Epilog


Satu tahun kemudian...

[Tindak pidana pembunuhan seperti yang Anda tanyakan termasuk dalam delik biasa/delik laporan, sehingga proses hukum terhadap tersangka akan tetap berjalan walaupun seandainya pihak keluarga korban sudah memaafkan tersangka.

Mengenai tindakan pembunuhan diatur pada Pasal 338 KUHP yang bunyinya:

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Dari pertanyaan Anda, kita ketahui bahwa teman Anda tersebut membunuh karena membela diri, sehingga membunuh bukan dengan sengaja. Dalam ilmu hukum pidana dikenal pembelaan dalam keadaan darurat.

Untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang sesungguhnya, mengenai siapa pelaku tindak pidana yang sesungguhnya itulah pihak kepolisian harus melakukan penyelidikan dan penyidikan. Jadi, sangat dimungkinkan seorang tersangka kemudian ditahan untuk kepentingan penyidikan sebagaimana diatur oleh Pasal 20 KUHAP.

Dalam hal ini teman Anda harus bersabar dan mengikuti proses persidangan. Karena bagaimana pun teman Anda berhak segera diadili oleh pengadilan. Hakim lah yang menentukan adik Anda bersalah atau tidak.]

Charon mengunci ponselnya setelah membaca ulang surel tersebut. Berkali-kali, gadis itu berusaha meluruskan keadaan—membenahi kesalahpahaman.

"Pluto itu bukan pembunuh!" jerit gadis itu di persidangan.

"Maaf, Nak Ocha, tapi semua bukti merujuk ke sana. Waktu, tempat, sidik jari..."

"Tapi itu semua nggak benar!"

"Bukti kuat itu juga mendukung testimoni saudara Pluto sendiri yang mengaku bersalah, Nak Ocha!"

Charon menghela napas. Semuanya runyam. Papanya meninggal, Kak Tami menghilang, dan saat ini, Pluto yang menjadi tersangka utama.

Aneh. Hukum itu aneh sekali. Ocha nggak ngerti! batin gadis itu sambil merasakan panas matahari di punggungnya.

Hari ini, hari Kamis. Seperti Kamis-Kamis lainnya, Charon selalu menyempatkan diri untuk ngapel ke Rumah Tahanan Negara, lapas.

"Makasih ya, Pak," ucap Charon sambil melepas helm hijau, dan mengembalikannya pada si bapak ojol.

Gadis itu lantas melangkahkan kaki memasuki pintu gerbang lapas, membawa sekotak donat berbagai macam rasa yang diikat dengan tali rafia.

"Siang, Om Pol," sapa Charon pada seorang petugas yang berjaga di balik meja. Gadis itu lantas mengulurkan sekotak donat yang dibawanya.

"Ehhh, Neng Ocha udah datang! Mau jenguk Aa' Napi, Neng?" tanya petugas berseragam itu sambil menerima pemberian Charon.

"Iya atuh Om! Masa saya kesini buat ketemu sama Om doang? Hahaha." Gadis itu tertawa renyah seiring petugas tadi bangkit dari duduknya, menuntun jalan dan membukakan pintu.

"Si Eneng geulis mah, jadian sama anak saya aja atuh Neng, dari pada sama Napi. Ntar susah atuh cari kerjanya, gimana bisa menghidupi keluarga?" cecar petugas itu dengan nada ringan. Charon tersenyum, menyembunyikan canutan hati yang terluka.

"Nggak mau ah, Om. Ocha sayang-nya udah sama Aa' Napi aja!" celetuk gadis itu, polos, yang berhadiahkan gelak tawa oleh si petugas.

"Yaudah sok atuh, mangga..." ucap petugas itu sambil mempersilahkan Charon masuk ke dalam ruang kunjungan.

Gadis itu memulutkan terima kasih sambil berlari kecil ke satu kursi, berhadapan dengan kaca, di mana di seberang sana sudah ada sosok dengan jumper tahanan oranye yang menunggu kedatangannya. Pluto.

"Hai!" sapa Charon dengan senyum mengembang.

"Hey. Gimana ujiannya, lancar?" Pluto yang tidak pandai berbasa-basi, langsung memberondong Charon dengan sebuah pertanyaan dahsyat.

"Mmm... lancar kok. Kemarin-kemarin kan Ocha udah sering belajar bareng Riva bareng Gillian. Ehehe, sekali-kali berguna juga ya, punya temen pinter begitu."

Pluto mengangguk setuju. "Kabar mereka gimana?" tanyanya kemudian.

"Masih jadian, masih baik sama Ocha, dan masih kemana-mana bertiga! Ocha nggak nyangka banget aja, pas kelas tiga, mereka bela-belain pindah kelas biar bisa sekelas sama Ocha. Emang bener-bener temen sejati ya, mereka?"

Pluto mengangguk lagi. "Bagus dong, akhirnya lo punya temen yang beneran ada, bisa jagain dan nemenin. Kalo Kak Arta, apa kabar?"

"Baikkk! Kak Arta mau nambah kucing lagi katanya, hahaha."

"Kalian masih se-rumah?" tanya Pluto kemudian. Charon menggeleng.

"Engga, Mama kemarin akhirnya jadiin deal rumah yang di Kemang itu loh, Kak! Hebat ya? Katanya harganya juga dapet yang dibawah rata-rata loh!"

"Wuih, selamat ya. Gue ikut seneng dengernya."

Charon tersenyum bangga. "Makasih. Oh iya Kak, tau nggak? Lala jadi Ketua OSIS beneran loh! Tapi tau nggak, lucunya, Riva bahkan nggak daftar dari awal! Kayaknya dia males deh kalo harus bersaing sama Lala..."

Pluto menunjukkan wajah tidak suka. "Yah, gitulah hidup, kadang nggak fair. Mereka yang punya priviledge akan selalu di atas. Cuekin aja Cha, yang penting lo jangan ada urusan lagi sama dia."

Charon mengangguk. "Iya, Kak. Ocha tau."

Pluto kemudian bungkam—ah, tidak sepenuhnya diam. Cowok itu memperhatikan garis wajah gadis di hadapannya lamat-lamat, dengan teliti.

"Lo makin cantik, Cha," pujinya kemudian. Charon mendadak bisa merasakan jantungnya jumpalitan.

"K—kakak juga makin cakep. Di lapas nggak ada tukang cukur ya? Bagus sih, rambutnya panjang gitu, bisa dijadiin man bun."

Pluto terkekeh. "Man bun?" ulangnya.

"Iya! Itu loh, Kak, yang dicepol itu. Coba deh, coba-coba..."

Sambil menggelengkan kepala, Pluto lantas coba menaikkan sebagian rambutnya. "Gini?" ujarnya.

Charon bertepuk tangan dan mengangguk senang. "Iya! Jadi kece gitu, Kak! Nanti kalau Kakak udah keluar, Ocha boleh nguncirin rambut Kakak, ya? Jangan dipotong dulu!"

Pluto tersenyum maklum. Dilepasnya genggaman pada rambutnya, dan cepol itu luruh sudah.

"Emang ada kabar pasti, kapan gue bisa keluar?" tanya Pluto. Selama ini, nasipnya diombang-ambing dari satu pengadilan ke pengadilan lain. Charon mati-matian meyakinkan hakim, bahwa gadis itu mencabut total gugatan atas Pluto, dan meminta keringanan.

Tapi lagi-lagi, yang dikatakan Pluto tadi benar. Hidup terkadang nggak fair.

"Ocha usahain, akhir tahun ini Kakak udah keluar." Gadis itu berkata sungguh-sungguh.

Pluto tersenyum memandangnya. "Akhir tahun... berarti pas lo udah kuliah dong, ya?"

Charon mengangguk pasti.

"Jadi ngambil jurusan apa?" tanya Pluto dengan mata yang ingin tahu. Charon mengulum senyum manis, yakin jawabannya akan membuat Pluto keranjingan.

"Ocha mau ambil Psikologi!" pekik gadis itu bersemangat.

"Oya? HAHAHAH." Pluto tertawa puas. Tuh kan bener, keranjingan.

"Kenapa gitu?" tanya Pluto kemudian.

"Ocha mau lanjutin penelitian bundanya Kakak. Kakak mau kan, jadi test subject-nya Ocha?" ucap Charon dengan mata memohon, membuat Pluto semakin tergelak.

"Iya deh, iya. Sesuka lo aja." Pluto tersenyum memandangi Charon. Gadis itu lantas menempelkan telapak tangannya di satu sisi kaca.

"Kak, janji sama Ocha, ya? Nanti kalau Kakak keluar, jangan potong rambut..."

Pluto mengangguk sambil meletakkan telapak tangannya di sisi kaca bagiannya, berusaha merasakan kehangatan tangan gadis itu yang terhambat penghalang kaca.

"Asal lo janji juga, Kamis depan ke sini lagi."

Charon mengangguk. "Gak usah janji juga Ocha bakal ke sini terus!" ujarnya sambil tertawa.

Dan Pluto pun ikut tertawa.

Dua sejoli itu, mencairkan udara beku di ruang kunjungan lapas tersebut.

Walaupun keadaan tak berpihak pada mereka, namun Pluto dan Charon tetap bisa tertawa.

Kadang hidup itu nggak adil. Tapi bayangkan betapa menyenangkannya jika kita mempunyai seseorang untuk berbagi ketidak-adilan tersebut.

Seperti Pluto dan Charon, dua nyawa sejiwa yang kerap terkunci dalam ikatan tanpa bentuk. Yang mereka tau, secara tiba-tiba, semesta mengaitkan mereka... dalam sebuah tidal locking—penguncian pasang gravitasi.

Pluto dan Charon tidak protes. Mereka senang-senang saja, terkunci dalam pusat gravitasi yang sama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top