Tiga, Lima! | 1 | Cerewet

Siapa bilang, hari libur itu, adalah hari tenang, dan saatnya untuk bersantai sembari menikmati secangkir kopi, dan sepiring camilan, uh?

Ya, mungkin itu berlaku, untuk beberapa orang, yang masih hidup sendiri. Menjalani segala kemageran dengan santuy, karena enggak ada yang akan mengganggu. Mungkin lho, ya.

Yang jelas, kata-kata libur itu, enggak akan berarti apa-apa, bagi seorang pemuda--yang sekarang, sudah naik pangkat menjadi seorang ayah--tak lain dan tak bukan, adalah Devandra Riddi Angkasa Pratama Zildhan.

Haduh. Menyebutkan namanya saja, bikin capek, ya?

Menjadi seorang ayah, di usianya yang terbilang masih muda, memang bukanlah perkara mudah. Ditambah lagi, anaknya itu tidak hanya satu, lho. Tiga. Iya, anaknya ada tiga!

Sudah begitu, semuanya laki-laki, lagi. Bisa dibayangkan sendiri, bukan, bagaimana jika tiga orang bocah laki-laki, jika digabungkan menjadi satu?

"Mamas! Jangan lari-larian dulu, dong! Sini, aak!"

Iya. Bapak-bapak yang satu itu, tengah menyuapi ketiga putranya, makan siang. Bergerak ke sana, dan kemari, mengikuti tingkah aktif, ketiga putranya, benar-benar menguras tenaganya.

Devan meraih bahu putra sulungnya, dengan tangan kanan. "Mamas, diem dulu!" ujarnya, kepada sang putra. Awalnya, putra sulungnya itu, cemberut, karena berhasil ditangkap oleh sang ayah. Tapi tetap diam, mendengarkan. "Sini, buka mulutnya, aak!"

Untungnya, bocah empat tahun itu, menurut. Membuka mulutnya, dan membiarkan sesendok nasi, dan sepotong sosis, mengisi rongga mulutnya. Mengunyahnya dengan cepat, sebelum lagi-lagi, diperingatkan oleh sang ayah.

"Jangan lari-lari dulu! Nanti muntah."

Anak itu, mendongak, menatap sang ayah, yang tengah memegang piring di tangan kiri, juga sendok di tangan kanannya. "Kalo udah ditelan, boleh lari-lari, Yah?" tanyanya, polos.

Devan menghela napasnya pelan. "Tetap enggak boleh!" ujarnya. "Mending mainannya sambil duduk aja, gih!"

"Tapi mainannya gak seru, kalo gak lari-lari, Yah!"

Devan kontan menggaruk dahinya, yang tertutupi poni hitam kecokelatan. Iya, walaupun sudah punya anak tiga, tapi ia tetap mau terlihat muda. Dengan tidak menghilangkan aksen poni, yang menutupi dahinya. "Pokoknya, duduk dulu, ya." Devan berusaha sabar. "Nanti, kalo udah selesai maemnya, boleh lari-lari lagi."

Walaupun sempat cemberut, namun, bocah itu akhirnya menurut. Ia kemudian berlari-lari kecil menuju kotak mainannya. Mengeluarkan semua isinya, menghamburkannya ke lantai.

Devan nyaris mengumpat, dibuatnya. Astaga. Untung, ia bisa menahan diri.

Ia kemudian menghampiri putra keduanya, yang tengah asyik memainkan pesawat mainan, yang ia terbangkan, dengan tangannya.

"Abang, sini mamam dulu!" panggilnya. Ia tengah bersandar di tembok, karena pinggangnya terasa sakit. Hadeh. Sepertinya, dia mulai terserang encok, di usia semuda ini.

Ajaibnya, bocah yang tidak lain adalah saudara kembar dari si sulung, segera berlari menghampiri sang ayah.

Devan tersenyum senang, karena ia tidak perlu capek-capek mengejarnya. "Aaak!" Ia mengulurkan sendok berisi nasi, dan potongan sosis tadi, ke depan mulut putra keduanya itu.

Tapi sayangnya, anak itu tidak membuka mulutnya.

"Lho, kenapa?" tanya Devan, heran.

"Abang gak mau pake nasi!" ujarnya. Ia menatap nasi di dalam piring, bagaikan racun, yang sama sekali tidak boleh dimakan. "Mau sosisnya aja!"

"Gak boleh gitu, dong," ujar Devan, sedikit lelah. "Harus dimaem sama nasinya dong, Bang. Biar cepet kenyang."

Bocah itu, mengerjap, lantas melipat wajahnya sebal. "Makan sosisnya banyak-banyak, juga bikin kenyang, kok, Yah."

Ya, benar sih. Devan juga tau, kalau makan sosis banyak-banyak, akan membuat kenyang. Tapi masalahnya, dia malas menggoreng sosis lagi. Sudah syukur, tersaji tiga buah sosis di atas piring, sebagai lauk makan siang ketiga putranya itu.

"Tapi kan, ini udah siang, Bang. Harus makan sama nasi, biar kenyangnya lebih lama," ujarnya sabar.

Bocah itu cemberut. "Tapi gak mau!"

"Kenapa?" tanya Devan.

"Nasinya jahat!"

Devan jelas saja mengerenyit kebingungan. "Kok jahat?"

Apakah nasi itu, sudah berkolaborasi bersama Mak Lampir, sehingga menjadi jahat, eh?

Bocah itu, tampak menghela napasnya, pelan. Seperti orang dewasa, yang tengah menghadapi masalah besar. "Kemarin, Abang makan nasi. Terus tersedak." jawabnya. Devan diam mendengarkan. "Terus, nasinya nakal. Bikin Abang jadi batuk uhuk-uhuk begitu."

Ya iya atuh sayangku. Gak mungkin dong, kalo keselek, auto nyanyi. Gerutu Devan dalam hati.

"Yayah! Bilang 'terus', dong!"

Devan langsung menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ya ampun, kasihan sekali putranya ini. "Terus, apa Bang?" tanyanya lembut.

"Gitu, dong!" seru bocah itu, menggebu-gebu. Ia kemudian melanjutkan. "Nasinya jahat! Masa Abang maemnya lewat mulut, tapi nasinya keluar dari hidung, sih? Kan licik, Yah."

Devan jadi sangsi sendiri. Siapa sih, yang mengajarkan putra keduanya ini, menjadi sosok sok realistis seperti ini, eh?

"Namanya tersedak, pasti keluarnya dari hidung, Nak." jawabnya tabah.

"Tapi tetap aja nasinya jahat! Gak temen, sama nasi!"

Iyain, nak. Iyain. Batin Devan, lagi. "Jadi, Abang mau mamam apa enggak?" tanya Devan.

"Mau sosisnya aja, gak mau nasinya!"

Duh. Ternyata anak itu, tetap kukuh akan pendiriannya.

"Tapi kalo nanti mama marah, Ayah gak tanggung jawab lho, Bang."

Bocah itu mendongak, menatap sang ayah, dengan serius. "Memangnya kenapa mama marah?" tanyanya.

Devan memasang wajah, pura-pura merasa iba. "Soalnya kan, mama udah masak nasinya, capek-capek. Tapi gak dimakan, sama Abang. Nanti nasinya nangis, lho."

Bocah itu mengerjapkan mata bulatnya. "Sama mamanya juga nangis, gak, Yah?"

Devan mengangguk pelan. "Makanya, mamam sama nasi, ya?"

"Tapi nanti tersedak lagi."

Devan kembali menghela napasnya, perlahan. Sabar, Devan. Sabar. "Makanya, maemnya sambil duduk anteng, ya? Biar enggak tersedak," ujarnya. "Nih, Aaak!"

Pada akhirnya, anak itu menerima satu suap penuh, nasi juga sosis yang sudah dipotong-potong, dan mengunyahnya.

"Abang sana ke mamas, mainnya sama-sama, ya?"

Untungnya, bocah itu menurut. Dengan mulut yang masih penuh dengan nasi, ia melompat-lompat kecil, menghampiri sang kakak.

Padahal, baru saja diberi tahu, untuk tidak berlari. Tapi tetap saja, tidak diindahkan.

Lagi-lagi, Devan menghela napasnya. Baru saja ia hendak melangkahkan kakinya, menghampiri si bungsu, ujung kaos abu-abu yang ia kenakan, terasa ditarik. Membuat Devan menunduk, dan mendapati putra bungsunya, sudah berdiri dengan manis, di sisinya.

"Yayah, aak!" pintanya.

Duh, kasihan. Gara-gara meladeni kedua putranya yang terlalu banyak bertanya tadi, pasti membuat si bungsu merasa lapar, karena menunggu terlalu lama.

Devan tersenyum lembut, lantas menyendokkan nasi dan potongan sosis, lalu menyuapkannya ke dalam mulut si bungsu. "Pinter!" ujar Devan, sebagai penghargaan, atas tingkah baik yang ditunjukkan putra bungsunya itu.

"Kita ke mamas sama abang yuk, Dek!" ajak Devan, sembari meraih punggung putra kecilnya itu, dan mendorongnya pelan. "Mamamnya dilanjut sambil mainan, ya?"

"Oke, Yah!" seru si kecil, semangat. "Tapi mau aak lagi!" ia membuka mulutnya lebar-lebar, bersiap menerima suapan dari ayahnya, lagi.

Devan jadi gemas sendiri. Untung, yang satu ini tidak cerewet, seperti kedua kakaknya yang lain, ya?

▶▶▶

"Yah!"

Devan yang baru saja ikut bergabung, dengan ketiga putranya, dengan membawa segelas air putih, dibuat menoleh, saat suara putra sulungnya, terdengar. "Kenapa, Mas? Mau minum?" tanyanya.

Bocah itu mengangguk, membuat Devan langsung mengulurkan gelas berisi air putih itu, ke depan bibir putranya.

Setelah selesai minum, dua teguk, dan diakhiri dengan desahan panjang, yang menjadi ciri khas seseorang yang habis minum, bocah itu terlihat menarik celana pendek sang ayah. "Yah, Yah!"

"Kenapa?" tanya Devan. Ia menghampiri putra bungsunya. Melakukan hal yang sama, seperti yang ia lakukan, kepada si sulung. Tetap memegangi badan gelas, supaya tidak terjatuh.

"Mama pulangnya kapan?" tanya bocah itu. Sementara di bungsu, sudah kembali berlari-larian, setelah minum.

Devan melirik jam dinding, yang tergantung indah, di ruang bermain itu. "Sebentar lagi juga pulang," jawabnya.

Ia kemudian menghampiri putra keduanya, yang kini sibuk menyusun aneka lego, dengan begitu serius. "Bang, minum dulu."

Beruntung, anak itu langsung menurut. Tidak ada drama-drama seperti nasi jahat lagi, kali ini.

"Mama nanti bawa es krim gak, Yah?" tanya bocah itu, serius.

Eh? Es krim, ya?

Devan menghela napasnya pelan, sembari menggaruk dahinya. "Um, Ayah gak tau, Mas." jawabnya. Pasalnya, istri tersayangnya itu, sedang mengunjungi salah satu pegawai yang pernah bekerja di DevZild's kafe, yang katanya baru saja melahirkan, beberapa hari yang lalu. Jadi, untuk perihal pulang dengan es krim atau tidaknya, Devan enggak bisa memastikan.

"Kok gak tau, Yah?!" tanya putra keduanya, tiba-tiba.

"Iya! Kenapa Ayah gak tau?" kali ini, si sulung ikut-ikutan.

"Ya, kan Ayah gak ikut sama Mama. Jadinya gak tau, Mama beli es krim atau enggak nanti. Kan, Mamanya lagi nengok dedek bayi," jawab Devan sabar.

"Kok Adek gak diajak?!" tiba-tiba saja, si bungsu, muncul di hadapannya. Dengan wajah cemberut, yang tampak amat lucu, di mata Devan. "Kan, Adek juga mau lihat dedek bayi!"

Kalau pertanyaannya begini, Devan harus menjawab apa?

"Kan rumah dedek bayinya jauh. Jadinya, Adek, Mamas, sama Abang, enggak diajak." jawab Devan, pada akhirnya. "Kan ada Ayah, di rumah."

"Terus, kalau jauh, kenapa Mama pergi sendiri?!" tanya si sulung, sewot. Menyadari mama kesayangannya pergi sendirian ke tempat--yang kata ayahnya jauh itu--membuat sulung tiga bersaudara itu, sensi sendiri.

"Iya! Kenapa Ayah gak temenin Mama? Nanti Mamanya nangis, lho!" sambung putra keduanya.

Haduh. Devan jadi pusing sendiri.

"Mama gak pergi sendiri kok." jawabnya, lelah. "Kan ada tante Rika, yang nemenin."

"Tante Rika istrinya Om Zona bahaya ya, Yah?" tanya si sulung.

Devan menahan tawanya, sekuat mungkin. Ya ampun. Julukan darinya, untuk Zona, ternyata juga dipakai oleh anak-anaknya, ya ampun. Entah, tau dari mana, si sulung itu. Intinya, Devan enggak pernah mengajarinya, lho. "Iya." jawabnya.

"Tante Lika itu, Mamanya Bang Dley ya, Yah?" tanya si bungsu, dengan matanya yang membulat lucu.

Devan mengangguk lagi.

"Mamanya Bang Zello juga, ya, Yah?"

Ya ampun. Mereka mau mengabsen keluarganya Zona, ya? "Iya, iya." jawab Devan cepat. "Pokoknya, sekarang bobok dulu, ya. Biar nanti, pas bangun bobok, udah ada Mama, oke?!"

"Ada es klim juga gak, Yah?" tanya si bungsu antusias.

Devan akhirnya mengiyakan saja. Bahaya, lho, kalau tiga putranya itu, tidak tidur siang. Bisa-bisa rewel saat malam hari nanti. "Iya, nanti ada es krim. Tapi, harus bobok dulu, sip, ya?!"

"Oke!" jawab ketiganya kompak.

Pada detik berikutnya, ketiganya sudah berderap menuju kamar mereka, yang memang berada dalam satu ruangan yang sama. Bersiap untuk tidur, agar mendapatkan es krim, saat bangun tidur nanti.

Ah, senangnya!

Sementara Devan, tersenyum lega. Karena hari ini, dia berhasil untuk yang kesekian kalinya, mengurus ketiga putranya itu. Melelahkan memang. Tapi, percayalah. Sensasinya itu, lho. Sungguh menyenangkan.

▶▶▶
BTS
191219
070220


Nah, loh! Ada yang inget, sama kecebong-kecebong oenyoe ini, gak? :'v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top