Tiga, Lima! | 15 | Si Sulung

Selama lima belas menit terakhir, yang Devan rasakan hanyalah keheningan. Dia yang sibuk membaca berkas laporan dari kantor sembari sesekali menyesap kopi cokelat buatannya, lalu ada putra sulungnya---Aksa yang tampak asyik dengan mainan berbentuk aneka hewan karnivora pembelian Dimas sahabatnya, beberapa bulan lalu.

Devan pikir, dirinya akan merasa tenang begitu saja---terlebih saat melihat Aksa yang begitu anteng dengan mainannya---dan dapat mengerjakan semua pekerjaannya hingga selesai tanpa hambatan. Akan tetapi, semuanya mendadak buyar saat Aksa tiba-tiba bersuara, "Yayah."

Untuk menjawab panggilan dari putranya itu, Devan hanya berdeham. Namun, ia tak lupa untuk memperhatikan Aksa, karena putranya itu tak suka diacuhkan. "Kenapa, Mas?" tanyanya kemudian.

Aksa terlihat memegang mainan berbentuk macan di tangannya, sambil menatap mainan itu lekat-lekat. Posisinya sekarang adalah berbaring telentang, dengan tangan yang diangkat ke udara. "Macannya pup nggak?"

Eh?

Untuk sepersekian detik, Devan terdiam di tempatnya. Tak ada yang ia lakukan kecuali tercengang sambil memikirkan jawaban dari pertanyaan Aksa. Lagi pula, apakah pikiran anak kecil memang selalu random seperti itu, ya?

"Um ...."

"Nanti macannya suka bangun malem-malem nggak, Yah?" tanya Aksa lagi. "'Kan kasihan kalau macannya bangun, nanti cari-cari mamanya."

Devan menggaruk dahinya yang tiba-tiba terasa gatal. "Enggak dong, Mas," jawabnya kemudian. "Itu 'kan cuma mainan. Jadi, dia nggak bisa pup, apalagi bangun malam-malam buat cari mama."

"Tapi kata onty, mainan itu suka malam-malam bangun," ujar Aksa dengan kalimat yang belum tertata dengan rapi.

Bapak dari tiga anak itu menghela napas pendek. Ajaran dari Raya sang adik, ternyata memang terkadang sesat dan menyesatkan. "Itu 'kan cuma di film, Mas," ujarnya sembari bergerak menghampiri si sulung yang ditinggal berdua saja dengannya.

Omong-omong soal sang istri dan dua anaknya yang lain, ketiganya sedang pergi ke rumah Rika, sementara Aksa, tumben-tumbenan sekali si sulung itu tidak mau ikut. Katanya ingin di rumah saja bersama ayah. Jadi, ya sudahlah. Devan mengiyakan saja, yang terpenting adalah Aksa tidak rewel. Itu saja.

"Kalo mainan lain?"

Devan mengerenyitkan dahinya, atas pertanyaan Aksa yang lain. "Mainan yang lain?" Ia memutuskan untuk kembali bertanya. "Mainan lainnya kenapa, Mas?"

"Pup juga, nggak?"

Sabar, batin Devan sambil mengusap dadanya tabah. "Enggak dong, Mas," jawabnya sembari menyunggingkan senyum antara ikhlas dan tidak ikhlas. "Kita main ke rumah Oma yuk."

Aksa melirik ayahnya sebentar, kemudian meletakkan mainan di tangannya ke atas dada. "Nggak mau," jawabnya dengan bibir mengerucut, lucu sekali.

"Kenapa nggak mau, Mas?" tanya Devan. Lama-lama, ia jadi heran sendiri dengan putra sulungnya itu. Entah apa yang terjadi kepadanya, sehingga membuat Aksa menjadi mager seperti itu. Dibilang sedang tak enak badan juga sepertinya ... tidak. "Nanti main sama Aunty Raya, mau nggak?"

Aksa menggeleng. Bocah itu kemudian bangkit dari posisi berbaringnya, lalu mengangkat kedua tangan ke udara. "Yayah," panggilnya. "Mau gendong."

Devan praktis dibuat keheranan dengan tingkah si sulung, tetapi tetap saja ia menurutinya. Daripada Aksa menangis dan berujung dirinya menjadi kerepotan sendiri, 'kan berabe jadinya. "Mamas kenapa jadi mageran begini, sih?" tanya Devan sembari membawa Aksa ke dalam gendongan. Ia bangkit dari posisi duduk dan mencoba menyeimbangkan tubuhnya yang tengah membawa si sulung.

Aksa diam saja. Bocah itu menumpukkan kepalanya di atas bahu sang ayah, sementara tangannya sendiri ia masukkan ke dalam mulut secara refleks.

"Mamas, tangannya kotor, ah. Jangan diemut gitu." Devan menarik keluar telunjuk Aksa yang dihisap oleh anak itu. "Mau minum susu aja?"

Bocah itu mengangguk mengiyakan. Diam-diam, Devan menyunggingkan senyum tipis sembari mengusap punggung Aksa yang ia gendong seperti anak koala. "Mamas ngantuk, ya?" Tidak ada jawaban dari Aksa, tetapi bukan berarti putranya itu sudah tertidur. Sepertinya Aksa memang benar-benar tengah malas melakukan apa pun. "Ayah bikinkan susunya dulu, ya? Mamas mau ayah anter ke kamar dulu?"

Aksa menggeleng dalam gendongan sang ayah, sementara tangan yang ua lingkarkan di leher ayahnya itu, ia eratkan agar tak jatuh. "Mau sama Yayah," ujarnya dengan nada serak, pertanda jika ia benar-benar mengantuk sekarang.

Devan akhirnya menurut saja. Ia membawa putranya itu ke dapur, untuk membuatkan susu. "Mamas duduk dulu sebentar, ya? Ayah mau tuangin air panas dulu ini, ke susunya Mamas." Lagi-lagi, Aksa menggeleng dan semakin mengeratkan pegangannya pada leher sang ayah. "Loh, kenapa?"

Untuk kesekian kalinya, Aksa tak menjawab, membuat Devan menghela napas panjang. Ya, sepertinya lagi-lagi ia harus mengalah saja, daripada Aksa ngambek dan berujung menangis. Dengan susah payah, lelaki itu menuangkan susu bubuk ke gelas dan tak lupa mencurahinya dengan sedikit air panas dari termos. Baru setelahnya, ia mengaduk dan menambahkan air dingin agar suhunya pas.

"Susunya habiskan dulu ya," ujar Devan yang langsung diiyakan oleh Aksa. Akan tetapi, bocah itu tidak mau mengambil gelas yang diulurkan oleh sang ayah. Meminta ayahnya itu untuk tetap memegangi gelasnya dan dia akan minum dengan bantuan ayah. Melihatnya, membuat Devan meringis, kesambet apa kamu, Nak? Sampai jadi mager parah begini.

▶▶▶

Ternyata, sikap manja Aksa tidak berhenti begitu saja. Saat Devan memintanya untuk segera tidur, bocah itu menolak dan meminta sang ayah untuk menemaninya. Aksa bilang, mau peluk Yayah sampe bobok, dan akhirnya lagi-lagi dituruti oleh Devan.

Lelaki itu masih menepuk-nepuk bokong Aksa yang mulai terlelap, sementara matanya juga sepertinya sudah tinggal beberapa watt lagi, siap untuk menyusul Aksa merangkai mimpi di Minggu sore ini. Untuk urusan pintu, jendela dan lain sebagainya yang dibiarkan tak terkunci, Devan agaknya tak perlu khawatir akan itu. Pasalnya, di kompleks perumahan di mana ia tinggal, sudah memiliki sistem keamanan yang sangat baik. Jadi, tidak perlu merasa was-was untuk kemungkinan-kemungkinan terburuk seperti dirampok dan lain sebagainya. Ya, kecuali jika sudah ditakdirkan untuk mengalami musibah seperti itu, sih.

Benar saja, tak sampai dua menit, Devan sudah memejamkan matanya dengan sempurna. Sepertinya, ia juga butuh istirahat. Butuh tidur seperti putra sulungnya yang entah kenapa sedang terserang badmood secara mendadak itu.

Akan tetapi, entah sudah berapa lama ia tertidur bersama Aksa, tiba-tiba saja Devan merasakan tubuhnya seketika memberat. Membuat lelaki itu sedikit kesulitan bernapas dan bergerak. Ia ingin membuka mata, sayangnya tidak bisa. Rasanya sulit, sekali. Devan bahkan sempat berpikir jika dirinya mengalami ketindihan. Mungkin akibat dirinya yang terlalu lelah atau bagaimana, Devan juga tak tahu.

Lelaki itu berusaha membuka matanya. Ah, tidak. Tepatnya melawan rasa kantuk hebat yang tengah menyerangnya, mau tak mau. Namun, ternyata dirinya tidak sedang mengalami ketindihan. Ya, benar. Sebab Devan mendapati Aksa sedang tertidur dengan nyaman di atas tubuhnya. Hal itu membuat Devan menghela napas, antara lega---karena nyatanya ia tak mengalami ketindihan---dan pasrah karena Aksa yang tak mau jauh darinya.

Devan mengusap punggung Aksa dengan lembut, sementara salah satu tangannya yang lain, meraih bantal untuk menopang kepalanya sedikit lebih tinggi lagi. Beberapa kali, ia ciumi pucuk kepala si sulung sembari menghidu aroma khas sampo anak-anak yang putranya itu kenakan. Ia kembali memejamkan mata, sebab rasa kantuknya belum juga hilang.

Sejujurnya, Devan masih belum mengerti, mengapa kiranya Aksa menjadi seperti sekarang. Bisa jadi karena ia merasa kesepian, sebab tidak ada kedua saudaranya atau karena hal lain. Ia hanya takut, jika Aksa merasa tidak enak badan, tetapi tidak mau mengatakan kepada sang ayah.

Di sisi lain, Devan juga sepertinya ingin menarik satu kesimpulan, sembari menyunggingkan senyum tipis dengan kedua mata yang tertutup rapat. Kamu kangen disayang-sayang sama ayah ya, Nak? tanya lelaki itu dalam hati. Ya, pasti Aksa merasakannya. Sebagai sulung, bocah kecil itu mau tak mau harus belajar dan menerima jika kasih sayang ayah dan mama dibagi rata dengan kedua adiknya. Devan menyadari hal itu.

Makanya, lelaki itu kini memeluk Aksa semakin erat, sembari terus mengusap punggung putranya itu dengan sayang dan kembali merangkai mimpi bersama.

▶▶▶
19.11.20
20.11.20

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top