Tiga, Lima! | 16 | Ketika Anak-Anak Tertidur
Biasanya, ketika sedang penghujung minggu---weekend---seperti hari ini contohnya, Trio A memiliki semangat yang menjulang tinggi. Ketiganya akan dengan rusuh mengajak ayah atau mama jalan-jalan berkeliling kompleks, atau sekadar pergi berbelanja ke mini market. Namun, sayangnya hingga hari sudah siang, ketiganya masih asyik bermalas-malasan di atas karpet bulu sambil menonton televisi yang menayangkan kartun anak-anak.
Devan sendiri sampai pusing saat melihat anak-anaknya yang tidak bersemangat itu. Ia hanya khawatir kalau ketiganya sakit atau bagaimana, karena mendadak jadi pendiam begitu. Kalau diajak bicara, mereka hanya menjawab seadanya. Disuruh sarapan, sayangnya tidak ada yang bergerak satu pun untuk menghampiri sang mama dan berakhir dengan Nadhira juga yang harus menyuapi ketiganya bergantian. Padahal, Devan dan Nadhira ingin mengajari anak-anaknya untuk bisa makan sendiri tanpa disuapi.
Ya, bisa ditebak bukan, jika percobaan mereka kali ini gagal?
"Yayah punya es krim nih, mau nggak?" tanya Devan sambil membawa satu cup es krim berukuran kecil yang ia bawa dari DevZild's Kafe semalam yang disimpannya di dalam lemari pendingin.
Devan pikir, Trio A akan merespons ucapannya. Akan tetapi, kenyataannya dia dikacangi oleh mereka. Ketiganya hanya menoleh sekilas, lantas kembali fokus terhadap tayangan kartun si televisi. Kalau sudah begini, tidak ada yang bisa Devan lakukan kecuali menghela napas pasrah. Ia mendudukkan diri di atas sofa sembari menyuap es krim ke mulut. Melirik anak-anaknya seyara berujar, "Es krimnya enak banget. Mamas, Abang, Adek ... yakin nih, kalian nggak mau?"
Lagi-lagi, Devan hanya dikacangi oleh Trio A. Sepertinya, tontonan mereka jauh lebih menarik daripada es krim dan ayah. Lelaki itu membuang napas kesal, sembari terus menyuapkan es krim ke mulutnya.
Anak-anaknya masih saja diam. Hanya mata yang membuka dan menutup dan juga posisi berbaring yang diubah sesekali saat mungkin rasanya kurang nyaman. Biasanya, akan ada saja suara dari ketiganya. Baik itu Aksa, Alden maupun Arsen. Jelasnya sih, tidak pernah sampai diam-diam begini cukup lama. Mereka bahkan tidak tertawa ataupun berkomentar perihal tontonan yang mereka tonton. Benar-benar aneh!
Devan akhirnya berdiri dari memutuskan untuk menuju dapur. Ia akan mengadukan hal ini kepada istrinya yang sedang memotong-motong sayuran untuk dimasak. Dengan wajah ditekuk seperti anak kecil yang merajuk karena tidak dibelikan mainan oleh sang ibu.
"Kenapa kamu, Yah?" tanya Nadhira yang mengernyitkan dahinya bingung, saat melihat ekspresi dari suaminya itu. Tangannya sendiri, masih tampak luwes melumatkan kentang rebus menggunakan alat khusus, yang akan ia buat menjadi perkedel.
"Anak-anak kamu, tuh!" adu Devan, sambil mencomot ayam goreng di piring yang masih hangat, lalu memakannya. "Entah lagi pada kenapa, pada diem-diem aja. Nggak bersuara sama sekali."
Nadhira tertawa kecil saat melihat ekspresi suaminya yang tampak menggemaskan itu. Saking menggemaskannya, ia ingin sekali mencubit ginjal Devan saat itu juga. "Mungkin lagi pada badmood, biarin aja Yah. Nanti juga baikan lagi."
"Tapi ini dari pagi lho, Ma." Devan menggigit ayam goreng di tangannya dan mengunyah dengan cepat. "Nggak bisa aja gitu rasanya, lihat rumah sepi begini."
"Ajakin main coba. Mau nggak?"
Devan menggeleng, "Tadi aku tawarin es krim, malah dikacangin."
Ibu muda itu menghela napas panjang, sembari menatap suaminya itu sekilas. "Kayaknya pada ngantuk, mereka." Ia mencampur kentang rebus yang telah ia haluskan dengan daun bawang, seledri dan beberapa bumbu. "Apalagi cuacanya mendung kayak gini. Memang enak dipakai buat tidur dan malas-malasan."
"Tapi takutnya mereka sariawan atau apa gitu lho." Devan menghela napas frustrasi, tetapi mulutnya tetap mengunyah ayam goreng dengan nikmat. "Diajakin ngomong aja pada nggak mau begitu."
Nadhira tertawa kecil, hingga membuat lesung pipinya terlihat. "Enggak kok. Buktinya tadi waktu disuapi makan, mereka nggak protes sama sekali." Ia mulai meletakkan wajan di atas kompor, untuk menggoreng perkedel yang sudah ia bentuk-bentuk bulat. "Sebentar lagi jam makan siang, gih sana kamu temenin mereka."
"Nanti dikacangin lagi," ujar Devan sedikit tidak ikhlas. Ya, walaupun sudah memiliki tiga orang anak, Devan tetaplah Devan yang manja dan tak suka diabaikan.
Kalau sudah begini, Nadhira rasanya seperti memiliki empat orang anak. "Ya udah kalau gitu, bantu aku goreng perkedel aja gimana?" Devan malah memberikan cengirannya, saat ditawari Nadhira, opsi untuk menggoreng perkedel.
"Aku ke anak-anak aja," ujarnya, kemudian segera bergerak untuk mencuci tangan di wastafel, lalu mengambil minum. "Snack-nya anak-anak kamu simpan di mana, Ma?"
"Itu di tempat biasa," jawab Nadhira, sambil menunjuk salah satu lemari yang biasa ia gunakan untuk menyimpan makanan ringan. "Coba kasih yang aku beli sama Mbak Vio kemarin."
"Mbak Vio siapa?" Devan bertanya lagi. "Snack-nya yang mana? Aman nggak itu buat anak-anak?"
"Aman," jawab Nadhira sambil membalik gorengannya agar matang merata. "Itu kayak keripik sayuran gitu. Sayur yang dikeringkan gitulah, nggak paham juga. Kemarin aku cobain, enak kok. Kamu coba juga, deh."
Devan mengambil salah satu stoples yang terlihat seperti potongan sayur-sayuran, lalu mencicipinya satu. "Yang jualan siapa?" tanya lagi, saat merasa camilan sayur yang masuk ke mulutnya terasa enak. Rasa sayur, tetapi lebih gurih dan tentunya renyah.
"Mbak Vio. Itu lho, yang rumahnya nggak jauh dari gerbang masuk kompleks," jawab Nadhira. "Enak kan?"
Devan manggut-manggut. "Brokolinya enak." Lelaki itu tampak memilih brokoli di antara sayur-sayur kering yang lain. Padahal di sana ada wortel, ubi ungu, dan lain sebagainya, sebab sayuran kering itu dicampur dalam beberapa jenis menjadi satu. "Besok beli yang brokolinya aja."
"Iya, tapi enakan yang mix begini. Jadi anak-anak bisa makan semuanya," ujar Nadhira kemudian. "Tadinya ada yang varian okra juga. Tapi---"
"Jangan beli itu." Devan sudah mewanti-wanti duluan.
"Tau. Makanya nggak kubeli." Nadhira tertawa kecil, sebab ia tahu betul jika suaminya itu paling benci yang namanya okra dan hal itu menurun kepada ketiga anak-anaknya. Padahal, okra itu mengandung banyak vitamin yang baik untuk tubuh, tetapi memang dasarnya Devan tak suka. Terakhir kali lelaki itu memakan okra, ia langsung muntah-muntah. Katanya, lendir dari sayuran itu cukup untuk mengaduk-aduk isi perutnya.
"Udah bawa sana ke anak-anak. Ajakin mereka makan bareng-bareng, siapa tau mau." Nadhira menyuruh suaminya itu untuk segera menghampiri anak-anaknya di depan televisi. "Tapi jangan banyak-banyak. Takutnya mereka kenyang duluan sebelum makan siang."
Devan manggut-manggut, lantas membawa stoples berisi camilan sayur itu ke ruang tengah, sementara mulutnya masih saja mengunyah. Sepertinya, malah dia yang akan menjadi kenyang lebih dulu dan melewatkan makan siang, karena asyik dengan camilan baru.
"Anak-anak, ayah bawa camilan---" Devan lantas mengembuskan napas panjang, kala melihat ketiga anaknya sudah terlelap di depan televisi menyala. Ia praktis meletakkan stoples yang ia bawa ke atas meja, kemudian menghampiri anak-anaknya yang kompak tertidur itu.
"Beneran pada ngantuk, ternyata," gumam lelaki itu, sambil menyunggingkan senyum tipis. Ia memilih bergerak menuju lemari kaca di samping televisi, untuk mengambil bed cover yang sengaja Nadhira simpan di sana, lalu menyelimuti ketiga putranya. Mematikan televisi agak tidur anak-anaknya itu tak terganggu dan memutuskan kembali ke dapur.
"Kok balik lagi?" tanya Nadhira saat melihat suaminya yang kembali ke dapur, sembari memeluk stoples camilan. "Masih dikacangin anak-anak?"
Devan menggeleng, "Tidur mereka. Pada ngantuk berat kayaknya."
"Loh?" Nadhira yang baru saja selesai menggoreng perkedel itu, kini disibukkan untuk menyimpan semua masakannya ke atas meja makan. "Kamu nggak ikutan tidur juga?"
Lagi-lagi, Devan menggeleng. "Laper," ujarnya kemudian, lengkap dengan cengiran sok polosnya itu. "Dari tadi, harum masakan kamu bikin cacing-cacing di perutku pada konser."
Ibu muda itu tertawa karena ucapan sang suami yang terdengar konyol itu. "Ya udah, ayo makan. Kalau anak-anak udah pada bangun---"
"Akunya nggak bisa manja-manja sama kamu lagi," sambar Devan, sembari menggandeng tangan istrinya itu, menuju ke meja makan kembali. "Suapin, ya?"
"Sinting," cibir Nadhira sambil tertawa kecil, sementara di dalam hati, ia ingin sekali mencubit bibir suaminya itu kuat-kuat sampai jontor. Tahan, punya suami kayak Devan memang harus sabar, batinnya.
▶▶▶
19.11.20
24.11.20
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top