buat saja, Mas Devan. Namanya juga anak-anak, kalau jajan di luar terus, kasihan."
"Iya kayaknya memang perlu belajar buat," ujar Devan sambil tertawa kecil.
"Biasalah, anak-anak. Alibinya jalan-jalan, ujung-ujungnya jajan."
Apa yang Bu Saskia katakan, ada benarnya. Ayolah, ini bukan lagi satu ada dua kali, tetapi sudah terlampau sering. Agaknya, Devan memang harus lebih banyak mempelajari resep-resep jajanan yang biasa dijajakan oleh mamang-mamang yang berkeliling itu. Cilok, cimol, telur gulung, bihun gulung, pentol dan lain sebagainya. Duh, lama kelamaan, Devan alih profesi saja menjadi penjual jajanan kalau begini jadinya.
"Yayah, ayo beli ...!"
Lewat rengekan Trio A untuk yang kesekian kalinya membuat Devan menyadari satu hal. Gue memang harus pindah profesi, kayaknya.
▶▶▶
16.12.20
Membayangkan Devan menjadi tukang telur gulung keliling~
😂
#CrazyUpdate2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top